Oleh: Faiz Atharrizki (murid kelas XI MIA 2 DJA)
Ruangan dengan empat segi yang memanjang itu hening, hanya menyisakan suara kicauan burung pagi, masuk dari jendela yang terbuka. Pak Budi berdiri membelakangi murid, menggoreskan kapurnya. Kepala Beni masih berputar mencoba mencerna apa yang sedang terjadi di papan tulis. Tarian angka-angka dan beberapa simbol mengalir masuk melintasi telinga kanannya dan keluar di telinga kirinya begitu saja. Sampai akhirnya dia terlalu pusing dan terkulai lemas, tertidur beralaskan buku usangnya. Harus diakui, matematika akan dengan mudah meledakkan kepala Beni. Mungkin juga akan menghisapnya menuju ketiadaan seperti lubang hitam yang dibacanya di perpustakaan kemarin. Pak Budi berbalik mencoba menganalisa keadaan murid-muridnya. Tampak jelaslah Beni yang sedang membaringkan kepala dan Edo yang masih mengupil tak menggubris pelajaran. Langsung saja dua buah kapur tulis bertransformasi menjadi proyektil berkekuatan tinggi menghantam dua kepala sekaligus. “Sudah berapa kali saya tegaskan, gak ada yang tidur di kelas saya. Apapun itu alasannya. Titik!” bentak Pak Budi ke dua anak tersebut.
Suasana mencekam belum juga berakhir. Pak Budi yang seolah belum cukup hanya membentak, memandang mereka satu persatu, membuat keadaan semakin tegang saja. Tensi yang meningkat akan mencari akhirnya, bermuara pada ledakan bagai bom waktu. Pak Budi seorang guru killer, tak banyak bicara namun tindakannya tegas. Doktrin tersebut melekat kuat bagi seluruh murid yang pernah diajarnya, membuat semua orang tak berani berbuat kesalahan yang malah membuat mereka kaku dan tak manusiawi.
Langkah kaki yang berat itu mengintimidasi, seakan memberi otoriter ketegasan yang mendalam. Jarak yang semakin dekat membuat hati Edo ciut, tak berani dipandangnya tatapan tajam guru itu. “Kemarin kamu, sekarang masih juga kamu, kapan kamu mau berubah Edo!” lontar Pak Budi, membuat bulu kuduknya berdiri memberi sinyal marabahaya.
Pak Budi pun berbalik menuju pasien terakhirnya, dengan langkah pelan bergerak mendekat mengancam Beni. Beni yang sudah terlanjur tertidur hanya pasrah dengan hukuman apa yang akan diterimanya. Pak Budi hanya meliriknya, sekilas terlihat raut kekecewaan dari wajahnya. Ia hanya melewati tanpa berkata apapun. Bel terakhir pun berbunyi. Menyelamatkan mereka dari kehancuran yang semakin besar. Kerumunan orang berdesakan menuju pintu keluar mencari pengganjal bagi perut yang lapar.
“WAA!!” pukul Edo di bahu Beni, “Ke kantin yuk, daripada cuman duduk-duduk aja disini.” ajaknya.
“Nggak dulu ah do, harus bantuin Pak RT benerin sistem lampu untuk acara maulid.”
“Gimana siang ini, ke warnet cocok nih.”
“Sepertinya juga nggak sempet, ada gotong royong… .” jawab Beni dengan lesu
“Hei bro, manusia macam apa sih kamu. hidup itu bukan hanya tentang orang lain aja.”
Wajah Beni mengerut, mencoba mencerna apa yang baru saja temannya lontarkan. Bukankah membantu orang merupakan kewajiban, atau aku yang sebenarnya sudah berlebihan. Pikirannya berkecamuk, tak tahu apa yang harus dipilih. Ia kembali menatap sahabatnya. Pandangannya masih berharap. Beni bimbang, memilih untuk terus mengikuti pendirian pribadinya atau ikatan persahabatan yang telah lama ia bangun. “Maaf ya Do. Tapi mereka masih membutuhkanku.” Beni bangkit, menggeserkan kursi kayu yang didudukinya. Menggait tas hitam, berbalik meninggalkan sahabatnya yang masih terpaku keheranan akan sifatnya itu. Wah, dia berlagak sok keren lagi, pikir sahabatnya.
Perjalanannya berlanjut, melewati koridor kelas yang sudah mulai kosong oleh arus balik murid-murid. Beni berjalan ke arah parkiran kendaraan, menemukan sepeda gunung pemberian almarhum ayahnya tercinta. Tersandar ke arah tiang, dengan pangaman yang masih menancap di roda. Ia menunduk melepaskan gembok pengaman sebelum akhirnya melesat melewati jalanan kampung yang kecil. Jalanan aspal terseraki kotoran hewan, membuatnya bermanuver melintasi tantangan, perjalanan sederhana itu menjadi simulasi yang seru. Similir angin dari persawahan membawa ceritanya sendiri, menggoyangkan rerumputan pinggiran jalan. Menggoyangkan pepohonan, seakan melambai ke arahnya.
Menara mesjid telah terlihat, memperlihatkan keagungan rumah tuhan. Menandakan perjalanan asyiknya harus segera mencapai akhir. Ia berhenti tepat di halaman mesjid. Suasana ramai menghiasi halaman hijau, tali temali antar warga terjadi. Beberapa orang terlihat berkumpul dengan papan tulis dan kepala pemuda kampung berada di depan mereka. Saling melemparkan opini.
Beni datang membawa sebuah buku, kedatangannya telah ditunggu lama. Ia maju ke depan, membuka buku yang dibawanya, mengeluarkan beberapa kertas yang terlipat. Sebuah rancangan kompleks yang telah dibuatnya sejak semalam. Dengan tergesa memberikan cetak birunya kepada si Ismail alias Mae, sang orator mereka. Wajahnya mengerut, mencoba mencerna hal yang sepertinya terlalu kompleks untuk orang berotak tumpul sepertinya. Walau sudah begitu, dengan ekspresi yang meyakinkan, mengelukan hasil karya Beni yang menurutnya sangat sempurna. Orang-orang majelis itu pun langsung senang dan semangat untuk melanjutkan pekerjaan mereka.
Suara toa masjid menyeruak, menarik para kaum lelaki yang masih perkasa dan bugar untuk segera menuju halaman masjid guna bergotong royong, membersihkan lingkungan sebelum acara yang mereka tunggu-tunggu itu terlaksana. Banyak orang dengan semangat kuda, membawa cangkul mereka, sapu-sapu lidi dan berbagai macam perlengkapan. Bahkan meminta temannya untuk pergi bersamaan lantaran tak menemukan sesuatu yang dapat ditumpanginya. Namun, di mulut gang nan jauh, beberapa “anomali” masih berkumul malas bersenderkan kursi plastik. Terus mengeluh akan tak becus nya Pak RT kampung ini, salah satunya Edo yang teridentifikasi sebagai sang pemimpin komplotan. Duduk dengan segenggam ponsel di tangan ditemani setengah cangkir kopi yang bukan karena diminumnya melainkan pintanya kepada Bang John yang sudah bosan dengan gelagat anak yang satu itu.
“Ada Pak RT, Ada Pak RT!!” teriak salah seorang anggota komplotan, beberapa langsung berlari, beberapa bersembunyi di WC yang memang menjadi benteng terakhir untuk menyelamatkan diri. Semua aman kecuali Edo yang tak mendengar apa-apa lantaran telinganya tertutupi headset membuatnya terpisah dan tenggelam di dunianya sendiri. Pak RT yang baru datang hanya bermaksud membeli kopi bagi para warga dibuat jengkel dengan penampakan seorang anak muda sehat walafiat lagi lengkap bagian tubuhnya ini, duduk lalai dengan permainannya sendiri. Pak RT hanya menggelengkan kepala, tak tahu harus berbuat apa.
Pak RT meninggalkannya menyisakan Edo sendirian di warkop. Bang John yang baru kembali membeli gula terkejut, mendapati pelanggan warung itu sudah kosong dan hanya menyisakan seorang saja, dan itu Edo. Langsung saja ia menegurnya, meminta pertanggung jawaban sang pemimpin kelompok. Edo yang baru tersadar langsung bangkit, berlari meninggalkan Bang John yang hanya bisa menatap tanpa tahu komplotan itu berada di WC nya sendiri.
***
Deru suara cangkul beradu dengan batu terdengar jelas di-mana-mana. Suasana gotong royong berlangsung ramai dengan tiap orang yang masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Beni menggenggam cangkulnya erat, mengeluarkan tanah yang menumpuk dari parit. Tangannya terasa keram, telapaknya memerah dengan baju yang sudah dibasahi keringat. Ia sudah kelelahan. Ia terduduk di bawah pohon, dengan napas yang masih tersendat, membaringkan dirinya, berteduh sekali mencari udara sejuk. Dialihkan pandangannya. Melihat gelagat rerumputan bergoyang. Di kejauhan seseorang berlari terpincang-pincang, ia sepertinya cukup kelelahan. Tampak orang itu makin dekat, dan baru dikenalinya itu Edo ia terlihat payah, napasnya terus memburu mencari oksigen yang masih bisa di hirup. Dengan perlahan duduk di sampingnya.
“Dari mana aja bro?” tanya Beni dengan penasaran.
“Biasa, habis dikejar.” jawab Edo seakan itu bukan kali pertamanya.
Mereka berbaring di atas rumput kering, menatap langit sambil mengumpulkan energi. Seseorang memanggil Beni dari kejauhan, memberi isyarat untuk memperbaiki kerusakan pada aliran listrik lampu hias. Ia menyikut Edo, menawarkan hal yang memang sudah menjadi hobinya sejak lama. Ia bangkit, berjalan ke arah suara. Memenuhi panggilan tersebut. Semua kesibukannya masih terus berlangsung, sampai langit mulai menjingga, memberikan sinyal bahwa waktu magrib hampir tiba. Beni mengambil kembali sepedanya yang masih bersandar, bermaksud pulang. Ia melambaikan tangannya ke arah Edo yang tengah asyik memereteli perangkat listrik itu. Rumah dilihatnya dari kejauhan. Bahtera kerjaan tempatnya bersemanyam, sesampainya disana langsung ia membersihkan diri. Malam telah berlalu ia terlalu lelah lalu terjatuh dalam tidur.
***
“Kumpulkan PR yang kemarin di meja!” perintah Pak Budi kepada seluruh murid, hampir semua murid maju dan menaruh buku mereka, kecuali dua sejoli ini yang masih memandang satu sama lain. Tak pernah ingat bahwa mereka memiliki kewajiban untuk dilaksanakan.
Pak Budi membolak-balik kumpulan buku yang sudah menumpuk di meja, sekaligus menulis dan mendata nilai di absennya. Beni dan Edo tampak gugup, keringat dingin keluar dari dahi mereka. Hanya pasrah menunggu apa lagi yang akan menimpa mereka kali ini. Setelah sebelumnya selalu dicap sebagai anak yang gembleng, sekarang apa lagi yang akan menimpa mereka.
Pak Budi perlahan bangkit, dengan serius berjalan di antara kursi para murid. Setelannya rapi dengan rambut yang tersisir klimis walau garis kepalanya sudah mundur jauh, memberi kesan yang dalam kepada karakter berdisiplin tinggi. Tak mengenal tapi, dan tegas dalam penilaian.
“Beni, Edo, berdiri!”perintah Pak Budi dengan nada rendah namun begitu mencekam.
Beni pasrah, Edo apalagi. Mereka berjalan gontai berdiri membelakangi papan tulis. Menghadap seluruh murid yang menahan tawa.
“Berdiri dengan satu kaki!” tegas Pak Budi, mengharuskan dua orang itu dipermalukan tak kepalang di depan teman mereka sendiri.
Pak Budi melanjutkan pelajaran, menulis soal-soal, gesekan kapur memenuhi papan tulis terdengar mencekam. Pak Budi menyelesaikannya dengan cepat lalu menunjuk Beni, menyuruhnya menjawab. Beni memandang lekat papan hitam itu, angka-angka bertumbukan di kepalanya, seakan otaknya berasap, ia tak bisa menuliskan apapun yang berujung membuatnya terjemur di lapangan. Nasib yang sama menunggu Edo, tak berselang dua menit setelah Beni keluar, Edo bagaikan sahabat sejati menyusulnya. Sebelum melangkah keluar, embel-embel murid bodoh menyertainya langkahnya. Berdiri sejajar di bawah tiang bendera, mengarahkan hormat yang dipaksakan. Terik cahaya mentari yang menyengat masih terus menemani mereka sampai bel sekolah melolong dari kejauhan.
***
Mentari belum lagi bersinar. Mata pun enggan terbuka namun Beni sedari tadi sudah menyiapkan perlengkapannya, menuju masjid di mana acara maulid akan dilaksanakan. Acara tersebut sudah berlangsung sedari kemarin malam, iringan shalawat berlangsung penuh menghiasi malam itu, menyampaikan rasa rindu yang dalam kepada baginda nabi.
Parkiran masjid hanya berisikan beberapa kendaraan para panitia. Terlihat beberapa orang masih memperbaiki hiasan, menyapu dedaunan yang rontok dan mengurusi acara. Beni sepertinya datang terlambat dibanding mereka semua. Langsung saja ia melangkah menuju teras masjid yang dipenuhi oleh para petinggi, dalang dari acara maulid ini. Kedatangan Beni disambut hangat oleh para tetua, mempersilahkannya duduk dan membagi tiap kewajiban di antara mereka. Beni dan Edo mendapatkan tugas sebagai pembawa lauk yang telah dikirimkan oleh warga desa. Sebuah pekerjaan yang mereka benci karena menguras tenaga yang tak sedikit. Hari semakin panas dan keranjang berisikan lauk itu semakin bertambah, hal yang sangat menyulitkan bagi mereka. “Waktunya hampir tiba.” ujar Beni seraya mengamati arloji miliknya, menampakkannya kepada Edo.
Orang-orang sudah mulai berdatangan memenuhi halaman masjid dengan kendaraan. Maulid yang dirayakan dengan kenduri akbar itu selalu menarik banyak peminatnya setiap tahun, bahkan sering mengalahkan jamaah jumatan. Rombongan demi rombongan mulai tiba, salah satu nya rombongan Pak Budi dengan para guru yang berhadir selepas menyelesaikan jam sekolah. Beni yang tak pergi ke sekolah tahu persis bahwa rombongan itu pasti akan datang, maka dengan seksama mengawasi tiap orang yang bertandang.
Pak Budi turun perlahan dari mobil van putih itu. Melangkah dengan pandangannya yang terpaku pada langit-langit yang sudah dipenuhi payung sebagai hiasan, ia terus berjalan memerhatikan desain hiasan lainnya yang sungguh memikatnya. Rasa penasaran timbul di hatinya menanyakan siapa orang di balik semua ide cemerlang ini. Rasa keingintahuan itu tak terbendungkan sehingga ia menanyai seseorang warga kampung tersebut, Pak Budi menyalami pria yang mungkin seumuran dengannya.
“Pak, saya terkesan dengan semua dekorasi ini.” Pak Budi menengadah memandang dekorasi itu dengan takjub.
“Kalau boleh tahu siapa yang punya ide membuat semua ini?” rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya, tak sabar ingin tahu sosok di balik semua ide brilian ini.
“Wah kebetulan sekali bapak dari sekolah kan, mungkin bisa jadi salah satu murid bapak.” sahut si bapak.
Pak Budi masih memutar kepalanya memikirkan bagaimana bisa seorang anak SMA dapat merancang semua ini. Nama-nama murid berprestasi tergiang di kepala, memilih siapa yang memang pantas untuk karya sebagus ini.
“Oh ya pak, kalau tidak salah saya, malam ini payung yang berada di atas anda ini akan bisa bercahaya.” ujar Bapak itu dengan semangat.
Mendengar semua itu ia tambah kebingungan. Merancang seluruh ini bagi anak SMA itu sudah berlebihan, ia hanya ingin tahu siapa di antara murid yang dikenalnya telah menciptakan pemandangan ini.
“Kalau namanya bapak ingat tidak?” tanya Pak Budi ingin menutupi rasa penasarannya.
“Kalau nama ya…hmm… saya agak lupa… oh ya mereka dua orang, kalau gak salah dipanggil Beni dan Edo.”
“Siapa tadi pak?” tanya Pak Budi sekali lagi memastikan apa yang telah didengarnya.
“Nah itu tuh orangnya.” ucap sang bapak seraya menunjuk ke arah dua orang yang sedang sibuk memindahkan barang.
Benar sudah yang diucapkan si bapak, mereka memanglah muridnya sendiri. Pak Budi terus termenung selama acara masih berlangsung. Orang-orang mulai mengambil tempat mereka di masjid, menunggu panitia membagikan nasi maulid yang khas itu. Sebuah nasi tak berbungkus. Bertentengkan plastik beralaskan daun pisang, dengan lauk yang bermacam ragam menghiasi maulid yang cukup meriah di hari yang mulai memanas. Semua orang terlihat senang kembali seraya menenteng nasi mereka masing-masing.
Pak Budi mengindahkan ajakan terman sekantornya yang akan pulang duluan, ia masih ingin melihat-lihat tempat itu. Malam pun tiba, menghidupkan tiap lampu hias itu yang sudah disetel. Menghiasi pemandangan malam dengan indah, jalanan desa yang sempit itu berkilauan, tertimpa cahaya lampu. Para warga terlihat bahagia, berkumpul dengan sanak saudara. Shalawatan masih terdengar menutupi langit malam itu, memberikan orang-orang momen tak terlupakan. Pak Budi berbalik, kembali ke rumahnya. Sebuah rumah bergaya renaissance memberikan kesan antik, menunjukan bahwa pemiliknya punya selera yang tinggi. Pikirannya masih berkecamuk, antara pura-pura tidak tahu apa yang terjadi atau mengakui kekalahannya. Perjalanan kariernya sudah mencapai 16 tahun, dan ia tak pernah sadar. Ia terduduk diam di kursinya selama beberapa saat. Meja di depannya di penuhi buku-buku tebal. Ia mengait tangannya menghidupkan sebuah lampu di meja, membuka buku diary, mengambil pulpen dan mulai menggoresi. “Setiap anak memiliki potensinya masing masing … ”.
***
“Pak Budi datang!” seru seorang murid seraya berlari menuju tempat duduknya.
Seisi kelas yang awalnya riuh seketika hening, menyisakan suara kipas yang masih berputar memberi udara sejuk. Pak Budi melangkah pelan memasuki ruangan. Ia langsung duduk dengan diam. Membuat seisi kelas panik berpikir apa yang telah terjadi.
“Beni dan Edo mohon ke depan.” perintah Pak Budi pelan, namun membuat kelas riuh dengan manusia yang saling berbisik.
Beni dan Edo melangkah ke depan, berdiri membelakangi papan hitam, mengangkat kakinya. “Siapa yang menyuruh kalian untuk angkat kaki ?” tanya Pak Budi.
“Bukannya bapak hendak menghukum kami ?” tanya mereka berdua terlihat kebingungan, seraya menurunkan kakinya masing-masing.
Pak Budi bangkit mendekat ke arah dua anak tersebut, memandang mereka secara perlahan. Ia tersenyum, sebuah emosi yang tak pernah dilihat oleh semua orang yang berhadir di kelas. Pak Budi berbalik menghadap seluruh murid yang bingung dengan apa yang telah terjadi. “Berikan tepuk tangan untuk kedua orang ini.” Perintah Pak Budi seraya menatap Beni dan Edo. Membuat seisi kelas kebingungan. Namun Beni dan Edo mencoba menerka. Pasti kejadian maulid kemarin menjadi awal semuanya telah berbeda.
