Hargai Selagi Ada

Oleh : Ulia Ramadhan (X MIA 6)

“Dinda, bangun shalat shubuh.”

“Apaan sih, Bun. Ganggu aja, orang lagi enak tidur juga.”

“Bangun, sholat dulu, kamu juga harus sekolah.”

“Iya-iya.. sibuk banget. Kita yang sekolah dia yang ribut.”

Dinda bangkit dari tempat tidurnya dan langsung menuju ke kamar mandi. Maria, sang bunda hanya bisa menggeleng-geleng kepala dan mengeleus dadanya berusaha untuk bersabar dengan sifat Dinda. Semenjak sang ayah meninggal, Dinda berubah drastis. Yang dulunya sangat ceria dan rajin, sekarang berubah jadi sangat malas dan enggan mengerjakan tugas. Dinda juga sering menyalahkan bundanya bahwa dialah yang menyebabkan ayahnya meninggal.

Beberapa menit kemudian, Dinda keluar dari kamarnya. Ketika melewati ruang makan, Maria, sang bunda memanggilnya untuk sarapan.

“Dinda, sarapan dulu, nak.”

“Males ah.., udah gak ada lagi ayah, kenapa sih harus ayah yang pergi, kenapa gak bunda aja?”

“Kamu gak boleh ngomong seperti itu, nak.”

“Udah lah.., aku mau berangkat sekolah aja. Lama-lama di sini mood aku bisa rusak.”

Dinda langsung meninggalkan bundanya, yang tanpa ia sadari mata sang bunda sudah mulai berkaca-kaca berharap ia bisa bersama dengan anak semata wayangnya itu.

Di kelas, Dinda sedang belajar pelajaran agama. Sang guru sedang menjelaskan bagaimana adab seorang anak terhadap orang tua.

“Jangan pernah kalian membentak atau menyakiti hati orang tua. Dengan kata-kata aja tidak boleh, apalagi kalian tuduh mereka macam-macam. Hargai dan hormati mereka selagai ada. Sebelum penyesalan itu tiba.”

Dinda seketika teringat dengan semua sikapnya terhadap bundanya. Selama ini dia sudah salah menilai bundanya. Tanpa ia sadari ia telah menuduh bundanya penyebab meninggalnya sang ayah. Dinda bangun dari tempat duduknya dan langsung berlari meninggalkan kelas. Dinda berlari menuju ke rumahnya seakan sesuatu telah terjadi.

Sesampainya di rumah, Dinda terkejut melihat rumahnya sudah dipenuhi oleh para tetangga. Ia memasuki gerbang, sekarang tatapan tetangga sudah tertuju padanya seakan memintanya untuk tabah. Seketika ia masuk ke dalam rumah, betapa terkejutnya ketika melihat sang bunda sudah terbaring dan ditutupi kain batik. Dinda berlari dan langsung memuluk sang bunda tak percaya apa yang terjadi.

“Bunda…. Kenapa bunda ninggalin Dinda secepat ini. Bunda tau kan sekarang Dinda sendirian. Maafin Dinda, bundaa… . Dinda udah buat Bunda sakit hati dengan tingkah Dinda. Maafin Dinda, bun. Dinda mohon… bangun, bunnn” eluhnya terisak.

Namun, apa boleh buat? Maria sang bunda sudah meninggalkan dunia fana ini. Salah satu tetangga karib berusaha menenangkan dinda. Sekarang hanya tertinggal gundukan tanah dan batu nisan bertuliskan nama Maria Afifah. Matanya basah lembab memeluk nisan sang bunda. Sekarang Dinda sendirian, tak da lagi sosok bunda yang selalu mencurahkan kasih sayang dan menasehatinya.

“Dinda, ayo kita pulang. Langit sudah mendung nih.”

“Aku mau di sini aja bareng bunda sama ayah.”

“Nanti kamu sakit kalau kena hujan, pasti bunda kamu khawatir di sana.”

“Aku mau disini aja, bu.”

“Besok kita kesini lagi. Ayo sekarang kita pulang dulu, nak.”

Berkat bantuan tetangganya Ia pun bangkit, mereka berjalan meninggalkan komplek pemakaman itu. Sekarang Dinda benar-benar sendiri. Dulunya masih ada sang bunda yang menemani kesehariannya, kini kedua orangtuanya sudah tiada. Lagi-lagi apa boleh buat, semua sudah terlambat.

“Bunda, Dinda minta maaf,” ucapnya disela-sela tangisnya.

Kesimpulan : Hargailah kedua orang tuamu selagi mereka masih berada disisimu. Terutama ibumu, karena surga berada dibawah telapak kaki ibu. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *