Oleh: Zuhrina (XII MIA 4)
Mengisahkan tentang dua anak yang sudah lama menjalin persahabatan di sebuah pondok pesantren masyhur yang terletak di Aceh. Laras merupakan anak dari keluarga yang pas-pasan dan ia memiliki sikap santun, peduli akan sesama, berhati mulia, dan mudah memaafkan. Sehingga ia sangat disenangi oleh banyak teman-temannya. Berbeda dengan Lisa yang merupakan seorang anak dari keluarga kaya. Akan tetapi Lisa tidak malu mempunyai sahabat seperti Laras. Namun ada satu sikap Lisa yang tidak disenangi oleh teman-temannya, ya, sikap iri dengki itu.
Suatu hari, ketika Laras sedang menikmati udara segar pagi hari, dilengkapi dengan nostalgia cerita-cerita masa lalu. Seketika kehadiran ustadzah Vira memecahkan pembicaraan mereka, “Assalamu’alaikum” ucap ustadzah Vira.
Dengan sengaja secara bersamaan mereka menjawab, “wa’alaikumussalam”. Beliau adalah salah satu ustadzah yang bertanggung jawab dalam hal perlombaan. Walaupun raut mukanya yang selalu terlihat seperti singa ganas, namun beliau memiliki hati yang sangat lembut terhadap murid-muridnya. Lalu ustadzah Fira memulai pembicaraan sama Laras, “Laras, minggu depan akan diadakan lomba pidato di Banda Aceh, apa kamu bersedia untuk ikut lomba itu?”
“Ustadzah pilih aku sebagai peserta itu?” tanya laras dengan muka heran.
“Iya Laras, saya pilih kamu untuk peserta itu, kamu pasti bersedia kan?” tegas ustadzah Vira.
Dalam hati Lisa berkata, “Hah? kok bisa dia dipilih sebagai peserta itu?, padahal aku lebih mahir dalam berpidato, pasti ustadzah Vira bakal menyesal tu. Pokoknya aku harus cari cara supaya Laras tidak jadi ikut lomba itu.”
Ketika itu Laras bingung dalam mengambil keputusannya. Kemudian ustadzah Vira melanjutkan lagi pertanyaannya, “Laras, kok kamu bengong?, kamu bersedia kan?” “Oh, iya ustadzah, Ana mau”, jawab Laras terkejut.
“Alhamdulillah, sekarang ustadzah balik dulu ya, Assalamualaikum…” jawaban yang diberikan Laras kepada ustadzah Vira membuat beliau bahagia saat itu. Kemudian beliau langsung menuju ke arah kamar yang terletak di ujung asrama. Matahari pun sudah mulai memancarkan cahayanya lebih luas. Maka Laras dan Lisa juga kembali ke kamar mereka masing-masing.
Keesokan harinya setelah shalat Subuh tepatnya, Lisa mengajar Laras ke kamar mandi dan mendorongnya di tempat yang licin. Laras tidak menyangka apa yang telah diperbuat sahabatnya. Akan tetapi ia tetap sabar terhadap sikap perbuatan sahabatnya itu. Perbuatan itu memang sudah sangat melampaui batas, walau bagaimana pun Lisa tetap sahabatnya.
Kemudian, dua hari sebelum Laras ikut lomba ke Banda Aceh, Lisa sahabatnya mengajak ke kamar mandi, lalu melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Ia masih juga sabar dengan apa yang menimpanya. Sayang Laras terhadap Lisa sangat besar, itu menjadi salah satu alasan Laras tidak bisa marah kepada Lisa. Alangkah malangnya nasib Laras bahwa ia tidak bisa menyadari hal itu. Sekarang Lisa sudah tidak suka lagi terhadap Laras, disebabkan karena Laras dipilih sebagai peserta lomba pidato ke Banda Aceh.
Setelah dua hari kejadian itu berlalu, Laras tidak pernah lagi melihat Lisa di sekolah. Kemudian, ia mencari tahu tentang Lisa melalui teman-teman kamar Lisa. Ternyata berita duka yang ia dapatkan tentang sahabatnya, Lisa mengalami kesakitan pada bagian lututnya akibat jatuh dari tangga kemarin. Ketika mengetahui hal demikian, ia langsung bergegas menuju kamar Lisa untuk menjenguknya. Padahal hari itu adalah hari dimana ia akan pergi ke Banda Aceh untuk mengikuti lomba, namun apa lah daya Laras yang setia kepada sahabatnya. Lalu ia membatalkan kepergiannya untuk ikut lomba.
Di situ, Laras bertanya “Lisa, kamu udah makan belum?”
“Belum..” jawab Lisa dengan suara lesu.
“Astagfirullah, jadi dari tadi kamu belum diambilin nasi?” tanya Laras khawatir.
“Belum” jawab Lisa polos.
Dengan mata yang beredar kiri kanan mencari letak piring, Laras memegang Lisa dan bertanya “Lis, di mana piringnya, dari tadi aku tidak mendapatkan piring kamu didaerah sini,”
“Piringku hilang empat hari yang lalu, memangnya buat apa?“ jawab Lisa yang masih dalam kelesuannya. Laras tidak menghiraukan pertanyaan Lisa.
Dengan gerak cepat, Laras pun balik ke kamarnya untuk mengambil piring dan mengambilkan nasi kepada Lisa, setelah itu ia pergi lagi ke kamar Lisa, dan menyuapkan nasi itu kepada Lisa.
“Laras? bukannya hari ini kamu akan pergi ke Banda Aceh untuk ikut lomba pidato? kenapa kamu malah disini?” Lisa bertanya dengan kelesuannya yang belum sembuh.
Laras menatap mata Lisa dengan penuh perhatian dan berkata, “LIS, AKU SUDAH membatalkannya, jangan pikirkan lagi tentang itu. Yang terpenting adalah kesembuhan kamu.” Laras sangat mengerti terhadap sahabatnya, yang ia harapkan saat itu adalah kesembuhan sahabatnya.
“Laras! bolehkan aku bertanya satu pertanyaan lagi?” tanya Lisa kepada laras yang sedang membelakangi Lisa dalam membereskan piring nasi yang baru saja siap ia suapkan kepada Lisa.
“Oh, boleh kok.” Laras langsung membalikkan badannya kehadapan Lisa. Lalu, Lisa melanjutkan pertanyaannya,” setelah sekian banyak kesalahan yang aku lakukan terhadap kamu, termasuk menolak kamu di kamar mandi pada tempat yang licin sampai kamu terjatuh, kenapa kamu masih mau menjengukku dan menyuapkan nasi kepadaku?”.
“Lis, tidak sepantasnya kamu bertanya seperti itu,”
“Tolong jawab pertanyaanku dulu laras!”
Kemudian Laras memenuhi permintaan Lisa untuk menjawab pertanyaan Lisa, “Lis, tidak semua kejahatan dibalas dengan kejahatan, apalagi kamu adalah sahabatku.Bukankah nabi SAW selalu menyuruh kita untuk berbuat baik, bahkan menyuruh kepada kita untuk membalas kejahatan dengan kebaikan”.
Tiba-tiba tangisan Lisa pcah di hadapan Laras dalam keadaan mengangguk atas jawaban yang laras berikan. Laras pun menghapuskan air mata yang ada di pipi Lisa dengan tangan seraya berkata, “hai cantik, kok nangis? jangan nangis ding, hilang ntar cantiknya”.
Lisa tidak menghiraukan candaan Laras, ia sibuk dengan tangisannya dan bergumam dalam hati, “Laras adalah orang yang selalu ada disaat aku terpuruk, kenapa aku bisa sejahat ini sama laras. Ya Allah … betapa beruntungnya aku memiliki sahabat sepertinya”. Lalu Lisa memeluk Laras dan meminta maaf kepadanya.
“Lis, aku nggak mau maafin kamu, sebelum kamu berhenti menangis”, Laras berpura-pura tidak menerima permintaan Lisa, dan membalikkan badannya membelakangi Lisa. Jujurs, menangis sambil tersenyum itu susah. Namun, itulah yang dilakukan LIsa kepada Laras untuk mendapatkan maaf darinya.
Seketika Laras membalikan badannya dan melihat Lisa, sahabatnya sudah tersenyum. Dengan cepat ia memeluknya dan berkata “oke, nggak papa kok, lupain aja kejadian itu. Aku udah maafin kamu dari dulu … semoga persahabatan kita tetap terjalin sampai ke jannahnya”.
Secara bersamaan mereka menjawab, “Amin…”
Kemudian Laras menyuruh Lisa untuk beristirahat dan memberikannya sebuah pesan, “Lis, kita adalah manusia yang tidak sempurna. Coba biasakan hidup kita dengan meneladani sikap Rasulullah SAW. Bukankah itu hal sangat mulia, Lis? Kita bisa membiasakannya kalau kita mengidolakan Rasulullah… hilangkan sikap iri dengki itu. Sesungguhnya itu adalah ajakan syaitan yang menjauhkan kita kepada kebaikan”.
“Masya Allah, Laras… InsyaAllah aku bisa… aku akan mencoba meneladani sikap Rasulullah dalam hidupku dan menghilangkan sikap iri dengki itu”, jawab Lisa menanggapi pesan yang diberikan Laras. Lalu Laras meminta izin kepada Lisa untuk kembali ke kamar, dan Lisa pun mengiyakannya. Laras kembali ke kamar dengan hati bahagia karena Lisa, sahabatnya sudah tersenyum lagi kepadanya.