Satu Malam Seribu Cerita

Oleh: Sitti Maulidina (XI MIA 6)

Angin malam ini menari-nari hingga spanduk berukuran besar itu ingin terbang menjelajah. Tetapi alangkah sayangnya ia terikat oleh seutas tali di setiap sudut. Spanduk bertulisan “Memeriahkan Maulid Nabi Muhammad SAW, Oleh Ustadzah Hajar Safwani, Lc.” itu terpampang di panggung bertiang kokoh semenjak 1978 lalu. Suara-suara menyusupi di setiap sudut Jeumala Amal, ditambah dengan terpaan angin malam yang membawa kehangatan. Satu-satunya malam yang kuyakini ini, adalah malam yang paling ditunggu-tunggu setiap orang banyak. Bahkan nih ya! Sampai seluruh dunia pun ikut merayakan hari kelahirannya Nabi Muhammad. Hmm… terutama yang penduduk mayoritasnya muslim sih. 

Awalnya diriku sendiri memang berniat tidak ikut-ikutan. Karena menganggap “tahun depan juga masih berlanjut acara ini”. Kebetulan saat ini aku masih berada di jenjang kelas 2 Aliyah. Toh lebih baiknya lagi, kembali tidur melanjutkan mimpi yang tertunda tadi karena harus masuk kelas sore. Apalagi aku sedikit terintimidasi dari teman-teman sekamar, mending ikut saja lah. Lagi pula aku juga berpikir daripada harus mendekam sendiri di asrama lalu dikunci pintu dari luar akibat ulah OSMID, nama organisasi yang mengurus kami di asrama.

* * *

Huru-hara di lapangan membuatku sedikit susah bernafas. Bagaimana tidak! Sekarang lapangan Jeumala Amal yang luasnya setengah dari istana presiden itu sudah bertabur seluruh murid yang akan berpartisipasi memeriahkan acara bersejarah ini. Dengan wajah yang tak bersahabat, gadis bernama Sitti Maulidina yang lahir pada tanggal 18 Oktober 2005 ini pun duduk bergabung di tengah khalayak ramai.

“Mauli..! tau nggak, penceramah malam ini salah satu lulusan dari Kairo loh. Lihat saja namanya bergelar Lc. Kan ustadz Azmi Abubakar bilang kalo kuliah di timur tengah rata-rata bergelar Lc. Aku yakin acara ini pasti seru banget” ujar Sika salah satu teman sekelasku yang minat dengan hal-hal berbau ceramah. Aku hanya tersenyum lebar menanggapi penjelasannya. Selanjutnya ku putar balik kepala menatap sang panorama panggung Dayah Jeumala Amal.

Pembaca tilawah Al-Qur’an melantunkan syair indahnya berirama hijaz. Rasanya adem menyerang hati yang keras layaknya batu saat mendengar beberapa ayat yang dilantunkan sang qari.

“Baiklah, sekarang tibalah saatnya yang paling ditunggu-tunggu! mari kita sambut penceramah tunggal kita … ustadzah Hajar Safwan, Lc.” teriak MC dengan lantang khasnya di mikrofon. 

Gelap masih membungkam Dayah Jeumala Amal. Akan tetapi, tepukan tangan gemuruh seluruh murid bergema hebat menentang pekatnya malam. Usai penceramah tersebut memperkenalkan dirinya, lalu disusul mulai berdendang ceramah yang menyangkut dengan judul.

“Meneladani  sifat Rasul serta sunnah-sunnahnya”. Ada yang membuatku bersemangat mendengar ceramah pada malam ini, ternyata ustadzah tersebut telah telah menyelesaikan studinya selama 19 tahun di Kairo. Wuaa… daebak. Aku saja 3 tahun di sini ada kalanya tidak sabar lagi menunggu cepat-cepat tamat.

“Anak-anakku sekalian! tahukah kalian pada malam ini bukan hanya kalian saja yang ikut menghadiri acara ini, Walangsangit pun ikut menyaksikan.” Entah lelucon atau bahkan bukan, seketika semua murid ikut menghayal apa yang beliau sampaikan. Ternyata benar, walangsangit juga ikut hadir memeriahkan acara ini. Seluruh murid spontan tertawa riang di bawah cahaya terang al-qamar.

Detik demi detik, jam demi jam terus berlalu, ustadzah Hajar banyak memotivasi kami dengan berbagai cerita perjalanan hidup Rasulullah di masa lalu. Tak terlupa pula dengan pertanyaan yang dibumbui beberapa hadiah menarik khas dari Banda Aceh.

“Anak-anak yang diridhai Allah, mungkin ini menjadi pertanyaan yang terakhir dari ustadzah untuk kalian semua, ya. Walaupun hadiahnya sudah ludes. Tapi ustadzah akan akan 100 ribu… mau tidak?” tanya beliau sambil menyapa santri-santri.

“Mauuu…” sahut murid serentak, termasuk diriku juga, hehe.

“Baik-baiklah, kita mulai saja pertanyaannya. Siapakah nama yang Nabi sebut ketika Nabi hendak wafat?”

Dengan gerak cepat aku mengacungkan jari, begitupun teman-teman yang lainnya.

“Wah, semuanya tunjuk tangan, tapi ada satu orang yang gercep nih. Di sana yang berjilbab hitam” beliau mengarahkan tangannya serta tatapannya menuju tempat dudukku. Akun mencari-cari memastikan siapa gerangan yang ditunjuknya. “Ataukah yang sebenarnya ditunjuk itu, aku?” tanya aku dalam hati.

“Iya, kamu!.. ayo maju” beliau kembali mengulang kata yang sama menyakinkan, seolah menyadarkan kebingunganku.

Bak tersengat aliran listrik, tubuhku bergetar hebat. Mengapa tidak, kini sosok orang hebat seperti beliau menggandeng bahuku, mengajakku berdiri tegak di hadapan khalayak ramai. Bisa kurasakan beberapa di antara mereka melirihku dengan penuh kebencian. Ada juga beberapa teman ikut bersorak heboh.

“Nah, sekarang coba jawab” sambung beliau memecahkan lamunanku sambil menatap tajam menunggu jawaban dariku.

Dengan setengah yakin aku menjawab, “Bismillahirrahmanirrahim, jawabannya ‘umatku-umatku’.”  Lalu beliau mengangkat jempol ke seluruh penonton, sebagai tanda kalau jawabanku benar 100%. 

“Selamat!.. semoga jadi anak yang sukse” ujar beliau sambil mendoakan. Kemudian menyodorkan selembar uang berwarna merah berfigur pak Soekarno dan Mohammad Hatta sang proklamator Indonesia. 

“Terima kasih, ustadzah” balasku menyalaminya lembut. Lalu  beranjak kembali ke tempat semula. “Hebat ya kamu” ucap temanku memuji. Kini kami kembali duduk dalam kekhusyukan pribadi.  Kala aku sedang duduk dalam lamunan yang begitu tenang, seketika aku teringat akan seseorang yang sangat melekat dalam sejarah Islam. Kupandang langit yang masih setia dalam gelapnya. Subhanallah… Allahu Akbar… sekumpulan awan berkumpul menyatu membentuk tulisan “Muhammad” dalam bahasa Arab.

Kucermati dengan seksama, mungkin saja ini hanya halusinasi. Oh, bukan… ini nyata! Tanpa diundang setetes air membendung di sudut mataku. Biarkanlah hanya aku dan Tuhan yang tau keajaiban ini. Ku pilih jalan untuk tidak memberitahu orang-orang sekitar. Aku tau mau merusak acara yang sudah dipersiapkan jauh hari, hanya karena sebuah kenyataan itu. Biarkan pula mereka mengetahuinya lewat tulisan pena yang pekat ini. Mengetahui seluruh kenyataan yang aku sendiri tidak percaya akan hal itu [].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *