Belajar dari Sayyidatun Nafisah

Oleh; Azmi Abubakar, Lc, M.H

Sosok ulama perempuan yang saya tulis ini adalah seorang ahlu bait, keturunan Rasulullah, nama beliau Sayyidatun Nafisah, Beliau anak perempuan dari al-Hasan al-Anwar bin Zaid al-Ablaj bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, suami Sayyidah Fatimah Al-Zahra Binti Rasulillah,  beliah adalah cicit Nabi. Seorang perempuan cerdas, sumber pengetahuan keislaman yang berharga (nafisah al-‘ilm), pemberani, sekaligus ‘abidah zahidah, waliyullah. Beliau wafat tahun 208 H di Mesir.

Tahun 2015 saya berkesempatan mengunjungi tempat ibadah (suluk) beliau di bukit Muqattam, sebuah bukit penuh berkah,  yang sampai hari ini banyak dari pelajar Al Azhar menziarahi, disana ada masjid Ibnu Ataillah al-Sakandari dan beberapa makam ulama besar lainnya, selain tempat khalwah Sayyidatun Nafisah, ada juga disini tempat khawah syekh Halim Mahmud, pernah menjadi syaikhul Azhar, perngarang kitab manaqib Imam Hasan al-Syazili.

Semenjak usia kecil, Sayyidatun Nafisah sudah menghafalkan al- Quran. Beberapa literatur yang saya baca menyebutkan bahwa pada umur  44 tahun, Sayyidatun Nafisah sudah berada di Kairo, bertepatan 26 Ramadhan 193 H. Kabar kedatangan perempuan yang luar biasa ini telah menyebar luas. Ia diterima pebduduk Kairo dengan penuh rasa syukur, betapa Mesir sangat menghormati kedatangan ahli bait, seperti halnya Sayyidah Zainab dan  Sayyidah Aisyah yang juga bermukim dan wafat di Kairo. Ratusan orang tiap hari datang hendak menemuinya, masyarakat meminta doa dan mendengar nasihat serta ilmu darinya, bahkan dikabarkan banyak yang sampai bermalam di luar kediamannya, menunggu kesempatan untuk bisa bertemu.

Diceritakan bahwa Sayyidah Nafisah merasa waktunya tersita melayani umat. Ia memutuskan untuk meninggalkan Kairo dan kembali ke Madinah agar bisa berdekatan dengan makam kakeknya, Nabi Muhammad Saw. Penduduk Kairo merasa keberatan dan merayu agar Sayyidah Nafisah membatalkan keputusannya untuk tidak pergi meninggalkan Mesir. Gubernur Mesir turun tangan. Ia melobi Sayyidah Nafisah untuk bertahan di Kairo. Gubernur menyediakan tempat yang lebih besar baginya, sehingga kediamannya bisa menampung umat lebih banyak. Gubernur juga menyarankan agar ia menerima umat hanya pada hari Rabu dan Sabtu saja. Di luar waktu itu, ia bisa kembali berkhalwat beribadah menyendiri. Gubernur menunggu beberapa saat, sementara Sayyidah Nafisah menunggu petunjuk Allah. Akhirnya, beliaupun menerima tawaran Gubernur dan memutuskan tinggal di Kairo sampai wafat.

Imam Al-Syafi’i sendiri datang ke kota ini lima tahun sesudah Sayidah Nafisah, beliau sudah lama mendengar ketokohan perempuan ulama ini dan mendengar pula bahwa banyak ulama yang datang ke rumahnya untuk mendengarkan pengajian dan ceramahnya.  Beberapa waktu kemudian, Imam al-Syafi’i meminta bertemu dengannya di rumahnya. Sayidah Nafisah menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Perjumpaan itu dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan keilmuwan. Beliau mengaji kepada Sayyidatun Nafisah, padahal Imam al Syafi’i adalah seorang ulama besar yang sudah harum namanya di kota paling bergengsi kala itu, Baghdad. Hari ini saya mengajak kita semua untuk mengambil spirit dari sosok agung, seorang perempuan inspiratif, mempunyai keilmuwan yang tinggi, gurunya Imam al-Syafi’i, Rahimahullah Sayyidah al-Nafisah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *