Yang Datang Tak Pada Waktunya; Refleksi Puisi “Hujan Bulan Juni” oleh Sapardi Djoko Damono

“Pernahkah anda merasa datang terlalu terlambat… atau justru terlalu cepat?”
Datang dengan niat baik, tapi dunia belum siap menerima. Datang menawarkan bantuan, tapi orang lain menolak karena gengsi. Datang membawa cinta, tapi dia sudah memilih yang lain. Sakit? Iya. Tapi barangkali, seperti hujan di bulan Juni — anda tidak salah datang, hanya belum saatnya dimengerti.

Saya teringat satu puisi pendek karya Sapardi Djoko Damono, yang hingga kini rasanya masih basah di hati banyak orang:

“Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu…”

Puisi ini tidak bicara soal cuaca. Ia bicara tentang kesetiaan yang tidak dihargai, cinta yang tak sempat diungkap, dan kebaikan yang tak pernah diakui. Ia bicara tentang kita — saya dan anda — yang kadang datang membawa air, saat orang lain ingin api.

Bayangkan seorang ayah. Ia bekerja diam-diam, tanpa pernah menceritakan lelahnya. Ia menabung bukan untuk liburannya, tapi untuk biaya sekolah anaknya nanti. Saat si anak bertumbuh dan lupa mengucapkan “terima kasih”, sang ayah tetap bekerja, tetap pulang membawa beras.

Apakah itu sia-sia? Tidak. Tapi ia adalah hujan bulan Juni: memberi, meski tak selalu dihargai. Datang, meski tidak dinanti. Tetap ada, meski tak disebut dalam doa.

Apa yang dilakukan hujan di bulan Juni — menurut Sapardi — adalah lambang ketabahan. Dan Islam menempatkan ketabahan di posisi yang sangat tinggi. Allah berfirman:

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
(QS. Az-Zumar: 10)

Perhatikan: “tanpa batas.” Itu janji, bukan sekadar hiburan. Allah tidak pernah menyia-nyiakan langkah anda yang diam-diam, peluh anda yang tak diketahui siapa pun, atau cita anda yang belum sempat diraih.

Jika anda pernah merasa “datang tak pada waktunya,” ketahuilah: bukan waktunya yang salah. Bisa jadi, anda ditugaskan untuk hadir, bukan untuk berhasil. Untuk memberi, bukan untuk menerima. Untuk menyiram tanah, walau bukan anda yang menanam atau memetik buahnya.

Mungkin kebaikan anda adalah awal dari berkah orang lain. Dan seperti hujan yang diam-diam menghidupkan akar, kebaikan anda menumbuhkan sesuatu… meski anda tak akan pernah melihat bunganya.

Sapardi menulis puisi ini dengan tenang, tanpa dendam, tanpa pamer. Begitu juga seharusnya kita: menabur kebaikan tanpa berharap tepuk tangan. Sebab seperti kata Nabi Muhammad ﷺ:

“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang jika melakukan sesuatu, ia melakukannya dengan ihsan (sebaik-baiknya).”
(HR. Thabrani)

Hujan bulan Juni tidak menuntut musim, tidak minta perhatian. Ia hanya turun. Ia hanya ingin menyuburkan.

Maka, jika hari ini anda merasa seperti hujan di bulan Juni — saya ingin berkata: Teruslah baik, meski tak dihargai. Karena Allah tahu. Dan itu lebih dari cukup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *