Muhammad Raihan (XI Mia 2)
“Siapa di sini yang bernama Fadli?”, semua mahasiswa hanya diam menatap ke arahku. tidak mungkin terjadi? semua menatap dengan tatapan kosong. Mereka seolah membenciku, tak ada yang mau berteman denganku. Kesalahan apa yang telah ku lakukan, kenapa harus terjadi padaku? “kamu di DO dari kampus, jangan pernah kembali lagi kesini!”. Kalimat itu keluar dari lisan seorang yang ku kenal, itu seorang dosen di kampusku. Ada apa ini, kenapa bisa begini?
Kring… kring…
Suara jam beaker mengejutkanku. Keringat dingin bercucuran di seluruh tubuhku. Jam menunjukkan pukul 05.30 dini hari, perasaanku bercampur aduk seketika terbisik olehku “ternyata hanya mimpi”. Aku pun langsung bersiap-siap untuk melaksanakan shalat Subuh secara berjamaah di masjid. Kebetulan jarak antara masjid dan rumahku tidak terlalu jauh. Sehingga tidak sampai lima menit aku sudah sampai ke sana. Oh ya, nama masjid itu Masjid Al-Ikhlas. Masjid ini dibangun sekitar 13 tahun silam. Tidak lebih dari 8 menit, akhirnya shalat Subuh pun selesai. Aku langsung pulang ke rumah dan bersiap-siap mandi dan berangkat ke kampus. Slesai mandi, aku langsung memakai seragam dan menyempatkan diri untuk sarapan. Sarapan? Ya, ibuku telah menyiapkannya di meja. Ibu menyapaku “dimakan dulu sarapannya, Dil”. Aku pun mengangguk kepalaku berarti mengiyakan. “Mumpung sarapan masih anget” tambah Ibu. Usai sarapan aku langsung pamit berangkat ke kampus dan tiba tepat pukul 07.25.
Seorang temanku menyapa dengan senyum lebar, “selamat pagi, Dil”. Ya, itu kawanku Farel. Dia anak kampung sebelah, dia termasuk orang kaya di kampung itu, kampung Hasan Sejahtera. Farel telah menjadi teman karibku sejak duduk di bangku SMP. Kebetulan kami sekarang bersama kembali di kampus ini. Oya, teman-teman memanggilku ‘Padil’, Ahmad Fadil nama lengkapku. Semua orang juga pasti mengenalku. Ya, itu dia, aku dikenal sebagai orang anti sosial. Entah mengapa mereka menganggapku seperti itu. Singkat cerita, akhirnya aku dan Farel masuk ke gerbang kampus, gerbang yang bertuliskan di atasnya “Universitas Jagat Alam”. Aku dan Farel pilih jurusan di fakultas yang sama. Iya, antara kebetulan dan tersengaja sih.
Hari ini merupakan hari seperti biasanya, aku dan Farel duduk berdekatan. Waktu jam kuliah dimulai, seperti biasanya seluruh isi kelas hening memperhatikan penjelasan dosen. Tak lama kemudian jam istirahat tiba, teman-temanku berhamburan keluar ruangan menuju kantin yang ada di samping fakultas. Mereka duduk bareng di satu meja yang panjang membicarakan suatu hal seakan itu sangat penting dan serius. Karena aku orang yang malas nimbrung sama yang lain, aku memutuskan untuk tidak ikutan. Dari jauh mereka memanggulku bergabung seakan itu sangat penting. Namun ternyata, mereka sedang diskusi untuk malam Minggu nanti. Waktu senggang ini mereka gunakan untuk kumpul bareng seru-seruan. Sudah pasti aku menolak untuk ikut. “Aku sangat tidak suka dengan banyak orang, apalagi udah kumpul-kumpul gini” pungkasku. Dalam sela, Farel mempertanyakan putusanku “Kenapa, Dil? Sekali aja, kan kamu jarang ngumpul bareng..”. Berkali-kali Farel mengajakku setiap ada perkumpulan. Tapi aku hanya pasrah dan menolaknya.
“Malam Minggu, semua temanku kumpul bareng, makan bareng, bicara punuh tawa, main hp bareng, dan pastinya mereka saling bertukar cerita satu sama lain. Pasti seru …”, gumamku dalam hati. Seketika ibu memanggilku ke dapur, segera aku beranjak dari kasurku berjalan ke sumber suara. Keluargaku termasuk keluarga yng kurang mampu, ayahku meninggal ketika aku duduk di bangku kelas 2 SD. Ayahku mengalami kecelakaan pada hari Senin tepat saat pulang kerja. Ayahku bekerja agak jauh dari rumah, sebuah pabrik yang terletak di kabupaten sebelah. Waktu itu ayahku pulang naik motor tiba-tibak ditabrak mobil dari belakang. Usut demi usut ternyata mengendara mobil itu kantuk, dan tak ada tindakan khusus dari pihak berwajib. Ketika aku mengetahui berita itu, ingin rasanya aku bunuh orang yang telah menabrak ayahku. Tapi seiring umurku bertambah, aku mulai mengerti bahwa kematian bisa mendatangi siapa saja, kapan saja dan dimana saja, termasuk ayahku. Tidak ada yang tahu kapan ajal akan tiba. Ibuku juga tak kalah sedih dariku. Ketika mengetahui berita meninggalnya ayah, ia terlihat mematung membeku, selanjutnya jatuh pingsan. Aku yang tidak tahu apa-apa ikut menangis sejadi-jadinya. Kesedihan mulai menghampiri hari-hariku mulai saat itu. Aku hanya bisa berdoa agar dipersatukan kembali kelak di Surga nanti. Atulah kenangan yang terus terbayang dalam hari-hariku hingga di usia ini.
Tetapi yang paling ku syukuri adalah aku masih memiliki seorang ibu yang selalu bersamaku, mewarnai hari-hari yang penuh cerita. Aku harus senantiasa berbakti kepadanya, menghormatinya dan menemaninya di setiap hariku. Tapi ibu mana yang ingin melihat putra satu-satunya hanya berada di rumah sepanjang hari. Sesekali ini memintaku untuk keluar bergabung dengan kawan-kawan.
Tap… tap… tap…
Kakiku melangkah ke dapur memenuhi panggilan ibu. Seperti biasanya aku membantu ibu mempersiapkan kue yang telah matang untuk dujual besok Minggu. Di sinilah aku mendapatkan keberkahan dalam hidupku. Walau besok adalah hari kebebasan bagi para mahasiswa dan teman-temanku, dengan senang hati aku tetap menbantu ibu berjualan. Jangan tanya bagaimana aku bisa kuliah. Ekonomi keluargaku tidak bisa dibilang baik-baik aja. Tak ada yang peduli padaku dan ibuku, kecuali hanya tetangga yang mengasihasi kami sekali-kali.
Lantas, bagaimana aku bisa kuliah? Tentu aku mengandalkan diriku dengan kesungguhan dan usaha keras. Aku belajar sungguh-sungguh hingga aku memenangkan beberapa olimpiade. Tak lupa seuntai doa selalu mengalir dalam nadiku tiap usai shalat fardhu. Hasil tak pernah menghianati usaha, aku memperoleh beasiswa untuk kuliah di fakultas kedokteran. Inilah sumber semangat yang membuatku masih bertahan dan selalu bersyukur.
Malam ini, sudah menjadi rutinitas aku menolong ibu membuat kue. Ada risol, bakwan, tempe, pisang goreng, tahu isi, dan bakmi goreng yang menjadi kue favoritku. Jam dinding menunjukkan pukul 10.05, kue yang kami buat akhirnya selesai. Tak butuh waktu lama untuk membuat itu semua, kan kami udah terbiasa. Kue sudah siap untuk kami jual esok hari dengan harga seribu rupiah.
Keesokan harinya hari minggu, temanku, eh.. bukan, itu sahabatku Farel mengirimkan aku sebuah pesan melalui Whatsapp tepat seusai shalat Shubuh. “Dil, mau ikut gak? Kami mau ke kolam renang nih. Banyak teman-teman yang ikut. Ayoo ikut! Sekali ni aja ya..”. Keraguan selalu muncul antara ikut atau nggak. Seketika aku membalas “Enggak Rel, kamu ikut aja. Aku gak bisa ikut, ada urusan penting. Sorry ya..”. “Owh, Oke, lain kali kamu harus ikut ya, jangan asik di rumah mulu” balas Farel. “oke” jawabku singkat.
Aku dan ibu segera keluar rumah menjual kue-kue yang sudah kami buat semalam. Kami berkeliling menelusuri jalanan dan rumah-rumah penduduk. Sesekali kami singgah ke rumah yang sudah berlangganan dengan kue yang kami jual. Ada yang memuji, ada yang komplen, tapi kebanyakan pembeli bersikap biasa-biasa saja. Biasanya sehari kami bisa meraup uang 100 ribu saja, terkadang bisa lebih dan juga bisa kurang. Semua tergantung kondisi dan situasi.
Tak terasa pertengahan semester pun tiba, tanpa terasa keadaan juga terasa beruubah. Semua temanku seperti mulai menjaga jarak. Seolah meraka tak mengenalku sama sekali. Aku sudah menjadi seperti orang asing di mata mereka. Tak ada lagi senyuman dan sapaan, cuma Farel yang masih bersikap hangat dan biasa. Walau sebenarnya tak selembar seperti senyuman kemarin. Sapaan pun tak sehangat sebelumnya. Aku bergumam “apa yang terjadi?”. Rasa khawatir mulai menyerang, dan terus menghantui hari-hariku. Sampai akhirnya pesan Farel tiba-tiba masuk ke beranda hp-ku setelah sekian lama membisu. Jelas aku tersontak kaget. Pesannya tak jauh berbeda seperti sebelum-sebelumnya “keluar yuk Dil!.. mumpung malam minggu”. Kali ini pikiranku seolah bertempur dan terpecah menjadi dua kubu. Satu menyuruh untuk memenuhi ajakan Farel dan satunya lagi masih ingin menolaknya. Untuk waktu ini, aku sudah mulai sadar masalah apa yang sedang aku hadapi. Hingga sekarang. Pertanyaan yang aku sendiri tak tau jawabannya sedikit-sedikit mulai terkuak. Ya, itu semua karena aku selalu menolak ajakan mereka. Tak heran mereka mengacuhkanku seakan aku tiada. Hubunganku dengan mereka semakin hari semakin renggang. Lantas, inilah kesempatan emas bagiku untuk memperbaiki masalah ini. Ini adalah kesempatan. Farel hanya menunggu satu jawaban dariku, ikut atau tidak. Seketika ku buka hp dan membalas “Oke, Rel, aku ikut. Tolong jemput ya..!”. “Oh, oke. Tapi ini benaran, kan?” Farel ragu. “Iya, benaran, Rel. masa bohong” aku kembali meyakinkan.
Malam ini akhirnya aku keluar rumah tanpa berpamitan dengan ibu, sekaligus aku absen membantunya. Beberapa waktu berselang, Farel menjemput tiba dengan mobilnya. Ya.. namanya aja orang kaya, kemana-mana pakai mobil. Singkat waktu kami sampai ke tempat basecamp perkumpulan. Di sana sudah banyak teman-teman yang menunggu kedatangan kami. Menunggu? Iya, karena Farel membocorkan kedatanganku. Aku langsung melejit ke arah mereka membaur menepis segala rasa berharap keadaan ini tetap ada. Belajar dari kesalahan, cara pandangku tentang berteman kian meluas. Sangat nyaman rasanya, ngobrol santai sambil menghabiskan beberapa piring kacang kulit dan tawa seru. Tanpa terasa jam menunjukkan angka 11.00, tanpa terasa aku sudah menghabiskan waktu 2 jam 45 menit. Tiba-tiba aku bergumam “rupanya seru juga ya, pasti lebih seru lagi kalau bisa lama lagi”. Tetapi ketidakmungkinan kembali menyerbu perasaanku. Jika saja hidupku kuhabiskan hanya untuk hal ini niscaya aku mungkin akan menjadi orang paling bahagia. Jarum pendek pada jam sudah berhenti di angka 12 dan jarum panjang berada di angka 4, pasti ibu sedang mengkhawatirkanku. “Bergegas kembali pulang!” perintah naluriku. Kurangkul bahu Farel lalu kubisikkan “Rel, udah telat, pulang yuk. Ibuku kayaknya udah nyari-nyari aku, deh”. Seketika Farel langsung bangun dan berpamitan. Aku juga langsung bergegas. Tak lupa teman-teman juga mengajak untuk dapat bergabung esok untuk refreshing ke bukit, “pasti seru, nih” gumamku singkat. Haruskah ku tolak? Gak… gak! Aku ikut. “Sesekali aja, kamu juga kan gak serung keluar rumah kalo hari minggu”, bujuk Farel. Tanpa alasan apapun aku setuju ikut. Esok akan jadi hari gemilang dan bahagia bagiku.
Suara alarm berbunyi, telinga yang peka terhadap suara ini bekerja. Kubuka mata yang terpejam ini, hari Minggu tiba. Aku keluar rumah pada jam 08.00 tanpa pamitan bahkan aku tidak bicara sedikit pun pada ibu. Ini ku lakukan semata-mata agar hati ini tetap tenang. Sudah beberapa kali aku menghindari perbincangan dengan ibu. “Mau ke mana Dil pagi-pagi?” aku tersentak kaku, terus terdiam, aku berusaha bertahan. “Oya, semalam pergi ke mana? Kamu gak papa kan?” Semua pertanyaan yang dilontarkan ibu tak ada satu pun yang ku jawab. Hanya suasana hening yang hadir pagi ini. “Nggak mau bantu ibu?” tanya ibu singkat. Pertanyaan ini seakan menusuk dada, menghentikan langkah yang hanya tersisa satu lagi untuk keluar rumah. Sangat berat, tubuh bertahan sebentar, sampai klakson mobil tiba-tiba berbunyi memecah sunyi. Iya, Farel telah tiba menjemputku. Tanpa pamrih kulanjutkan langkah tidak menjawab sepatah kata pun pertanyaan ibu. Bahkan aku tak sempat melihat wajah ibu yang menunggu jawabanku sejak tadi. Sepertinya ibu merasa sangat sedih. Aku mulai merasa sedikit penyesalan, wajahku memerah. Tapi, rasa itu terus memudar dengan munculnya rasa kebebasan yang terus merasuki seluruh jiwaku.
Selama sebulan setengah, tidak pernah lagi aku berbicara dengan ibu. Tetapi ibu selalu bertanya Keadaan ku juga sesekali menyiapkan sarapan. Tetap saja kuabaikan segalanya. Seolah ibu lah sumber segala masalah ini, dan sekarang aku merasa bebas tanpa cengkeramannya. Ujian semester sudah berjalan 12 hari, dan hari ini merupakan hari ke 13. Aku bersiap-siap berangkat ke kampus di pagi hari sebagaimana lazimnya. Ibu telah menyiapkan sarapan, walaupun selalu kuabaikan. Ada yang lain hari ini, tubuhku merasakan hawa dini hari begitu dingin. Bulu kuduk berdiri dan entah kenapa ketika mengabaikan ajakan ibu. Ibu sangat bersikeras supaya aku sarapan. Namun lagi-lagi aku menolaknya. Ibu semakin menjadi-jadi, semakin aku menolak sarapan ibu malah lebih mendesak. “Sarapan dulu, nak! Sebelum ke kampus” desaknya sambil berteriak memanggilku yang berjalan mendekati pagar rumah. “Nggak usah, buk! udah telah” jawabku singkat mengabaikannya.
Sesampai di kampus, hawa masih terasa begitu dingin dan aku segera bergegas memasuki ruang ujian. Aku memperhatikan wajah tema-teman melontarkan senyumannya, seakan menyambut hangat kedatanganku. Setelah menunggu beberapa menit, ujian dimulai. Terdapat rentetan keanehan yang muncul pada pertanyaan pertama mata kuliah Psikologi ini. “Apa kesalahan terhadap ibumu hari ini?” itulah isi pertanyaannya. Seketika terlintas seluruh kelakuan yang telah ku perbuat selama ini, mengacuhkan ibu, mengabaikannya, bahkan kabur darinya. Wajahku memerah memendam seluruh rasa yang sepertinya akan meledak. Sepertinya mereka akan menjawab “tidak ada”, namun bagaimana dengan ku? Seketika aku beranjak dari ruangan ujian tanpa pamit pergi sambi mengusap muka. Kakiku melangkah kelular, seketika langkah makin kupercepat, dan berlari kecil hingga aku memutuskan untuk berlari secepat mungkin.
“Minta maaf pada ibu”, itu yang sekarang menga-nga di pikiranku. Akan ku habiskan sarapan, sepertinya aku juga harus memberi hadiah sebagai permohonan maaf untuk ibu, seketika mulut mulai mereka senyuman. Pasti ibu akan sangat senang dengan kejutan dariku. Tapi, tidak! Aku harus langsung menemui ibu dan memohon maaf, memeluk serta mencium kakinya, itu lebih baik. Itu yang ingin aku lakukan. Aku berjanji akan berubah dan mematuhi segala perintah ibu. Mungkin aku bagian dari mereka, namun aku bukan mereka. Memberi hadiah hanya akan memperlambat waktu. Aku harus langsung menemui ibu, sekarang juga. Akhirnya aku sampai di depan rumah, pemandangan apa yang sedang ku saksikan ini? Kenapa tenda-tenda dan tripal hijau sudah terbentang dan berdiri kokoh di depan rumahku? Seketika kenyataan menampar pipiku membuat aku tersadar bahwa ini bukanlah sebuah mimpi. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhku. Sendi-sendi tulang merasa kaku tak bisa ku kendalikan sama sekali. Seketika terlintas ingatan ketika aku mengabaikan ibu, yang akhirnya aku tersadar bahwa aku telah melewatkan itu, tidak menghiraukan bahwa mengabaikan sesuatu yang sangat berarti, itulah “permintaan terakhir”. []