Saat Panggilan Kembali Datang

Seutas Cerita Singkat oleh Niswatul Chaira (Guru BK nya GenZ)

Langit pagi kala itu cerah kebiruan. Angin membawa aroma khas ruangan yang dulu ia huni. Di antara langkah-langkah kecil yang berlalu-lalang, seorang perempuan muda berdiri diam di depan gerbang baru bertuliskan DAYAH JEUMALA AMAL”. Wajahnya teduh, tapi matanya menyimpan haru yang dalam.

Namanya Keumala, seorang alumni yang dulu dikenal sebagai murid kecil, ramah dan ceria itu kembali setelah bertahun-tahun menuntut ilmu dan melanjutkan studi di perguruan tinggi, kini langkah membawanya pulang, bukan lagi sebagai murid tetapi kembali sebagai seorang guru.

“Subhanallah… ini tempat yang dulu menumbuhkanku,” bisiknya pelan.

Masih terekam jelas di kepalanya, dulu setiap subuh ia menyalakan lampu musalla dibawah “Rumoh Aceh” yang megah itu sembari menunggu fajar datang untuk menunaikan shalat berjamaah bersama teman-temannya. Kali ini ia datang dengan tugas baru menyalakan semangat belajar generasi setelahnya. Keumala masih tak percaya ketika panitia penyeleksi menghubunginya beberapa minggu lalu.

“Keumala, selamat kamu terpilih sebagai guru baru di Dayah Jeumala Amal. Kembalilah nak, ayo menjadi bagian dari indahnya perjuangan membina murid yang selama ini kamu inginkan ,” kata suara tua di ujung telepon.

Kata-kata itu bergaung lama di kepalanya. Awalnya, ia ragu. Dunia luar telah memberinya pekerjaan mapan dan kehidupan yang nyaman. Tapi setiap malam, hatinya terasa kosong. Ada suara lembut yang terus berbisik “Mungkin, ini bukan sekedar tawaran pekerjaan,” batinnya waktu itu.
“Ini panggilan…”

Dan begitulah, panggilan itu akhirnya ia jawab.

Tanpa banyak bicara, Keumala menulis balasan ” Insya Allah ustazah, ana kembali”.

-Kembali, Tapi Tak Lagi Sama

Saat langkahnya menapaki halaman asrama, segala kenangan seolah berbaris menyambutnya.
Setiap sudut menyimpan cerita, musalla tempat ia dulu membaca Al-Qur’an hingga larut, tangga asrama yang selalu berderit setiap subuh, lapangan tempat ia mendapat mufradat baru, serta panggung megah berdiri kokoh tempat ia menulis do’a-do’a rahasia tentang masa depan.

Kini, tempat yang dulu membesarkannya menjadi ladang pengabdiannya.

Hari pertama mengajar, Keumala berdiri di depan kelas yang dipenuhi wajah-wajah muda penuh semangat. Suara salamnya terdengar lembut, namun tegas.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikumussalam, Ustazah!” seru para murid hampir serempak.

Ia tersenyum. Kata “Ustazah” itu terasa begitu asing, tapi sekaligus indah di telinga. Ada rasa tanggung jawab yang berat, namun juga kebahagiaan yang dalam. Hatinya berbisik

“Pantaskan sebutan mulia itu menjadi nama depan nya mulai hari ini?”

Pelajaran hari itu berjalan sederhana. Tapi di sela penjelasan, seorang santri kecil mengangkat tangan dengan polos,

“Ustazah, apakah dulu Ustazah juga pernah dimarahi karena tidur di kelas?”

Seluruh kelas tertawa kecil.
Keumala tersenyum, lalu berkata dengan nada lembut,

“Sering sekali. Bahkan Ustazah pernah menangis semalaman karena dipukul menggunakan rotan. Tapi dari situ Ustazah belajar, bahwa ilmu bukan tentang siapa yang paling pintar dan tidak melanggar, tapi tentang siapa yang paling sabar dalam memperbaiki diri.”

Anak-anak itu terdiam. Ada sesuatu yang menenangkan dari kata-katanya.
Dan di saat itulah Keumala sadar, menjadi ustazah bukan hanya tentang mengajar, tapi tentang menghidupkan kembali nilai-nilai yang pernah menuntunnya menjadi dirinya hari ini.


-Pelajaran yang Kembali Diajarkan

Hari-hari berjalan cepat. Keumala terbiasa dengan ritme dayah lagi, bangun sebelum azan subuh, membangunkan anak-anak, menerima setoran hafalan, sampai mengecek anak-anak untuk istirahat saat malam tiba pun kini menjadi rutinitas baru yang akan terus ia jalani. Sekarang, ia memandang semua itu dari sudut pandang yang berbeda.

Dulu ia melakukan semuanya karena tugasnya sebagai murid. Sekarang, ia melakukannya karena panggilan hati sebagai pengabdi.

Suatu malam, setelah para santri tidur, Keumala duduk di atas “Balee Meusaneut” tempat favoritnya dulu untuk menyendiri, ia menatap langit yang bertabur bintang lalu menulis di buku diary nya, buku yang dulu selalu ia bawa ke mana pun dan menemami perjalanannya di Dayah Jeumala Amal. Di halaman pertama ia menulis kalimat yang meneteskan air matanya sendiri.

“Dulu aku datang ke Dayah ini untuk belajar mengenal Allah. Kini aku kembali agar bisa menuntun orang lain mengenal-Nya.”

Ia tersenyum kecil sambil menatap pohon sawo durian tua yang masih berdiri di tempatnya.
Betapa waktu berjalan cepat, tapi beberapa hal memang ditakdirkan untuk tetap sama, termasuk tempat di mana seseorang menemukan makna hidupnya.


-Panggilan Itu Bernama Pengabdian

Hari-hari di Dayah tidak selalu mudah. Ada murid yang keras kepala, ada yang mudah menyerah, ada pula yang terlalu sensitif hingga mudah menangis. Tapi Keumala belajar satu hal penting bahwa setiap karakter adalah ladang pahala dan kesabaran.

Subuh itu, ketika salah satu santrinya berhasil menamatkan hafalan juz pertamanya, Keumala menahan air mata. Ia tahu, rasa bahagia itu tak bisa ditukar dengan apapun di luar sana.

Di ruang kecil yang dipenuhi doa dan harapan, ia menemukan kembali arti hidup yang sempat hilang di tengah gemerlap dunia luar. “Ikhlas“.
Ikhlas memberi, ikhlas membimbing, ikhlas menanam tanpa harus selalu melihat hasilnya segera.”

Malam itu, ketika seluruh Dayah telah sunyi, Keumala menulis catatan terakhir di buku hariannya sebelum ia beranjak tidur.

“Ternyata, tidak semua panggilan datang untuk mengajak kita pergi. Ada panggilan yang datang agar kita pulang. Bukan ke tempat, tapi ke tujuan hidup yang sebenarnya.”

Ia menutup buku itu, menarik selimut, dan tersenyum.
Hatinya tenang, karena ia tahu “panggilan itu benar-benar telah membawa dirinya pulang, bukan sekadar kembali ke Dayah, tapi kepada makna hidup yang selama ini ia cari”.

Akhirnya, Keumala kecil yang dulu berlarian untuk memenuhi kewajibannya sebagai murid kembali bukan lagi sekedar belajar, tetapi sebagai Ustazah yang akan terus mengajarkan nilai kehidupan yang lebih baik. Karena baginya guru sejati tidak akan pernah berhenti menjadi santri dalam kehidupannya.

Penutup-

Setiap orang punya jalan pulang yang berbeda.
Bagi sebagian, panggilan itu datang dalam bentuk keberhasilan yang baru, bagi yang lainnya panggilan itu hadir dalam bentuk kerinduan lama yang tak pernah padam.
Dan bagi Keumala, panggilan itu datang sebagai undangan lembut dari Allah untuk kembali, bukan karena kekurangan, tapi karena ada cahaya yang harus dibagikan.

Ia belajar bahwa menjadi ustazah bukan akhir dari perjalanan, melainkan kelanjutan dari pengabdian.
Bahwa mengajar bukan berarti sudah sempurna, tapi justru cara paling indah untuk terus memperbaiki diri.
Dan setiap ilmu yang diajarkan dengan ikhlas, sekecil apa pun, akan selalu menemukan jalan pulangnya kepada hati-hati yang membutuhkan.

Malam terakhir di Dayah sebelum tahun ajaran baru, Keumala menatap langit penuh bintang sambil berbisik dalam hatinya.

“Ya Allah, Engkau tak pernah salah memanggil.
Engkau tak pernah terlambat menuntun. []

°❀⋆.ೃ࿔:・°❀⋆.ೃ࿔:・

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *