Sebuah Cerpen oleh Muhammad Nabil Rahali (Kelas IX-5)
Tersebutlah di sudut gang kecil yang malu-malu disinari matahari pagi, berdiri sebuah warung tua berdinding triplek yang mulai keriput dan beratap seng yang suka bernyanyi saat hujan mengetuk salam. Warung itu milik Bu Sari, janda tangguh yang hidupnya sudah dijilati waktu dan dipeluk kesunyian sejak mendiang suaminya pergi bertahun-tahun silam.
Setiap pagi, aroma tempe goreng dan sambal terasi khas menyelinap masuk ke rumah-rumah menerpan perut yang kosong dan yang hilang harapan. Warung itu bukan sekadar tempat makan, Ia adalah pusat kampung; tempat bercanda, keluh, dan kopi hitam di bibir yang suka bertukar cerita kehidupannya.
“Bu! Mau belu nasi remasnya satu. Tapi ngutang dulu. hehe!” kata seorang anak pemulung yang terlihat tidak punya apa-apa selain perkataan itu tadi.
“Ya udah sini masuk aja Nduk. Bayarnya bisa kapan nanti!” ujar Bu Sari dengan senyuman yang lebih hangat dari nasi yang baru dihidangkan.
Warung itu tak pernah sepi. Selalu saja penuh dengan kenangan yang lebih dari sekadar ucapan. Meski dompet pelanggannya kering kerontang, Bu Sari tetap memberi makan lebih. Hatinya luas, lebih luas dari ruang tamunya yang hanya muat dua kursi plastik. Namun hidup tak selalu manis seperti teh. Semua haraga di pasar pada naik, entah dari mana keuntungan dia dapatkan. Tapi Bu Sari tak pernah ada rasa untuk menahan pintu untuk para pelanggannya yang serba kekurangan itu.
Memang selalu ada alasan untuk semua kebaikan.
“Saya nggak bisa tutup mas! Kalau saya tutup mereka makan dimana? Cuma warung ini harapan yang mereka punya” Begitu pungkasnya.
Sore itu langit muram menumpahkan hujan dan seng warung bernyanyi ria. Lampu pada padam tapi ketika menyala, warga berdatangan.
“Ngapain sih Bu? Susah-susah gini masih aja ngasih makan anak orang” tanya seorang pelanggan sembari menyeruput kopi.
“Yo, nggak apa-apa mas. Sekarang apa-apa susah, makan susah, kerjapun susah!” jawab Bu Sari dengan sedikit senyuman di ujugnya. “Ini bentuk kebaikanku toh! Supaya orang lain terbantu!” lanjutnya.
Warung kecil itu bukan sekadar tempat, ia adalah tempat pelabuhan rindu, jembatan hati, dan penjaga kewarasan di tengah kerasnya hidup. Warung itu tak pernah sepi. Selalu saja penuh dengan kenangan yang lebih dari sekadar ucapan. Meski dompet pelanggannya kering kerontang.