Oleh: Alfaradhi (XII MIA 1)
Liana, seorang gadis berusia 24 tahun sedang duduk termanggu di meja kantor tempat ia bekerja. Salah satu kantor imigrasi di pusat Kota Amerika Serikat. Berperawakan tinggi, kulit sawo matang, khas dengan bulu mata lentik yang indah. Sandaran punggung Liana menyatu erat dengan jok kursi yang sedari tadi ia duduki. Terlihat, Liana sedang melamun menatapi sebuah foto yang penuh kenangan.
“Liana!” sebuah panggilan membuyarkan lamunannya.
“Oh, iya, ada apa, Pak?” Liana berseru ketika seseorang menyapanya.
“Ini sudah waktunya pulang, apa kamu lembur, Liana?” Tanya Henry sambil berjalan menuju pintu utama. “Ayo kita makan malam bersama!” Lantas Henry mengajak Liana untuk mencari makanan sambil menghirup udara segar. Terlihat anggukan Liana pertanda menyetujui ajakan Henry selaku direktur tempat ia bekerja. Mereka berdua menyusuri jalanan setapak dan tidak ada kata-kata yang membuncahkan tawa hingga tiba di Resto Banana Jln. St. Petersburg. Liana hanya membungkuk menekuri alam yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Selesai makan, Liana kembali ke kantor dan Henry melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
“Huff..,” terdengar hembusan nafas panjang Liana yang baru saja menyandarkan kembali punggungnya ke kursi yang sedari tadi telah ia tinggalkan. Ia kembali melamun dan ingatannya seketika kembali ke masa lalu.
25 tahun yang lalu…
Beirut menjadi satu-satunya kota sasaran Israel untuk melumpuhkan kekuatan Palestina di Lebanon.
“Duarr..!” Terdengar ledakan bom di beberapa wilayah, orang-orang berlarian. Liana menjerit ketakutan. Ia memeluk erat boneka kecil yang diberikan oleh ibu bertepatan hari ulang tahun yang keenam. Tangis Liana pecah setelah menyadari sang ibu tidak berada di sampingnya. Kepulan debu membuat Liana tak bisa menemukan posisi ibunda tercinta. Perlahan ia merangkak menuju pintu ruang makan. Di sana, ia tidak menemukan ibunya. Ia yakin, ibunya sedang bertugas di rumah sakit darurat. Liana sangat yakin ibunya sedang menangani pasien yang merupakan korban ledakan bom dan puluru nyasar dari kelompok militan dan pasukan pemerintah. Liana telah menjadi yatim setelah ayahnya tewas dalam pertempuran bersamaan dengan tentara lain yang berjuang untuk Lebanon.
“Duar..!” Letusan bom kembali menggelegar laksana petir disiang bolong. Dinding rumah jatuh berhamburan. Untung tak mengenai kepala Anna. Panggilan akrab Liana. Di luar, terdengar letusan senjata yang saling bersahutan.
“Anna!” teriak Diara kepada anak sewata wayang.
“Sembunyilah! Jangan hiraukan ibu!”, Sembunyilah di kolong meja makan. Terdengar lirih suara ibu dikejauhan.
Gadis kecil itu menunduk pasrah terhadap keadaan yang sedang berjalan mengitari waktu. Liana ternyata tidak mendengar teriakan ibu yang sudah tertimpa puing bangunan. Beberapa jet tempur Israel sedang membombardir kota Beirut yang dulunya indah dan megah. Tak terkecuali bangunan kecil bersegi empat yang sudah ditempati Liana bersama ibu sejak beberapa tahun lalu.
“Ibu! Anna takut, Ibu di mana?” lirih Liana disertai isak tangis diselimuti ketakutan.
Tidak lama, setelah itu, Liana menyadari sang ibu terjebak diantara reruntuhan rumah. Ia bertambah histeris kemudian menghampirinya.
“Larilah, Nak! Selamatkan dirimu, sebelum ada yang menemukan mu! Ibu tidak apa-apa, tinggalkan Ibu” titah sang ibu dengan penuh harap. Sebulir cairan bening keluar dari pelupuk mata si ibu.
“Tidak!, Anna tidak mau meninggalkan ibu di sini!” sikap keras kepala Liana kembali kambuh. Ia mencoba mengangkat reruntuhan dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersimpan di dalam tubuh. Semua sia-sia.
“Ibu mohon! Hanya kamu satu-satunya harapan ibu untuk tetap hidup” tangis Diara pecah dan tak sanggup lagi membendung air mata yang sudah membasahi kedua pipi.
Beberapa saat setelah kepulan debu menghilang. Jet-jet tempur Israel kembali memuntahkan bom-bom untuk meratakan tanah Lebanon. Tanah yang diinjaki mereka ikut bergetar, saking hebatnya getaran tersebut membuat debu dan bebatuan kembali menggelinding ke atas, tiang-tiang bangunan rumah menunjukkan tanda akan runtuh. Hanya beberapa saat sebelum rumah mereka rata dengan tanah, Liana dapat diselamatkan oleh pria asing yang datang secara tiba-tiba. Sedangkan, Diara harus kehilangan nyawa.
Sambil menahan rasa sakit akibat reruntuhan bagunan, dalam hati Liana meringis sedih dan pilu atas kepergian satu-satunya orang yang paling dicintai.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya pria yang bernama Thaha, sekilas lelaki itu mengkhawatirkan gangguan psikologis Liana yang baru saja ia selamatkan. Bukannya menjawab, Liana malah berlari ke arah timbunan yang telah menjadi kuburan ibunya. Liana mencoba mengangkat puing-puing bangunan yang mustahil dapat diangkantya.
“Sudahlah, ibumu sudah tiada” ujar Thaha mencoba menenangkan, menarik lengan Liana agar menjauh dari reruntuhan. Liana tak menghiraukannya higga ia tergulai lemas. Liana jatuh pingsan, Thaha membopong serta membawa ke tempat yang lebih aman.
12 jam kemudian…
Pandangan Liana silau karena cahaya remang dari bola lampu yang tertancap di langit-langit kamar berukuran 4×4 yang tidak ia kenali sama sekali. Kamar yang sangat lusuh, berserakan koran-koran bekas, dan sampah plastik sisa bungkusan makanan. Di dinding tembok penuh dengan mural para pemimpin yang seakan tidak bertanggungjawab.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Thaha yang sedang duduk membaringkan tubuhnya meluruskan kaki di sudut ruangan. Liana mulai sadar perlahan-lahan sambil meringis memegang siku lengan yang sakit. Ia tahu bahwa kini ibunya sudah tiada untuk selama-lamanya. Matanya kembali berkaca-kaca tatkala teringat kejadian beberapa saat lalu.
“Sudahlah! Tenangkan dirimu biarkan semuanya terjadi” ujar Thaha dengan suara yang dilembut-lembutkan takut menyinggungnya. Serta ikut merasakan duka yang dialami gadis kecil itu.
“Apa katamu? Kenapa kau tak membiarkan aku pergi berdua dengan Ibuku, hah?” Liana berkata dengan lancang. “Bagaimana jika kau berada di posisiku?” Lirih Liana kepada Thaha karena menyesali tindakan Thaha yang sudah menyelamatkan dirinya dari reruntuhan.
“Ayahku sudah tiada sejak aku berusia 8 tahun. Paman Ram yang merawatku juga tewas dalam perang yang tidak jelas ini”. Thaha menyampaikannya dengan santai tanpa beban. Liana hanya diam mendengarkan kalimat itu.
“Maafkan aku terlalu lantang padamu” Liana merasa bersalah terlanjur membahasnya. Usia Thaha hanya selisih 4 tahun lebih tua dari Liana, tetapi masalah yang dihadapinya sejak kecil membuatnya berpikir lebih dewasa.
“Jangan takut, aku Thaha Ar-Rasyid, salam kenal, Liana Amira!” ujar Thaha memperkenalkan diri sambil berjabat tangan demi melihat Liana yang bungkam seribu bahasa. Awalnya, ia hanya menjawab dengan anggukan hingga ia terlonjak kaget. Darimana ia tahu namanya.
“Jangan terkejut aku melihat label nama diseragam sekolah kanak-kanan yang kau kenakan” seakan ia lupa bahwa sebelumnya ia masih mengenakan seragam sekolah ketika petaka yang menimpanya beberapa saat yang lalu. Kemudian, Thaha berbaik hati membagikan setengah potong roti untuk Liana.
“Makanlah! Kamu pasti lapar” saran Thaha kepadanya. Liana tak dapat berdusta karena semenjak tadi perutnya meraung-raung meminta makan. Thaha memulai percakapan kecil, hingga menceritakan masa lalunya yang kelam. Lantas, bagaimana ia bisa hidup sebatang kara ditempat yang serba kekurangan ini. Namun, hatinya telah menguatkan dirinya sampai dititik ini. Liana hanyalah bocah 10 tahun yang masih sangat polos untuk mengetahui masalah yang dihadapi Thaha yang pernah hidup dalam popor senjata. Kemudian, mereka memutuskan untuk istirahat menyadari malam telat larut. Sambil menatap langit-langit dalam hati mereka menanti bencana apa yang akan mereka hadapi kesokan harinya.
Keesokan harinya …
Thaha mengajak Liana berkeliling sekitar tempat tinggalnya. Keadaan sekitar masih sepi dari gerak-gerik tentara Israel. Mereka berjalan melewati gang-gang kecil yang sempit sampai menelusuri pintu-pintu rumah kosong yang tak berpenghuni. Ketika sedang berjalan, Liana melirik sekilas ke arah wajah Thaha “lusuh sekali” batinnya. Thaha menyadari hal itu, tapi ia lebih memilih untuk mengabaikannya. Liana bingung ke mana Thaha membawanya, tak ada satu kata pun yang mereka bicarakan.
“Kita akan ke mana, Kak?” Liana memberanikan diri untuk berbicara.
“Sebentar lagi kamu akan tahu, sabarlah!” Thaha menjawab sambil terus berjalan.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah tempat. Bangunan tersebut tampak tak terurus dan mereka juga tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Di pintu masuk terdapat sebuah papan bertuliskan LIFE SOURCE─sumber kehidupan─ ini adalah tempat biasa Thaha mendapatkan makanan. Benar, di dalam penuh dengan manusia yang sedang antri mendapatkan makanan. Konsumsi yang ada dalam gedung dipasok dari berbagai kota kecil dipinggir ibu kota. Sebagian besar yang mengantri adalah pengungsi dari berbagai wilayah yang sudah terpisah dengan keluarga. Tujuan Thaha mengajak Liana bukan untuk mengantri makanan. Thaha mengajak Liana menaiki tangga menuju lantai dua.
“Untuk apa kita kemari, bukankah antrian makanan ada di sana?” Liana kembali bertanya.
“Bisakah kau berhenti bertanya, ikuti saja langkahku?” Thaha berkata dengan raut wajah kesal. Langkah kaki terus menaiki anaktangga hingga sampai di lantai dua. Dari dalam ruangan lantai dua, Thaha menunjukkan pemandangan kota Beirut yang luluh lantak akibat perang yang mereka sendiri tidak tahu kapan berakhir.
“Dulu, Beirut adalah kota yang paling indah dan megah. Sekarang! Beirut bagaikan kuburan bagi warga lokal. Tidak ada pendidikan, apalagi makanan. Untuk bertahan hidup saja, warga Beirut harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Kita hampir sama dengan warga Rohingnya di sisi lain negara kita” Thaha mengungkapkan kegelisahannya pada Liana. “Terjajah di tanah sendiri” lanjutnya. Dengan nada sendu, ia khawatir, “Tidak punya rumah bukan masalah besar dalam hidup, tapi tiada pendidikan kita akan buta selama-lamanya.” Thaha kembali berujar dengan tatapan kosong. “Ya Allah, hentikanlah kecamuk perang di negeri kami, kami butuh pendidikan” Liana melantunkan kalimat doa yang diamini Thaha.
Kini, Liana harus bisa menerima takdir hidup dan harus ia sendiri yang menanggungnya. Ia sadar, jika hanya lari dari kenyataan akan menambah penderitaan yang tiada akhir. Terdengar perut keduanya mulai keroncongan. Segera mereka turun untuk ikut antrian mendapat makanan. []