Oleh: Niza Salsabilla, S.H dan Annisa, S.Ak
Pagi hangat menyapa Dayah Jeumala Amal, membawa semilir semangat baru di antara para santri. Pelataran sederhana yang biasanya bergema dengan lantunan ayat suci dan pelajaran kitab, kini bertransformasi menjadi ruang penuh warna tempat ide-ide bermekaran dan kreativitas tumbuh tanpa batas. Dari sanalah lahir sebuah karya istimewa: film pendek bertema “Cinta Tanah Air”, kisah tiga menit yang memancarkan makna besar tentang kecintaan santri kepada negerinya. Meski berdurasi hanya tiga menit, film ini bukan sekadar proyek lomba, melainkan wujud nyata kecintaan santri pada tanah air; sebuah persembahan tulus yang memadukan nilai religius, nasionalisme, dan seni dalam bingkai visual yang menggugah makna.
Segalanya dimulai dari diskusi kecil antara para siswa dan guru pembimbing. Mereka ingin menampilkan cinta tanah air dari perspektif santri, bagaimana nilai agama berpadu dengan rasa nasionalisme. Dari berbagai ide, lahirlah “Jejak Negeri,” kisah tentang dua santri yang belajar memahami bahwa mencintai negeri adalah bagian dari iman.
Setelah naskah rampung, tibalah saat proses casting. Puluhan santri mendaftar untuk ikut audisi. Dari sekian banyak peserta, lahirlah karakter Ririn,santriwati pendiam namun serius dan Nur, santriwati ceria yang penuh semangat kebangsaan. Pemilihan ini bukan hanya karena kemampuan akting, tapi juga karena keduanya mampu merepresentasikan karakter santri sesungguhnya.

Setelah memahami susunan peran yang diberikan, penyusunan skenario dan teks drama dilakukan. Tim penulis menyusun naskah dengan dialog sederhana namun terisyarat pesan: mencintai tanah air bukan sekadar slogan, tapi wujud pengabdian pada negara. Hari berikutnya, Nur dan Rini melakukan latihan berulang kali. Mereka berlatih membaca dialog, menyesuaikan intonasi, dan memahami makna di balik setiap kalimat. Kadang, tawa pecah ketika ada yang lupa dialog; namun semangat mereka tak pernah surut. Dari latihan demi latihan, keduanya mulai menyatu dengan karakter masing-masing, Nur yang semula kaku mulai lembut dan penuh penghayatan, sementara Rini semakin hidup dan lihai dalam perannya.


Beberapa hari menjelang proses shooting, para santri dan guru pembimbing tampak sibuk menyiapkan setiap detail dengan penuh semangat. Kostum para pemain dirancang menyesuaikan kehidupan santri, busana sederhana dan sopan, namun tetap rapi serta mencerminkan kerapian khas lingkungan pesantren. Tiga lokasi utama dipilih sebagai latar pengambilan gambar: perpustakaan yang sarat ilmu, lingkungan dayah yang asri, dan jembatan pemisah yang menjadi ciri khas Dayah Jeumala Amal. Setiap sudut dipertimbangkan dengan cermat agar mampu menghadirkan suasana yang alami sekaligus bernilai estetis. Properti pun disiapkan dengan penuh perhatian. Buku-buku tebal, bendera merah putih kecil, hingga naskah sejarah tertata rapi untuk memperkuat nuansa nasionalisme yang menjadi jiwa dari film pendek ini. Semua elemen berpadu menciptakan harmoni visual yang tidak hanya indah dipandang, tetapi juga sarat makna tentang cinta tanah air dari lingkungan pesantren.


Kamera dan tripod mulai berdiri tegak di sudut ruangan, siap menangkap setiap adegan. Suasana berubah hening ketika sutradara memberi aba-aba, dan semua mata tertuju pada adegan pertama yang akan dimulai di perpustakaan. Dengan langkah tergesa, Nur muncul sambil menggenggam selembar koran yang memuat pengumuman lomba film pendek bertema “Cinta Tanah Air.” Tatapannya penuh semangat, seolah selembar kertas itu menjadi awal dari sebuah perjalanan besar yang akan mereka mulai bersama. Kamera menangkap ekspresi kontras antara keduanya: semangat dan ketenangan.
Di sudut ruangan, terdapat 2 pembimbing yang ikut merasakan cengkraman suasana yang sangat kaku, didalam pikiran mereka hanyalah keraguan dan kesuksesan yang mereka harapkan setelah briefing yang dilaksanakan semalaman, tak banyak harapan yang disuguhkan, hanya ingin peran yang dilimpahkan dapat dipertanggungjawabkan oleh pemeran Ririn dan Nur
Lalu berpindah ke Jembatan, di mana terjadi dialog yang menjadi titik balik cerita. Nur menegaskan bahwa menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar juga merupakan bentuk cinta tanah air. Di sinilah Rini mulai tersentuh dan berpikir lebih dalam. Proses pengambilan gambar berjalan lancar meski beberapa adegan perlu diulang agar hasilnya maksimal. Cuaca cerah dan pencahayaan alami menambah keindahan visual film ini. Adegan klimaks diambil di area terbuka dayah, dengan latar langit biru dan pepohonan hijau. Nur mulai menjelaskan satu persatu bentuk dari cinta tanah air yang telah kita lakukan dilingkungan Dayah Jeumala Amal.
“Cinta tanah air bukan hanya slogan, tapi amal. Dengan ilmu yang kita miliki, kita bangun negeri ini agar semakin kuat dan bermartabat.
Setelah seluruh adegan selesai direkam, tim editor bekerja dengan teliti menyusun potongan cuplikan video menjadi alur yang utuh. Musik instrumental patriotik dipilih untuk mengiringi setiap emosi, dari tenang hingga penuh semangat. Warna gambar dibuat hangat, menggambarkan kesejukan suasana dayah dan ketulusan hati para santri. Transisi antar adegan dibuat halus, sementara teks penutup berisi pesan utama film: Ketika film “Jejak Negeri” akhirnya diposting, beberapa santri ikut menyaksikan, suasana hening. Setiap mata tertuju ke layar, setiap adegan membawa kebanggaan tersendiri. Begitu video berakhir, tepuk tangan menggema, menandai keberhasilan bukan hanya dalam karya, tetapi juga dalam menanamkan nilai-nilai nasionalisme di hati para santri.
Proses pembuatan film ini membuktikan bahwa semangat cinta tanah air bisa tumbuh di mana saja bahkan di tengah kesederhanaan dayah. Dari naskah, lensa kamera, hingga edit akhir, semua dilakukan dengan hati, dengan satu tujuan mulia: Menjadi santri yang tidak hanya cinta ilmu, tetapi juga cinta pada negerinya.
