Pulau Tanpa Nama

Sebuah cerpen buah pikir Rayyan Akbar (Murid MTs Kelas VIII-1)

Hari itu hujan menggantung di langit kelabu. Rayhan terduduk diam di dalam perpustakaan sekolah, bersandar di meja kayu tua, menatap kosong ke arah jendela yang buram oleh embun. Ingatannya kembali ke masa kecil—trauma yang terus menghantuinya: adiknya meninggal tenggelam, dan ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri.

BRAK!

Suara benda jatuh membuat Rayhan tersentak. Ia menoleh, mencari sumber suara. Di lantai, sebuah buku tua berwarna coklat kusam tergeletak terbuka. Di sampulnya tertulis huruf-huruf asing—bahasa Belanda.

Rayhan berdiri dan melangkah mendekat. Ia memungut buku itu dan perlahan membukanya. Aroma lembap dan debu tua langsung menyeruak, seperti bau tanah basah yang lama tak tersentuh. Di dalamnya, terlipat sebuah peta tangan, jelas bukan hasil cetakan modern. Peta itu memperlihatkan luasnya lautan, dan di salah satu sudutnya, tergambar sebuah pulau kecil yang disilang dengan tinta merah tebal.

“Kenapa pulau ini disilang, ya?”

Suara tiba-tiba dari belakang membuat Rayhan nyaris menjatuhkan bukunya.

“Wah, Nadia! Bikin kaget aja,” ujar Rayhan, mencoba menenangkan diri.

Nadia tertawa pelan. “Maaf. Tapi serius, pulau ini aneh. Gak ada nama, dan disilang begitu aja?”

Rayhan mengangguk pelan. “Aku juga nggak tahu. Gak ada keterangan apa-apa. Seakan-akan… sengaja disembunyikan.”

“Gimana kalau kita ke sana?” tanya Nadia, matanya berbinar penuh antusias.

Rayhan menatapnya sejenak, lalu menggeleng. “Itu terlalu berbahaya. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?”

“Karena itu, kita ajak teman-teman lain. Semakin banyak kepala, semakin aman, kan?” jawab Nadia santai.

Rayhan termenung. Peta itu, pulau itu… semua terasa mengganggu sekaligus menarik.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Akan kupikirkan matang matang

*****

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu membuat Rayhan terbangun. Ia mengerjapkan mata dan menoleh ke arah pintu.

Siapa?!” teriak Rayhan, suaranya masih serak.

Hening. Tak ada jawaban.

Perlahan, ia turun dari kasur dan melangkah mendekati pintu. Tangan kirinya memegang gagang pintu.

Cklek.
Ia membukanya pelan.

Masih hening.

Tak ada siapa-siapa di sana… sampai tiba-tiba—

“BAAA!!”

Sebuah suara meledak di depan wajahnya. Arman, tetangganya yang juga teman sekelas, muncul dari samping pintu sambil menyeringai lebar. Kacamatanya yang berbentuk persegi bergoyang sedikit karena tawa.

Rayhan terlonjak ke belakang.
“Fuhh… Arman! Arman!” katanya sambil memegangi dadanya yang naik turun. “Kalau mau mampir, jangan bikin jantungan dong!”

“Hehe, canda, Han.” Arman tertawa, lalu menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Gaya khasnya.

“Memangnya ngapain ke sini?” tanya Rayhan, masih sedikit kesal.

Mendadak, ekspresi Arman berubah serius.

“Kata Nadia, kita jadi berangkat ke pulau yang kamu temukan di peta itu.”

Wajah Rayhan ikut mengeras. “Nadia udah ngabarin siapa aja yang ikut?”

“Cuma berempat. Aku, kamu, Nadia, sama Nino,” jawab Arman sambil menghitung dengan jarinya. “Udah, itu aja.”

Rayhan mengangguk pelan. “Baiklah. Bilang ke Nadia, besok pagi kita berangkat.”

“Siap, Kapten!” sahut Arman sambil memberi hormat. Ia membalikkan badan dan pergi dengan langkah ringan.

Rayhan masih berdiri di depan pintu, memandangi punggung Arman yang makin menjauh. Angin malam bertiup pelan, seolah memberi pertanda bahwa perjalanan ini… bukan perjalanan biasa.

*****

“Nadiaaa!” teriak Reyhan sambil berlari menyusul dari belakang di koridor sekolah. Ia masih mengenakan seragam lengkap, dengan tas ransel yang bergoyang di punggungnya.

Nadia menoleh, kaget. “Eh, Reyhan? Ngapain lari-lari begitu?”

Reyhan terengah, tapi matanya tampak bersemangat. “Gimana, jadi misi kita hari ini?”

“Misi?” Nadia mengerutkan kening, lalu menoleh sedikit ke atas, seolah mencoba mengingat sesuatu. Beberapa detik kemudian, wajahnya langsung cerah. “Ohh! Itu! Tentu saja jadi. Gimana, kamu udah siap?”

“Tentu saja aku siap,” jawab Reyhan mantap.

“Bagus,” kata Nadia sambil tersenyum lebar. Ia mengangkat satu tangan penuh semangat, matanya berbinar. “Panggil Arman sama Nino. Kita berangkat sekarang juga!”

***

Arman, Nino, Reyhan, dan Nadia akhirnya bertemu di dermaga kecil di pinggiran kota. Nino membawa drone dan peta digital, Arman membawa logistik seadanya, sementara Nadia tampak paling siap dengan kamera dan buku catatan.

“yakin kita lanjutin perjalanan aku takut soalnya,” gumam Nino, gugup.

“Kita udah terlalu jauh buat mundur,” kata Nadia sambil menaiki kapal nelayan sewaan kecil yang dikemudikan oleh Pak Saiful nelayan tua yang tampaknya tahu lebih banyak dari yang ia mau katakan.

Selama perjalanan, awan menggulung tebal. Pulau itu tidak tercantum di GPS. Namun sekitar pukul tiga sore, bentuk daratan muncul dari balik kabut. Kecil, liar, dan sunyi.

“Selamat datang… di Pulau Tanpa Nama,” gumam Pak Saiful dengan suara berat. “Aku tunggu kalian sampai matahari turun. Lewat dari itu, aku gak akan kembali.”

Mereka saling menatap, dan turun ke pantai.

Pulau itu asing. Seolah tak pernah disentuh manusia. Pepohonan tumbuh rapat, angin berhembus dingin, dan tidak ada suara burung.

Di tengah pulau, mereka menemukan bekas bangunan tua atau reruntuhan batu seperti kuil kuno yang ditutupi lumut dan akar.

Saat menjelajah, Rayhan terdiam. Ia melihat sesuatu…
Bayangan kecil. Anak-anak. Tertawa. Tenggelam.

Wajah adiknya.
Kilatan ingatan menyerang, membuat Rayhan jatuh terduduk.

“Rayhan?!” panggil Nadia cemas.

“Aku… aku melihatnya,” ucap Rayhan pelan. “Adikku. Dia disini…”

Nadia memegang pundaknya. “hah?,adikmu bukannya dia sudah–.”suara Nadia terhenti karena tatapan tajam dari reyhan

“Maaf maaf!.” perminta maafan Nadia salah berbicara

Sementara itu, Nino menerbangkan drone dan menemukan bahwa pulau ini berbentuk mata, dan titik pusatnya adalah lubang besar—seperti danau kecil yang gelap dan dalam.

Mereka menuju ke titik tengah pulau. Di sana, mereka menemukan danau bundar yang tenang… terlalu tenang.

Arman, tak sabaran, melempar batu ke air.

Danau itu… menyerap suara. Tak ada gema, tak ada cipratan.

“Reyhan, tolongin,” kata arman lirih. “ini seperti yg di film film, gimana kalo keluar monster dari sana, aku takut!.” gumam arman

Saat itu, Reyhan sedang melihat sesuatu di bawah permukaan air. Peta. Sama seperti di buku ensiklopedia. Tapi juga… ada nama adiknya tertulis samar di sudut peta itu. 

Reyhan memutar badan menghadap arman menjawab perkataannya”jangan takut nanti–”perkataannya terpotong

Tiba-tiba, tanah bergetar. Air di danau memutar. Suara-suara aneh terdengar dari balik pepohonan.

“Lari!” teriak Nadia.

Mereka berlari kembali ke pantai. Tapi arman tersandung dan kakinya terkilir. Nino kembali untuk menolongnya.

“CEPAT! KITA HAMPIR SAMPAI!” teriak Nadia.

Namun, saat mereka tiba… perahu sudah pergi. Pak Saiful tidak menunggu. Matahari hampir tenggelam.

“Kita terjebak,” kata Arman, panik.

Rayhan berdiri di depan mereka. Nafasnya tenang. “Tidak. Ini tugasku.”

“Apa maksudmu?” tanya Nadia.

Rayhan menunjukkan peta yang kini basah. “Pulau ini bukan sekadar pulau. Ini… semacam perantara. Dan adikku… masih di sini.”  kata reyhan sekaligus putar balik berlari pergi ke tengah pulau untuk menemukan adiknya

“REYHAN!! JANGAN PERGI ITU BERBAHAYA!!”teriak Nadia 

Rayhan berlari ke tengah pulau tidak menghiraukan teriakan nadia, kembali ke danau, seorang diri. Nadia mencoba mengejarnya, tapi Arman menahan.

Rayhan berdiri di tepi danau. “KEMBALIKAN ADIKKU!!”teriak reyhan ke arah danau sambil meneteskan air mata

Angin berdesir kencang. Air membentuk pusaran.

Tanpa berpikir panjang reyhanl  melompat ke dalam pusaran danau.

Danau itu menyala sebentar, lalu tenang kembali.

EPILOG

Tiga hari kemudian, tim penyelamat menemukan Arman, Nino, dan Nadia di pantai pulau itu. Pingsan tapi selamat.

Namun Rayhan… menghilang. Tak ada jejak, tak ada tubuh, tak ada nama di catatan pencarian.

Satu hal yang tersisa hanyalah peta tua yang kini kosong…
Pulau itu tak ada lagi.

Di perpustakaan sekolah, buku ensiklopedia Belanda itu kembali ke rak, tertutup debu. Halaman peta sudah hilang.

Dan sesekali… di malam hujan… terdengar suara langkah ringan di lorong perpustakaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *