Taubat

Oleh: Farazila Nasyifa (IX MTs)

Pagi yang cerah di langit Jawa. Cafe itulah tempat yang selalu digunakan Zibran dan teman-temannya untuk bersenang-senang. Zibran lelaki yang tampan, ketampanan di wajahnya adalah pahatan dari kuasa Allah SWT. Tetapi ketampanannya ditutupi oleh sifatnya yang selalu menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia.

“Pesan mama, aku harus berubah, aku tidak bisa terus-terusan buang diri dan menghabiskan waktu di cafe,” ucap Aris tiba-tiba memecah suasana. Aris adalah sahabatnya Zibran. Dia seorang yang selalu mendengar kata orang tuanya.

“Kamu bilang buang-buang diri? kita sedang refreshing!” Fachrul yang juga sahabat Zibran tidak terima mendapat lontara seperti itu. Tapi Arkan tidak ingin berkomentar serius terhadap sahabatnya. “Kenapa mama kamu bilang begitu? Emang Mama kamu mau kamu pergi kemana?” tanyanya.

Dengan tenang Aris menjawab, “Mama ingin aku pergi ke pesantren.”

“Haahh.. pesantren?… Seorang Aris mau tinggal di pesantren?… Yakin?” tanya Zibran meledek.

“Tapi, Mama Aris ada benarnya, Bunda aku juga pernah suruh aku ke pesantren..” balas Arkan membenarkan Aris.

“Kamu pun ingin ke pesantren juga? Kalian nggak salah?” sahut Fahrul mempertanyakan pernyataan kedua sahabatnya.

Bukannya mendukung, Zibran malah menertawakan sahabatnya, “Aris… Aris.. Tinggi banget sih mimpi kamu.. ya nggak, Rul?” Zibran menyikut Fahrul. Mereka berdua tertawa terbahak menertawakan kawannya. 

Aris tertunduk menatap lantai. Arkan yang menyadarinya langsung menjawab Zibran, “Kalian kenapa ketawain Aris, sih? .. Impian dia bagus, lho!.. seharusnya kalian dukung itu”.

“Kita nggak ketawain dia, kok.. Tapi lihatlah kita, pantaskah orang seperti kita menjadi santri??”

“Kenapa tidak?” tegas Arif. “Kalian ingat Rasulullah? Beliau tidak bisa membaca dan menulis. Tapi apa? Beliau menjadi orang hebat, menjadi teladan untuk kita semua.” 

Arkan kagum dengan semangat Aris. Arkan melanjutkan kata-kata Aris, “orang yang tidak bisa apa-apa saja bisa menjadi orang hebat, kenapa kita tidak?” 

Zibran dan Fahrul tercengang mendengar lontaran dua sahabatnya. Tidak ada satu patah kata pun yang  keluar dari mulut mereka. Apa yang dibilang Arkan ada benarnya. Arkan melanjutkan, “sedangkan kita hanya orang-orang yang salah mengambil langkah, kita berilmu, kita bisa! … InsyaAllah” ucap Arkan meyakinkan.

Hari itu datang juga. Hari dimana Arkan dan Aris mengubah status menjadi seorang santri. Siapa tau, rupanya Fachrul dan Zibran termakan omongan Arkan dan Aris. Hati mereka menjadi lunak, dan ingin ikut bareng sahabatnya ke pesantren. Mereka telah bersahabat sejak kelas  dua SD. Sangat berat bagi mereka untuk berpisah setelah 8 tahun bersahabat. Di sini, mereka akan mengubah watak mereka menjadi lebih baik, mengikuti jejak Rasulullah dengan mendalami ilmu agama. 

Hari demi hari mereka lalui dengan penuh kesabaran. Berbagai cobaan dan rintangan mereka hadapi bersama. Empat bersahabat ini mendapat kamar yang sama, hanya saja ranjang yang berbeda. Aris seranjang dengan Fachrul. Sedangkan Arkan dan Zibran mendapat ranjang yang berbeda.

Meskipun ramai, gedung pesantren di kota Jawa sepi. Sebab para santri sedang melaksanakan shalat Jum’at. “Bran! .. Kamu tau, kenapa hari ini disebut hari Jum’at?” Tanya Aris memecahkan keheningan. 

“Karena memang itu namanya,” pungkasnya asal. “Salah, mau tau ceritanya?” Tanya Aris.

“Memang kamu tau?” tanya balik Zibran meragukan. “Tau, dong… Mau dengar, tidak?” tanya Aris sekali lagi memastikan. “Boleh deh!” Zibran mengalah dan memilih untu mendengar cerita Aris.

“Pada masa Jahiliyah, hari Jum’at dikenal dengan nama Al-’Arubah. Orang pertama yang menyebut kata tersebut adalah Ka’ab bin Lu`ia.” Zibran memperhatikan kata-kata Aris dengan seksama, begitu pula dengan Arkan dan Fachrul. Aris melanjutkan, “pada hari itu, orang-orang Quraisy biasa berkumpul di kediamannya. Lalu Ka’ab memberikan nasehat dengan memerintahkan mereka untuk mengagungkan Tanah Haram”. Hampir tanpa berkedip, mereka menyimak kisah yang diuraikan Aris. “Dia juga mengabarkan kepada mereka dari sana akan ada nabi yang diutus.” Aris mengakhirkan.

“Kamu tau dari mana, Ris?” tanya Fachrul penasaran.

“Aku dibilang sama ustadz Zain” jawabnya dengan bangga.

“Kenapa kami tidak tahu?”

Eh, eumm… waktu itu kalian sudah kembali ke kama, hehehe maaf, ya.” Aris menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Para sahabat menatapnya dengan tajam. Mereka tidak sudi meninggalkan ilmu dari ustadz favorit mereka, walau hanya satu kata.

“Kata Rasulullah, la taghdhab wa lakal jannah” celetuk Aris sambil menatap sahabat-sahabatnya yang setia itu. Tapi, mereka  masih tidak bisa menerima pernyataan Aris. Ketika mengetahui masjid sudah dekat, Arif langsung berlari memasuki masjid. Dia takut sahabatnya bertambah ngambek dan marah.

Empat bulan berlalu tidak dirasakan 4 sahabat itu. Mereka menjalani hari demi hari dengan semangat yang membara. Mereka benar-benar ingin mengubah diri menjadi lebih baik. Hingga malam itu, seluruh santri melangkahkan kaki menuju Masjid untuk melaksanakan shalat Magrib. Shalat dilaksanakan dengan begitu menggetarkan. Azan dikumandangkan dengan keras dan merdu, hingga tidak mungkin jika tidak terdengar ke luar komplek pesantren. 

Seusai shalat, ratusan pasang tangan ditengadahkan kepada Allah, mengharap agar diampuni dosa-dosa oleh-Nya. Salah satunya Zibran, ia berdoa dengan sangat khusu’ sampai meneteskan air mata, tanpa ia sadari.

“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan penganiayaan yang banyak. Karena itu, ampunilah dosa-dosaku.” Suaranya parau, ia menangis tersedu-sedu. “Ya Tuhan kami, janganlah engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Ampunilah kami. Rahmatilah kami,, Amien.” Zibran menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Ia mengingat akan dosanya yang menggunung.

“Assalamu’alaikum, Zibran” suara itu membuyarkan kekhusukannya. Merasa namanya dipanggil, seketika ia menyeka air matanya. Ia melihat gurunya sedang duduk disampingnya, ustadz Zain. Setelah menjawab salam, Zibran menyalami tangan gurunya, yang di tangan itu semua ilmu tercurahkan. Karena tangan itu jugalah dia masih betah menuntut ilmu di pesantren tercinta.

“Ada apa Zibran? Kenapa menangis?” tanya ustadz Zain mengelus pundak Zibran lembut. 

“Aku hanya mengingat dosa-dosaku, ustadz. Terlalu banyak dosa yang aku kerjakan sebelum kesini” jawab Zibran menyesal.  

Ustadz Zain tersenyum, “tidak ada seorangpun makhluk yang tidak pernah berbuat dosa di dunia ini.” Zibran tertunduk menatap lantai. Ustadz Zain melanjutkan, “Ketahuilah, Zibran.. Kamu telah berada di tempat yang tepat. Di sini kamu akan menemukan ilmu lebih banyak lagi. Di sini kamu akan mendapatkan ketenangan beribadah, InsyaAllah.” Ustadz Zain memeluk muridnya yang sedang terisak. Ia bangga melihat perubahan Zibran yang sekarang, daripada yang dulu sering membuang waktu dengan sia-sia. 

“Allah sangat menyukai orang-orang yang bertaubat dan selalu mengingat dosanya. Begitu pula Rasul-Nya. Tanpa disadari, telah banyak sunnah Nabi yang kamu kerjakan,” Ia mengelus punggung Zibran halus. “Doa yang tadi kamu lontarkan adalah doa nabi Adam ketika memohon ampun, dan doa nabi Muhammad SAW. ketika meminta pertolongan. Zibran, jadikan Rasulullah sebagai pedoman hidupmu!” seru ustadz Zain melepas pelukannya.

Zibran menatap mata gurunya yang hangat, “tolong bimbing dan nasehati aku, Ustadz. Bimbing aku menjadi orang yang lebih baik lagi dengan ilmu yang ustadz milik” pinta Zibran.

“Selama nyawa masih dikandung badan, Ustadz akan selalu membimbingmu, Insya Allah” jawabnya.

The End.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *