بقلم : محمد هيكل بيما
ذَاتَ يَوْمٍ، كَانَ الصَّبِيُّ فَقِيْرًا يَتِيْمًا يَبِيْعُ اْلجَرِيْدَةَ فِي الشَّارِعِ. يَنْتَظِرُ أَرْكَابًا فِي تَقَاطُعِ الطُّرُقِ. لَمَّا وَقَفَ اْلأَرْكَابُ عِنْدَ إِشَارَةِ اْلمُرُوْرِ يُلْقِيْهِمُ الْجَرِيْدَةَ وَاحِداً فَوَاحِداً وَيَشْتَرُوْنَهَا حَتَى بَقِيَتْ جَرِيْدَةً وَأَمْسَتِ اللَّيْلَةُ آتِيَةً.
وَبَعْدَ دَقِيْقَةٍ، أَتَى الرَّاكِبُ الْجَوَّالَةِ وَوَقَفَ جَانِبَ الشَّارِعِ قَرِيْبًا بِهِ. فَتَوَجَّهَ الرَّاكِبُ إِلَى الصَّبِيِّ كَأَنَّهُ مُهْتَمُّ بِالصُّحُفِ بِوَجْهٍ مُخِيْفٍ. وَحِيْنَئِذٍ عَرَضَ الصَّبِيُّ جَرِيْدَتَهُ عَلَى الْفَوْرِ. ثُمَّ قَالَ “يَاسَيِّدِي … أَتُرِيْدُ شِرَاءَ هَذِهِ اْلجَرِيْدَةِ؟ … سِعْرُهَا أَلْفَانِ رُوْبِيَّةٍ”. وَقَالَ الرَّاكِبُ “لَا، اِبْتَعِدْ عَنِّي، لَا أُرِيْدُ شَرَاءَهَا”. ثُمَّ رَفَسَ الصَّبِيُّ بِإِهَانَةٍ بِلَا احْتِرَامٍ حَتَّى سَقَطَ وَأَذَلَّ. فَذَهَبَ وَتَرَكَ الصَّبِيُّ بِدُوْنِ أَيِّ شَفَقَةٍ.
ثُمَّ قَامَ الصَّبِيُّ مِنْ سُقُوْطِهِ حَمَّاسَةً وَتَبَسُّمًا وَوَجَدَ كِيْسًا بِجَانِبِ الشَّارِعِ. فَأَخَذَهُ وَرَأَى فِيْهِ نُقُوْدًا كَثِيْرًا. وَتَتَأَمَّلُ عَيْنَاهُ إِلَى صُوْرَةٍ تُصَوِّرُ صَاحِبَ اْلكِيْسِ فَهُوَ الرَّاكِبُ الَّذِي رَفَسَهُ سَابِقًا بِلَا رَحْمَةٍ.
وَبَحَثَهُ الصَّبِيُّ غَرْبًا وَشَرْقًا حَتَّى رَكَّزَتْ عَيْنَاهُ عَلَى أَحَدِ الدَّكَاكِنِ وَرَأَى فيْهِ الرَّاكِبَ. فَتَوَجَّهَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ “أَهَذَا لَكَ يَاسَيِّدِي؟ وَجَدْتُهُ بِجَانِبِ الشَّارِعِ قَبْلَ قَلِيْلٍ”. فَقَالَ الرَّاكِبُ “نَعَمْ، هَذَا لِي، اْلحَمْدُ لِلهِ وَبَارَكَ اللهُ لَكَ يَا بُنَيَّ”. فَتَعَجَّبَ الرَّاكِبُ عَلَى صِدْقِ هَذَا الصَّبِيِّ وَاسْتَحَى عَنْ نَفْسِهِ وَطَلَبَ الْعَفْوَ لَهُ فَوْرًا، فَقَالَ “أَيْنَ بَيْتُكَ يَا بُنَيَّ؟” فَأَجَابَ الصَّبِيُّ “لَيْسَ لىِ بَيْتًا يَا سَيِّدِي، وَقَدْ تُوُفِّيَ وَالِدَيَّ”. فَقَالَ الرَّاكِبُ “إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ، كُنْتُ حَازِنًا بِحَالِكَ. أَتُرِيْدُ أَنْ تَسْكُنَ فِي بَيْتِي وَتَكُوْنَ اِبْنِي إِخْوَةً؟”. وَشَكَرَ الصَّبِيُّ لِلرَّاكِبِ مُكِبًّا عَلَى وَجْهِهِ دَمْعًا، فَقَالَ “بِكُلِّ سُرُوْرٍ، أُرِيْدُ أَنْ أَسْكُنَ فِى بَيْتِكَ وَأَكُوْنَ اِبْنِكَ إِخْوَةً يَاسَيِّدِي. وَاللهُ يَحْمِيْكَ وَيَجْزِيْكَ طُوْلَ حَيَاتِكَ يَاسَيِّدِي “. ثُمَّ سَكَنَ الصَّبِيُّ مَعَهُ بِالسَّلَامَةِ وَالسَّعَادَةِ.
Seorang Anak yang Jujur
Oleh: Muhammad Haikal Bima (XI MIA 1) – Terjemahan Oleh: Mishbahul Munir, S.Hum
Suatu hari, ada seorang anak kecil yatim dan fakir sedang menjual koran di jalan raya. Ia menunggu setiap kendaraan yang berhenti di persimpangan jalan. Ketika lampu merah menyala, ia menawarkan koran dagangannya kepada sopir dan penumpang. Ada yang membeli dan banyak juga yang mengabaikannya. Setelah berjualan hingga sore hari tersisalah satu koran yang belum terjual.
Beberapa saat kemudian, seorang pengendara motor berhenti di lampu merah. Pandangannya tertuju pada sosok anak yang sedang menawarkan koran. Seakan ia penasaran dan ingin membeli. Seketika sang anak menghampiri dan bertanya “tuan… anda ingin membeli koran? cuma dua ribu saja”. Lalu dengan tegas pengemudi itu menjawab, “tidak… pergi sana… saya nggak mau beli”. Dengan bengis pengemudi itu menendang sang anak sampai ia tersungkur di samping jalan. Lalu pergi tanpa menghiraukan apa-apa.
Tanpa berpikir panjang sang anak berdiri, asa-nya dibumbui dengan harapan dan semangat. Lalu ia melihat sebuah dompet yang tergeletak begitu saja. Sang anak mengambil dan melihat, ternyata foto pengemudi yang menendangnya tadi terpampang jelas di dompet. Apalagi uang merah yang seketika membuat matanya terpana.
Dengan penuh integritas, ia berjalan mencari sang pemilik dompet berkeliling ke seluruh pelosok kota. Tiba-tiba matanya tertuju kepada sosok pengendara tadi pada sebuah warung di samping jalan. Ia memberanikan diri untuk menghampiri dan bertanya, “apa ini milikmu tua? saya menemukannya di samping jalan tadi”. Seketika pengemudi itu menjawab, “oh.. iya, ini milikku… Alhamdulillah… semoga Allah membalas kebaikanmu”. Seketika batinnya berteriak mengutuk darinya atas sikap angkuh dan sombong yang menguasai dirinya. Lalu ia meminta maaf kepada sang anak karena telah berlaku kasar. Pengemudi itu bertanya, “dimana rumahmu, nak?”. Dengan polos ia menjawab “saya nggak punya rumah, tuan… orang tuaku sudah tiada”. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… saya ikut bersedih, maukah kamu tinggal bersamaku dan anak-anakku jadi saudaramu?” tawar pengemudi seketika dengan penuh harapan agar sang anak tinggal bersamanya. Mendengar tawaran tersebut sang anak sangat gembira, matanya bercucuran tak percaya atas apa yang didengarnya. Ia bersedia dan berterima kasih kepada pengemudi tersebut seraya berkata “dengan senang hati… aku bersedia tinggal bersamamu tuan, dan menjadikan anak-anakmu sebagai saudaraku”. Lalu sang anak tinggal bersama pengemudi dengan sejahtera dan bahagia.