Oleh: Hanafabdu
Senja itu warna yang paling kusukai, terlihat kalem dan menenangkan. Terutama saat matahari meredup malu-malu di balik awan. Suasana seperti itulah yang paling menggambarkan diriku. Orang bilang aku introvert, pemalu, atau pendiam. Aku tidak peduli, karena itu tidak membuatku berbeda. Aku tetaplah aku.
Teman bisa dihitung dengan jari, berbincang pun sangat terbatas, hanya sesekali menyungging senyum bila berpapasan dengan yang kukenal. Itu pun terpaksa kulakukan demi memenuhi keinginan Ayah, yang tidak pernah lelah memintaku untuk menghormati orang sekitar.
“Hidup itu tidak sendiri. Teruslah memberi senyuman kecil, karena itulah tanda kita saling mengenal.” Kata yang diulang terus-menerus, membuatku hafal di luar kepala, namun masih sangat sulit untuk aku praktikkan.
Sebuah dinding kokoh telah terbangun dalam diriku, terbuat dari rasa nyaman saat berteman dengan diri sendiri. Aku tak lagi membiarkan orang lain membentuk hidupku sesuai keinginan mereka. Bukan karena benci, tapi karena aku menikmati diriku seutuhnya.
Dulu, aku pernah mencoba mengikuti arus pertemanan. Rasanya penuh tekanan dan ketidaknyamanan. Seakan mereka menikmati kekuranganku, mengubah suara cadelku menjadi bahan lelucon. Bagi mereka itu hiburan, bagiku adalah siksaan. Aku berusaha keras untuk menerima diri dan menemukan keistimewaanku, tetapi selalu ada celah yang menggerogoti setiap usahaku. Hingga akhirnya, kutemukan sekat diri yang memberiku ketenangan. Di sanalah, jauh di lubuk hati, kutanam suara lantang tentang kekuatan diri. Suara itu bukan suara hasutan, melainkan kejujuran yang berkata, ‘Aku adalah diriku, tak perlu tunduk pada siapa pun yang terus melukai tanpa rasa.’
Perlahan, aku mulai mendengarkan suara itu. Mulai menarik diri dari keramaian, sekali lagi bukan karena benci, tapi karena aku butuh waktu untuk bertemu dengan diri sendiri. Aku mulai membangun benteng. Bukan benteng untuk menghalau orang lain, melainkan benteng untuk melindungi diriku dari tekanan yang membuatku tidak nyaman. Benteng itu tidak terbuat dari batu atau baja, melainkan dari penerimaan. Aku mulai merasa nyaman dengan diriku sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Di dalam benteng itu, aku tidak perlu berakting, tidak perlu sembunyi di balik topeng, dan tidak perlu merendahkan diri hanya karena berbeda dari yang lain
***
Sore beranjak senja, dan aku masih di atas dahan, menyaksikan langit yang perlahan berubah warna. Kuraih kantong kresek yang setia menemani, mulai memasukkan semua barang yang kubawa. Mataku kembali tertuju pada karya hari ini. Coretanku yang tak bermakna di kertas gambar terasa seperti refleksi diriku—terkurung dalam dunia imajinasi dan enggan menjalin koneksi nyata. Namun peralatan lukis oleh-oleh dari Ayah dari Yogyakarta itu terasa akrab di tanganku, memberikan makna pada hal-hal yang lebih besar dari diriku sendiri.
Di bawah pohon, seorang kakek tua dengan topi petani yang sudah lusuh berdiri memandang ke arahku. Wajahnya yang keriput dihiasi senyum ramah yang tulus. Aku sempat ragu, apa yang harus kulakukan? Aku tidak mengenalnya. Namun, senyumnya seolah mematahkan semua kekhawatiranku. Aku membalas senyumannya dengan canggung.
“Nak, betah sekali di atas situ,” sapa kakek itu, suaranya parau namun hangat.
Aku turun dari dahan, mengamankan peralatan lukisku. “Iya, Kek. Pemandangannya bagus.”
“Bagus, ya?” Ia ikut memandang ke arah hamparan sawah. “Dulu, pemandangan seperti ini dinikmati oleh banyak orang. Mereka tidak perlu naik ke pohon untuk melihatnya.”
Aku terdiam. Ada nada melankolis dalam suaranya. Kakek itu kemudian menjelaskan bahwa dulu, orang-orang di desa sering berkumpul di bawah pohon asam ini setelah seharian bekerja di sawah. Mereka berbagi cerita, tawa, dan tentu saja, senyuman. Kakek juga menceritakan betapa senyuman itu bisa meringankan beban yang berat dan memberikan harapan di tengah kesulitan. Kata-kata kakek itu seolah menggedor kesadaran dalam diriku. Senyum bukan hanya tanda perkenalan, seperti yang dulu kuhafal, melainkan juga sebuah bahasa universal yang sarat makna.
***
Pohon asam tetap menjadi tempat favoritku, tapi kini aku tak lagi sendirian. Hampir saban sore kakek itu datang dan kami bercerita banyak hal. Pesan sederhana yang dulu kuanggap remeh itu akhirnya menemukan maknanya dalam tindakan kecil sehari-hari. Senyuman memang tidak membutuhkan kata-kata, tapi ia mampu membuka pintu kebahagiaan yang jauh lebih besar.
“Ini lukisan kamu?” Kakek menunjuk kertas gambar yang baru kuberikan. Aku hanya menoleh.
“Kamu suka melukis?”
Aku bingung, tidak tahu harus menjawab apa. Sebenarnya aku hanya menghabiskan waktu saja, bukan karena suka menggambar.
“Bagus, meski Kakek tidak paham kamu melukis tentang apa.” Aku hanya tersenyum. Aku sendiri tidak tahu makna lukisan itu.
“Menulis, menggambar, adalah cara lain menyuarakan isi hati. Mungkin bagi orang yang hobi bicara, mereka bisa mengatakan apa pun yang mereka mau. Tapi bagi orang-orang seperti kamu, bisa mengungkapkan semua yang kamu rasa melalui cara yang berbeda. Yang penting teruslah menyuarakan apa pun yang kita rasa, mungkin dengan cara masing-masing. Jangan dipendam, nanti jadi bumerang.”
“Terima kasih, Kek,” kata itu akhirnya meluncur mulus dari mulutku. Entah bagaimana Kakek mampu menghipnotis diri ini, seakan setiap tanya di benakku mampu diterjemahkan dengan ungkapan yang ringan namun penuh makna.
***
Setelah salat asar, kakiku melangkah di atas jalan berbatu yang telah hafal setiap lekuknya. Desir angin yang membawa aroma tanah basah dan petrichor menusuk hidung, mengisyaratkan langit akan segera menumpahkan isinya. Meskipun begitu, langkahku tak gentar, sebab tujuanku bukan sekadar pemandangan senja yang memudar. Di sana, di tempat favoritku, selalu ada cerita yang mendamaikan sepasang telingaku, sebuah hati yang selalu hangat menyapa jiwaku. Ya, cerita-cerita Kakek. Petuah-petuah tentang menghargai diri dan meningkatkan nilai diri.
Senja ini kembali terasa hampa. Sudah beberapa hari aku tidak melihat kehadiran kakek yang kunanti. Tas kresek berisi peralatan lukis menyembul keluar. Kuas pun meluncur mengikuti ritma gerak tanganku. Kertas putih mulai berwarna, menceritakan isi pikiranku. Sesekali aku menoleh ke bawah, berharap ada suara Kakek yang menyapa seperti biasa. Namun, penantianku tak bertanda. Kakek tidak juga hadir, padahal matahari sudah hampir sampai di ufuknya. Aku harus segera pulang, tidak ingin Mak khawatir kalau aku belum sampai rumah saat suara mengaji mulai terdengar di meunasah.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamarku. Kuletakkan tas kresek di sudut ruangan, dan lukisan di atas meja kecil yang mulai usang di sisi ranjang. Lalu, bergerak cepat mengambil peralatan mandi. Karena tidak ingin keduluan yang lain melantunkan azan magrib di meunasah yang menjadi rebutan anak-anak seusiaku.
Setelah selesai belajar mengaji di meunasah, aku langsung pulang ke rumah. Aroma masakan Mak menyambutku dari dapur, membuat perutku keroncongan. Di meja makan, sudah tersaji hidangan makan malam yang sederhana, tetapi selalu terasa sangat istimewa di lidahku. Keahlian Mak dalam memasak memang tidak perlu diragukan. Tidak heran setiap ada acara di kampung, Mak selalu menjadi juru masak istimewa yang dicari-cari. Ayah juga sering menemani kami makan, kecuali ada kegiatan yang mengharuskannya keluar rumah.
“Ayah mana, Mak?” tanyaku saat Mak sedang menyiapkan sepiring nasi untukku. Mak menoleh ke arah kamar Ayah. “Ada, tadi. Mungkin masih di kamar,” jawabnya santai.
Aku memalingkan mataku. Di balik tirai kamar, Ayah berjalan menuju meja makan. Senyum khasnya selalu tersungging, mendamaikan jiwa setiap orang yang melihatnya. Makanya Ayah menjadi sosok yang sangat disegani dan disenangi banyak orang.
“Sudah siap mengaji?” sapa Ayah yang duduk di sebelah kananku.
“Alhamdulillah sudah, Yah,” jawabku.
“Ini tumis kangkung kesukaan kamu,” Mak menyodorkan menu teristimewanya.
“Wah, bisa tidur nyenyak anak lelaki Ayah ini,” seraya mengelus rambutku penuh kasih sayang.
Aku selalu bersyukur dilahirkan dari orang tua seperti mereka. Hidup kami memang sederhana, jauh dari kemewahan, tetapi kehangatan dan limpahan kasih sayang tak pernah sekalipun terasa kurang.
“Ayah lihat lukisan di kamarmu. Kamu tidak mengambil lukisan orang, kan?” kata Ayah dengan nada datar, suaranya sedikit lebih berat dari biasanya.
Perasaanku mendadak tidak enak melihat ekspresi Ayah. Alih-alih memancarkan kekaguman, wajahnya justru menunjukkan keseriusan dan sedikit keraguan.
“Oh, itu… itu lukisan saya,” jawabku, sedikit gagap karena terkejut dengan perubahan sikapnya.
Ayah menatapku lekat-lekat. “Itu lukisan kamu? Tapi sosok di lukisan itu sangat mirip dengan Pak Harun.” Kurasakan kecurigaan dalam sorot matanya yang biasanya penuh kasih.
“Maksud Ayah… lelaki dalam lukisan itu Pak Harun?”
“Apa benar lukisan itu lukisan kamu?” Nada selidik begitu kuat. Aku mengerti tentang keraguan Ayah. Ayah sosok yang sangat tegas dalam bersikap. Dia tidak pernah ingin aku mengambil milik orang.
“Benar, Ayah, itu lukisan saya. Kakek itu yang sering bercerita padaku tentang cara menikmati hidup,” jelasku, mataku masih lekat memandang Ayah.
“Kamu kenal dengan Pak Harun?” Ayah mengerutkan dahi, berusaha mencari alasan dariku.
“Hmm… mungkin. Saya tidak tahu namanya. Kami sering menghabiskan waktu bersama sambil menikmati senja di pohon asam dekat sawah kita,” jawabku, menjelaskan lebih detail.
Mendengar itu, Ayah terkejut. “Oh, ya? Kenapa Ayah baru tahu?” tanyanya, suaranya dipenuhi rasa takjub. Kembali kuperhatikan raut wajah Ayah, tiba-tiba memancarkan binar-binar kebahagiaan.
“Dia guru Ayah yang sangat luar biasa. Tulisan beliau penuh bermakna, lukisannya juga sangat indah, dan yang paling penting, sangat bijak dalam bersikap.”
Ayah mulai bercerita panjang lebar tentang sosok yang juga kukagumi. “Ada banyak petuah beliau yang masih Ayah jadikan pedoman dalam berperilaku,” lanjutnya, suaranya bergetar menahan haru.
“Salah satu yang paling membekas ungkapannya yang penuh makna: ‘Senyumlah dengan tulus, agar kamu merasa damai dan mendamaikan orang-orang yang berada di sekitarmu.’”
“Ya, Ayah,” yakinkanku dalam hati. “Kata-kata itu juga masih terngiang di telingaku.” Aku terus mendengarkan cerita Ayah, menyadari bahwa sang guru sejati itu ada, yang hidup kekal dalam diri Ayah, kini juga telah merasuk ke dalam jiwaku. Yang membimbing tanpa syarat, mengajar tanpa ragu, memberi ilmu tanpa paksa, memberi petuah tanpa menghakimi. Dan senyum yang kuberikan pada Ayah, terasa lebih tulus dari sebelumnya, sebuah bingkai senja yang kini menjadi bagian utuh dari diriku.
***
