Oleh: Khairul Walidin
Aku memulai perjalanan ini sendirian. Tiket keberangkatan ke Turki di tanganku terasa ringan, tapi niat di hatiku lebih berat dari sekadar wisata. Ini bukan tentang liburan, bukan tentang foto-foto cantik atau menikmati kuliner khas Istanbul. Ini adalah perjalanan jiwa—ziarah panjang mencari makna, menggali warisan para raja dan kekasih Tuhan yang jejaknya masih berdenyut di bumi Utsmani.
Tak pernah kusangka, langkah yang kutapaki sendiri ini justru dipenuhi oleh kehadiran orang-orang baik. Di tanah asing, aku tak merasa asing. Allah mendatangkan teman-teman seperjalanan dari arah yang tak pernah kuperkirakan. Mereka menemaniku bukan sekadar menemani, tapi menuntunku—menguatkanku dalam tiap tapak langkah yang penuh makna.
Dan di sanalah aku, menelusuri makam-makam para tokoh besar yang dulu hanya kubaca dalam kitab sejarah.
Pertama, aku berdiri di depan makam Osman Ghazi (berkuasa 1299–1326), pendiri Dinasti Utsmani. Dialah sang pemersatu suku-suku Turk, lelaki yang memimpikan lahirnya kekhalifahan baru. Jasadnya terbaring dalam keheningan, tapi semangatnya masih menyala di dada siapa saja yang datang dengan niat mencari hikmah.
Orhan Ghazi (1326–1362), putranya, yang melanjutkan kejayaan itu, juga aku kunjungi. Lalu langkahku sampai pada Sultan Mehmed II Al-Fatih (1451–1481), sang Penakluk Konstantinopel. Makamnya di area Masjid Fatih dipenuhi peziarah, seolah-olah sejarah masih hidup di sana. Di dekat pusaranya, aku menggigil, bukan karena angin Istanbul, tapi karena dahsyatnya perjuangan dan keberaniannya yang tak pernah layu oleh zaman.
Tak kalah agung, Suleiman al-Qanuni (1520–1566), sultan yang dikenal di Barat sebagai Suleiman the Magnificent, bersemayam di kompleks masjid Süleymaniye yang megah. Di sinilah kulihat, bagaimana Turki merawat warisannya. Batu-batu nisan tidak sekadar batu. Ia adalah saksi sejarah. Ia bicara pada mereka yang mau mendengarkan.
Lalu aku menapaki jejak Sultan Abdul Hamid II (1876–1909), raja terakhir yang benar-benar mempertahankan izzah Islam dalam gempuran dunia modern. Makamnya tak semegah yang lain, tapi ada wibawa dalam kesederhanaannya.
Aku juga mengunjungi Bayezid II (1481–1512), Selim II (1566–1574), dan raja-raja Utsmani lainnya. Masing-masing mereka bukan hanya penguasa, tapi penopang peradaban. Menelusuri makam-makam ini bukan seperti menatap kematian, justru sebaliknya—ini tentang menyaksikan hidup yang pernah sangat berarti.
Namun ziarahku tak berhenti di para umara. Aku juga menelusuri makam para ulama dan auliya—orang-orang pilihan Allah.
Makam Syekh Edebali, guru spiritual Osman Ghazi, menjadi titik awal dari napas spiritual dinasti Utsmani. Lalu kulanjutkan ke Maulana Jalaluddin Rumi di Konya, penyair sufi yang kata-katanya masih menembus hati manusia zaman ini. Di sisi pusaranya, aku seakan diajak berdansa dalam tarian semesta, mendengar puisi yang tak tertulis tapi terasa.
Di Eskisyehir, aku menyempatkan diri ziarah ke makam Nashruddin Hoja, sang filsuf jenaka yang mengajarkan hikmah lewat tawa. Kemudian ke Zakariya al-Anshari, seorang ulama besar yang membawa sinar ilmu dari generasi ke generasi. Dan tak lupa Syekh Husain al-‘Unsi, pemimpin tarekat yang suluknya memancar dari kuburnya hingga menyentuh relung hati para peziarah.
Setiap makam yang kudatangi, setiap batu nisan yang kusentuh, adalah bagian dari puzzle sejarah dan spiritualitas Islam yang agung. Tak kusangka, makam-makam ini masih sangat terjaga. Bersih, wangi. Dipelihara dengan cinta. Seolah-olah masyarakat Turki tak pernah mengizinkan sejarahnya menjadi debu.
Dan benar saja, benteng-benteng, istana, dan madrasah di sekitarnya masih berdiri kokoh. Saat aku menjejakkan kaki di Topkapi Palace atau Yıldız Sarayı, terasa seperti berada di abad ke-16. Kain sejarah membalutku, dan aku tak ingin keluar darinya.
Perjalanan ini mengajarkanku banyak hal. Bahwa mengembara bukan sekadar berpindah tempat, tapi memperluas cakrawala dan memperdalam rasa syukur. Ada pepatah bijak berkata:
“Jangan hanya membaca satu halaman dunia. Mengembaralah, karena di perjalanan itulah Allah memperluas jiwamu.”
Aku akhirnya percaya, niat yang tulus karena Allah tidak pernah sia-sia. Bahkan ketika kau berjalan sendiri, jika hatimu lurus, Allah akan mengirimkan penolong dari arah yang tak kau sangka.
Dalam hening malam Istanbul, kutuliskan ini untukmu yang sedang ragu melangkah:
“Keluar dari zona nyaman bukan berarti mengejar dunia, tapi memperkaya makna. Dunia ini luas, dan Allah menebar hikmah di tiap sudutnya. Jangan batasi hidup hanya karena takut berjalan sendirian.”
Ziarah ini bukan akhir, tapi awal. Aku kembali bukan sebagai orang yang sama ketika berangkat. Ada yang berubah—cara pandang, rasa syukur, dan keimanan yang lebih dalam. Dan aku ingin kamu juga mengalami hal ini.
Pergilah. Jelajahi dunia. Temui sejarah, temui Tuhan di setiap langkahmu. Karena dunia ini terlalu luas untuk ditatap dari jendela kamar.[]
semangatt brother
Sehat slalu bro