Portal dan Senjata Bangsa

Sebuah cerpen oleh Azkia Syaheera (Murid Kelas XI-6)

Inilah diriku, duduk diam seperti patung manekin yang berada di Harrods. Salah satu pusat perbelanjaan paling “wow” di London. Kaum puncak menjadikannya sebagai tempat huru-hara belanja terbaik. Tunggu! Aku tidak sedang menceritakan tempat itu. Kembali ke Laptop! Akhir-akhir ini pikiranku berubah menjadi medan perang, begitu berisik sampai-sampai tidurku tidak tenang. Banyak pertanyaan yang terus berputar nyaris seperti jarum jam keabadian. Ada apa dengan bangsaku? Demo dimana-mana, kelaparan merajalela, hutang negara sudah tak terhitung lagi nilainya, dan tangis rakyat terdengar pilu dengan siksa.

Sebagai putri bangsa aku ingin membantu, namun bagaimana caranya ya? Orang bilang satu-satunya cara adalah belajar dengan tekun. Tapi menurutku itu tidak cukup, terlebih posisiku sebagai santriwati yang terkurung dalam penjara suci. Menggapai dunia luar dan ikut serta dalam kegiatan memajukan bangsa sulit dilakukan. Seolah-olah diriku dan bangsa berada di dua dimensi yang berbeda.

Kini aku duduk di kelas sambil memandangi jam, berharap pelajaran paling membosankan segera berakhir. Saat-saat seperti inillah aku merasa seperti sampah bangsa. Angka-angka yang berdansa di papan nyaris membuat penglihatanku menjadi buta karena itulah aku lebih memilih melamun daripada menyimak matematika.

“Oh tuhan!! Tolonglah hambamu ini”. Jeritku dalam hati.

“Graciaaa! Tolong ajarkan aku tentang rumus ini”. Luna menghampiriku dengan begitu antusias. Dia membawa buku tulis dan pulpen lalu meletakkannya di hadapanku.

“Luna ini bukan keahlianku. Menolong diriku saja tidak bisa, inilagi membantu kamu”.

“Loh, kok bisa? kau berada di peringkat pertama juara kelas. Mustahil kau tidak bisa matematika”. Opini terjelek yang pernah kudengar selama enam belas tahun hidup di dunia.

“Lebih baik tutup saja mulutmu itu Luna, dan mulailah membantuku mengubah bangsa ini”.

“Aku tahu caranya”. Luna tersenyum sumringah. “Caranya?” Tanyaku memburunya. Seperti ada cahaya hangat di dadaku.

“Begini, kamu fokus saja belajar matematika sampai bisa ikut olimpiade internasional. Kalau menang itu bisa mengharumkan sekaligus mengubah bangsa ini”. Antusiasku luntur seketika.

“Cara itu tidak cocok denganku, aku alergi angka kecuali jumlah uang! Hehe”. Bola mataku berputar kebelakang sembari mengatakan hal itu.

Tidak lama kemudian bel tanda pulang berbunyi. Aku langsung mengemasi barang-barang. Hari ini angin sedikit ganas. Di perjalanan pulang kembali ke asrama, aku melihat banyak daun-daun yang beterbangan tidak tentu arah dan …. PLAK!!!!!!! Sesuatu menghantam wajahku. Selembar kertas yang bertuliskan “Membekali diri, membangun negeri”. Aku pikir itu hanya sampah jadi ya kubuang. Baru selangkah maju, tiba-tiba PLAAAAA!!!!! Lagi-lagi ada sesuatu yang kembali menghantam wajahku. Saat kulihat ternyata benda yang sama dengan isi tulisan berbeda. “Terjebak bukan berarti memilih putus asa, sebab masih ada pintu yang bisa dibuka atau jendela kaca yang darinya bisa melihat dunia”. Tunggu!! Sepertinya tulisan ini ada sangkut pautnya dengan tulisan yang kubuang tadi. Segera aku berbalik dan mulai mencarinya. Beruntung, posisi kertas tadi tidak jauh dariku. Namun saat aku ingin mengambilnya, angin membawanya pergi. Kucoba kejar, dan dapat walaupun ada mungkin 15 menit aku berjibaku dengan angin. Ini paduan yang sempurna pikirku. Dua tulisan berbeda dari kertas yang entah darimana asalnya, tapi memiliki arti yang begitu bermakna.

Oh tidak! Aku sudah terlambat. Jam tanganku menunjukkan waktu tersisa 20 menit lagi sebelum shalat berjamaah di asrama dimulai. Aku menyimpan dua kertas tadi ke dalam tas lalu bergegas lari pulang. Ini adalah sesi lain dari turnamen kehidupan. Di sekolah bertengkar dengan pelajaran dan di asrama berperang dengan list pekerjaan.

Setiba di asrama, aku masuk kamar kemudian bergegas mengganti seragam ke setelan santai. Melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu. Inilah yang disebut perang, istilahnya “Perang Gayung”. Krisis air sedang menimpa ponpesku. Dari banyaknya kran air, hanya ada satu kran yang berfungsi tapi ya air yang keluar sangat sedikit. Kalau diperhatikan hanya sejari telunjuk, ditambah lagi santriwati yang menggunakannya “that le”. Semuanya merebut giliran menampung air menggunakan gayung. Mereka saling mendholimi satu sama lain, ya tentu saja dengan memotong giliran. Tawaran pilihan hanya ada dua, pertama tetap berwudhu dan ikut perang gayung tetapi shalat di bawah terik matahari karena pasti akan telat. Kedua, tidak berwudhu dan langsung ke mushalla tetapi ya mendholimi jamaah lainnya. Seandainya iman tidak berlabuh di sanubari ini, sudah pasti aku di pilihan pertama.

Aku tetap berwudhu dengan tergesa-gesa dan kembali ke kamar untuk memakai mukena. Suara langkah yang lomba lari dengan sang menit terdengar bagaikan suara hujan di atap. Begitu menakutkan. Jika sudah seperti ini artinya pintu mushalla akan segera ditutup dan shalat jamaah di lapangan sudah di depan mata. Melihat semua temanku lari, akupun ikut juga. Langkahku semakin lebar, bahkan sampai telapak kakiku tidak lagi menginjak tanah. Dan ….. yeay aku berhasil!!! Aku berhasil masuk di detik-detik terakhir pintu ditutup. Beruntung saja walau nyaris menabrak pintu. Hehe.

Sepulang dari mushalla, aku masuk kamar dengan langkah gontai. Cukup lelah untuk hari ini. Di sana ada temanku, namanya Aya. Dia teman sekamarku yang sangat amat suka membaca buku. Kacamanya setebal buku sembilan puluh dua halaman, di dahinya ada bekas warna biru kehijauan yang kurasa takkan pernah hilang. Itu karena ia terlalu sering menabrak sesuatu saat kacamatanya ia lepas. Walau begitu, ia adalah salah satu orang tercerdas yang pernah kukenal.

“Apa yang salah, Grace? Keliatannya hari ini begitu buruk untukmu?” Tanya Aya tanpa mengalihkan tatapannya dari buku.

“Hari ini sangat menyebalkan dan berantakan! Sama seperti negeri ini”. Gerutuku.

“Itu karena kau tidak disiplin. Coba biasakan melihat roster di malam hari, bukan lima menit sebelum pergi ke sekolah dann pulang tepat waktu, bukannya berkeliaran”. Balah Aya seolah-olah tahu semua tentang masalahku.

“Op Op! Hey!! Semalam aku lupa melihat roster, makanya bergeser ke tadi pagi dan aku pulang telat karena aku mencari sesuatu”. Jelasku membela diri. Tiba-tiba aku teringat kertas tadi. Aku segera membuka tas lalu mengambilnya.

“Aya! Lihat deh tulisan ini”. Pintaku seraya menunjukkan dua kertas berdampingan.

“Apa yang salah dari tulisan ini? Kan cuma motivasi”. Kata Aya.

“Iya si! Tapi bentar deh, coba kamu jabarkan maksud keduanya!” Pintaku.

Napas Aya terasa dihela pasrah, setelah selanjutnya ia mulai menjelaskan. “Tadi katamu bangsa ini berantakan, menurutku kertas ini cukup membantu dan menjadi petunjuk. Jika ingin mengubah bangsa ini artinya kau harus membekali diri. Karena sebenarnya bukan bangsa ini yang salah tapi orang-orang di dalamnya. Jika semua orang mulain benar-benar belajar dan menjadi jujur, yakin aku tidak akan ada masalah lagi dengan negeri ini!” Jelasnya panjang lebar.

“Salah satu contohnya?” Tanyaku buru.

“Seperti kataku tadi, coba belajar disiplin diri atau belajar hal baru yang berguna. Untuk memulai sesuatu kita itu tak butuh langkah besar, hanya langkah kecil tapi konsisten!”. Sambil mangut, aku lanjutkan bertanya.

“Disiplin diri? apa hubungannya?” Aku masih kurang.

“Begini. Coba kamu pikir, jika semua orang di negeri ini disiplin, sudah pasti tidak akan ada lagi yang korupsi, tidak ada lagi orang yang mencuri, begal, ataupun jenis kriminal lainnya”.

“Oh! Aku mengerti sekarang. Tapi bagaimana caranya kita belajar tentang hal itu? Disini tidak ada HP atau semacamnya. Kita seperti terjebak dalam dimensi berbeda karena kita di ponpes”. Rasanya aku ingin menangis saja. Inilah pokok masalah sebenarnya. Ponpes menjadi pengahalangku untuk belajar hal di luar akademik secara mendalam, sehingga tidak mampu membekali diri.

“Kalau kamu benar mau, kamu akan temukan jalannya! Tapi kalau tidak mau, jalannya hanya akan penuh dengan alasan. Coba baca-baca ulang tulisan itu!” titah Aya.

“Terjebak bukan berarti memilih putus asa, sebab amsih ada pintu yang bisa dibuka atau jendela kaca yang darinya kau dapat melihat dunia. Jadi???”

“Buku, buku sangat cocok dengan tulisan itu” Aku tak tahu mengapa, tapi kali ini aku benar-benar bodoh. Tidak mengerti maksud Aya.

Aku memintanya untuk menjelaskan sekali lagi. Aya hanya mengangguk, tidak ada lagi senyum di bibirnya. Ia sangat serius dan mulai menatapku.

“Kau bilang kita terjebak disini kan? Itu karena kamu merasa tidak dapat belajar dan mencari informasi dari internet, tapi tau ga? kita bisa beralih ke buku. Buku dapat mengajarkan kita banyak hal tanpa internet itu. Buku seperti portal kita disini. Memang kita tidak selalu bisa melihat dunia layaknya mereka yang HP di sakunya setiap saat, tapi buku tetap berikan kita kesempatan itu”. Jelas Aya, sedang pandanganku melayang entah kemana.

“Kalau gitu, aku akan mulai ke perpus deh, kalau bisa setiap hari. Ya supaya aku jeumoet membaca dan membuka portal untuk dunia luar melalui buku”. Aku begitu bersemangat.

Aya menutup percakapan kami saat itu dengan sebuah kutipan

“Apapun yang kamu baca, jangan lupa menerapkannya di kehidupan sehari-hari”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *