Diplomasi Santri Untuk Pelestina (Refleksi Hari Santri)

Oleh Azmi Abubakar, Lc, M.H

Masih terekam dalam ingatan kita  manakala Hamas meluncurkan rudalnya ke Israel dua tahun lalu. Aksi Hamas ini bukan tanpa alasan bahwa Israel sendiri telah melecehkan Masjid Aqsa dengan melakukan peibadatan mereka di  dalam masjid. Hal ini telah diingatkan oleh Hamas agar menghentikan aksi pelecehan, namun tidak diindahkan. (Kompas, 8  Oktober 2023). Aksi tersebut kemudian dibalas dengan serangan  membabi buta Israel ke tanah Gaza. Serangan silih berganti, dunia internasional kembali memberi perhatian.

Hingga beberapa pekan lalu, publik disajikan  pidato dasyat  presiden Republik Indonesia di PBB, bahwa Palestina berhak untuk mendapatkan kemerdekaannya,  dengan demikian Indonesia baru mengakui Israel sebagai sebuah negara. Pidato tersebut  isinya antara lain: “Kami mengecam semua tindakan kekerasan terhadap warga sipil tak berdosa. Oleh karena itu, hari ini dengan bermartabat kita berkumpul untuk mengemban tanggung jawab historis. Tanggung jawab ini tidak hanya berbicara tentang nasib Palestina, tetapi juga tentang masa depan Israel dan juga kredibilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami mengutuk semua kekerasan terhadap warga sipil tak bersalah.” (Tempo, 23 September 2025). Artinya apa yang disebut dengan solusi dua negara menjadi pilihan realistis politik luar negeri Indonesia. Hal ini tidak diaminkan oleh Iran misalnya. Alhasil  Palestina dalam beberapa pekan ini telah menjadi pembicaraan positif di panggung dunia dengan pengakuan eksistensi Palestina sebagai sebuah negara merdeka. Diberitakan bahwa 147 dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah secara resmi mengakui kedaulatan Palestina (Tempo, 2 Agustus 2025).

Berkaca terhadap konflik di Palestina, konflik ini  telah terjadi berlarut larut tanpa ada penyelesaian yang berarti. Wilayah Palestina semenjak tahun 1948 telah diserobot oleh zionis Israel, padahal di bawah Turki Usmani, Muslim Palastina hidup tenteram selama  400 tahun (Ragib Sirjani, 2011).  Dengan dideklarasikannya kemerdekaan  Israel tahun 1948, maka dimulailah  tahap genosida dan  penderitaan terhadap muslimin Palestina. Konflik ini bukan  hanya sebagai tragedi kemanusiaan saja, melainkan menyangkut kemuliaan (izzah) kaum muslimin di bumi al-Aqsa. Fakta sejarah menunjukkan bawah era tahun 2000 pejuang Hamas masih mengandalkan batu dan ketapel sebagai ekpresi perlawananterhadap zionis. 20 tahun kemudian Hamas bangkit dengan teknologi canggih dengan puluhan ribu rudal. Kenyataanya, selama puluhan tahun Israel tidak berhasil memluluhlantakkan bagian dari Palestina yaitu Gaza.  

Padahal Gaza sebagai mana diungkapkan oleh seorang relawan Palestina asal Indonesia, Muhammad Husen dalam akun youtubenya bahwa luas Gaza hanya setengah jam perjalanan dari ujung ke ujung, artinya Gaza adalah kawasan kecil yang mudah di hancur oleh teknologi canggih manusia apalagi memina bantuan kepada Amarika dengan pengiriman kapal induk, di sini Allah menujukkan kekuasaaanya. Banyak tentara Israel yang diserse dan banyak pula  warganya yang  eksodus  ke berbagai negara Eropa.

Kenyataan ini berbeda dengan kaum muslimin yang memilkiki jiwa millitan, termasuk muslimin Indonesia  yang menjadi relawan di Palestina. Dari sini dapat dipahami bahwa sejatinya Israel tidak memiliki ha katas tanah. Apa yang mereka ingin perjuangan  adalah kekuasaan atas tanah.  Kita tidak boleh lupa sejarah Yahudi bahwa mereka pernah di usir pasca kejatuhan Andalus.  Dalam sejarahnya, Yahudi terus saja mengekor kemana peradaban Islam berlabuh. Fase Abbasiyah, Andalus hingga Usmani mereka terlindungi dengan sangat baik. Manakala Turki Utsmani mundur mulailah mereka mengambil kesempatan melakukan rekayasa jahat dengan membentuk gerakan zionis.

Membangun Paradigma Baru

Eksistensi Santri sebagai kekuatan muslimin  di Indonesia tidak boleh dipandang sebelah mata. Dari awal kemerdekaan, terbentuknya embrio tentara Indonesia, perjuangan membela dan mengisi kemerdekaan tidak bisa dipisahkan dari peran besar santri dan pesantren. Kekuatan dan peran ini juga coba dijalankan dalam perpolitikan di Indonesia bahkan hingga saat ini, termasuk di Provinsi Aceh.

Santri mesti mengubah paradigma dalam melihat masalah Palestina-Israel. Sejatinya sebagaimana disebut Habib Abubakar al-Masyhur perang ini adalah  perang antara muslimin dan Yahudi. Muslimin semestinya bersatu sebagai ummatan wahidatan. Dalam sejarahnya Allah telah mengamanahkan Haram Mekkah kepada Nabi Ismail hingga keturunan setelahnya, amanah itu terakhir berada pada Rasulullah  dan umatnya. Sementara Masjid Aqsa diamanahkan oleh Allah kepada Nabi Ishaq dan keturunannya.

Setelah turunnya surah al-Isra ayat pertama menurut ahli tafsir adalah ikrar bahwa amanah masjid al-Aqsa yang sebelumnya berada di tangan keturunan dari nabi Yakub tersebut berpindah kepada Rasulullah dan umatnya. Kenyataannya Yahudi dengan keras kepalanya tidak mau mengakui kerasulan Rasulullah, bahkan menafsirkan sesukanya teks suci para Nabi sebelumnya (Ahmad Khotib, 2008).

Berangkat dari kenyataan bahwa Israel begitu lihai dalam mengisi opini publik, maka untuk saat ini santri mesti gesit  menghidupkan dapur media melalui literasi digital. Santri milinelal dan Gen-Z dapat mengisi media dan opini publik bahwa Israel adalah teroris dan tidak memahami nilai nilai kemanusiaan sama sekali. Santri di Aceh khususnya mesti mendengungkan kembali kepada kaum muslimin dan  seluruh dunia bahwa Israel adalah teroris terbesar di muka bumi. Dengan demikian model perang digital di zaman modern ini dapat menjadi salah satu strategi dapat melemahkan mental Israel.

Diplomasi Santri dalam sejarahnya telah terbukti mampu mengoyang perlawanan musuh, perlawanan terhadap marsose Belanda oleh para Santri dan Ulama menjadi contoh dan spirit kita hari ini. Tgk. Syik Ditiro, Tgk Syik Pante Kulu adalah ulama pejuang yang syahid melawan Belanda selepas menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Dari sini kita belajar bahwa santri telah mampu mengorbankan segalanya demi kepentingan agama dan bangsa.  Hari ini santri  diuji kembali,  santri mesti mengerakkan kekuatan diplomasi di kancah internasional untuk membela Aqsa, tanah Quds dan saudara seiman Palastina.

Al-Quran sangat jelas merincikan keberkahan negeri Palestina diantaranya dalam surah al -Araf ayat 137, al-Isra ayat  1, Anbiya ayat 71 dan 81. Sebaliknya al-Quran juga merincikan kelicikan Yahudi didalam surah al-Maidah ayat 13 ditambah lagi dengan Sirah Rasulullah bahwa Yahudi pernah diusir karena pengkhianatan mereka terhadap piagam Madinah  (mitsaq al-Madinah). Para pemimpin organisasi sering berkunjung ke Indonesia sebagai basis muslim terbesar, dalam hal ini mereka berkunjung ke pesantren bertemu para Ulama dan Santri untuk meminta petunjuk dan pendapat tentang bagaimana penyelesaian konflik termasuk isu Pelestina (Ahmad Khotib, 2008). Dari sini santri mesti selalu sadar akan perannya, ia mesti lebih keras berdiplomasi dalam rangka melindungi kaum muslimin di Palestina dan Masjid al-Aqsa. 

Santri harus terus menggemakan bahwa kita adalah kaum yang sejatinya tidak pernah kalah, Allah berfirman: Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang kafir yang bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam. Dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. (Ali Imran; 196-197). Santri mesti meneriakkan selalu semangat optimisme bahwa kita adalah pemenang sejati. Muslimin mesti menyadari kembali sejarah perang Badar jumlah pasukan muslim 300 melawan 1000 pasukan kafir, demikian juga pertempuran Yarmuk 29.000 pasukan muslim mengalahkan 200.000 pasukan Romawi ( Ragib Sirjani, 2011).  Muslimin mesti menyadari bahwa apa yang sekarang terjadi di bumi Palestina  adalah mengulang kembali sejarah Andalus. Gejala dan perasaan ini mesti dirasakan  dan disadari oleh para santri

Santri  mesti selalu memiliki girah imaniyah, Di mana ide ide besar dan konkrit  terus bergulir untuk Palestina. Girah atau spirit ini sangat relevan dimiliki oleh santri karena memiliki modal keimuwan. Spirit saja tanpa keilmuwan tidak cukup untuk membela Palestina, bahkan bisa berbahaya. Sebaliknya  jangan menjadi santri yang tanpa girah apapun terhadap pembelaan terhadap Palestina. Sebagai penutup santri di Aceh tidak boleh lupa tetang sosok ulama Palestina yang telah tulus berdakwah di bumi Aceh Darussalam abad ke 9 Masehi, yaitu Teungku Syik Kan’an atau Syekh Abdullah yang berasal dari Kan’an bumi Palestina. Hubungan emosional ini mesti tumbuh dalam jiwa santri Aceh dan Indonesia agar terus mengerakkan perlawanan terhadap Yahudi. dengan demikian, santri telah melakukan gerakan gerakan peradaban skala dunia. Akhirul kalam, Selamat Hari Santri, Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *