Bisikan Sejarah di Gedung Stovia

Oleh: Muhammad Nizarullah

Pagi yang redup di Batavia, 20 Mei 1908. Kala fajar masih muda, kabut baru saja, sementara sekelompok pemuda berwajah tegang namun penuh tekad berkumpul di sebuah ruangan sederhana. Mereka adalah para mahasiswa STOVIA—School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, sekolah kedokteran bagi pribumi—yang dipimpin oleh seorang pemuda bernama Soetomo. Hari itu, tanpa mereka sadari, mereka akan mengukir sejarah yang kelak dikenang sebagai titik balik perjuangan bangsa.

Di tengah udara yang pengap oleh keringat dan harapan, terdengar suara lantang memecah keheningan. Soetomo, dengan mata berbinar dan suara memekik lantang oleh semangat, mendeklarasikan berdirinya sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo. Nama yang kelak menjelma menjadi simbol kebangkitan sebuah bangsa yang terlelap dalam mimpi panjang penjajahan.

“Kita bukan lagi sekadar pribumi yang patuh. Kita adalah bangsa yang memiliki martabat, yang berhak atas pendidikan dan kemajuan,” kata-kata itu bergema, meresap ke dalam sanubari setiap orang yang hadir. Tidak ada yang menduga bahwa momen sederhana ini akan menjadi tonggak sejarah yang mengubah arah perjalanan sebuah bangsa.

Boedi Oetomo, yang berarti “usaha mulia” atau “pikiran yang luhur”, lahir dari kegelisahan sekelompok mahasiswa yang menyaksikan langsung penderitaan rakyat akibat kebijakan kolonial. Mereka adalah generasi pertama pribumi yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, sebuah privilage langka di tengah lautan kebodohan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah kolonial. Kemerdekaan sudah lama bersemayam jauh dalam pikiran mereka yang sudah terdidik. Hari ini adalah waktunya mendeklarasikan semangat berorganisasi dan menciptakan gerakan akar rumput.

Dr. Wahidin Soedirohoesodo, dokter Jawa berusia paruh baya dengan kacamata bulat yang selalu melorot di hidungnya, adalah sosok yang menginspirasi gerakan ini. Berbulan-bulan sebelumnya, ia telah berkeliling Jawa, dari satu kota ke kota lain, dari satu pendopo ke pendopo lain, membawa satu pesan sederhana namun revolusioner: pendidikan adalah kunci pembebasan. Dengan sepeda tua dan tas kulit yang bertengger di sepeda bagian belakang, berisi brosur-brosur usang, ia mengetuk pintu-pintu kesadaran para priyayi tentang pentingnya mendirikan dana beasiswa bagi anak-anak pribumi.

“Kita tidak akan pernah merdeka jika pikiran kita masih terjajah,” ujarnya suatu malam kepada Soetomo yang masih muda dan penuh gairah. Kata-kata itu menancap dalam di hati sang mahasiswa kedokteran, membakar semangat yang kemudian menyulut api revolusi pendidikan. Dengan langkah yang tegas dan cerdas, kesempatan itu tak ia biarkan berceceran, kongres harus segera diadakan.

Kongres pertama Boedi Oetomo digelar selama 3 hari, tanggal 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta, kota yang kental dengan aroma budaya Jawa dan tradisi keraton. Di sinilah para pendiri organisasi ini menegaskan tujuan mereka: mengangkat martabat bangsa melalui pendidikan dan kebudayaan. Raden Adipati Tirtokoesoemo terpilih sebagai ketua, dengan Dr. Cipto Mangunkusumo sebagai wakilnya—dua nama yang mewakili perpaduan antara kaum priyayi tradisional dan kaum intelektual progresif.

Meskipun pada awalnya Boedi Oetomo lebih berfokus pada masyarakat Jawa dan masih memilih jalur moderat dalam berhubungan dengan pemerintah kolonial, kehadirannya telah membuka katup yang selama ini tersumbat. Air yang semula hanya menetes kini mulai mengalir, lambat namun pasti, mengikis, mengais tembok-tembok kolonialisme yang selama berabad-abad berdiri kokoh.

“Mereka mungkin memulai dengan langkah kecil, tetapi langkah pertama itulah yang paling berani,” tutur Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan yang kelak mengusulkan penetapan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional kepada Presiden Soekarno pada tahun 1948. Saat itu, Indonesia sedang berada di tengah kancah revolusi mempertahankan kemerdekaan. Di sebuah ruangan di Istana Kepresidenan Yogyakarta yang sarat dengan aroma kayu jati dan kenangan perjuangan, Soekarno mengangguk setuju. Baginya, tanggal itu mewakili momen kebangkitan kesadaran kolektif bangsa Indonesia, momen ketika pribumi mulai berani mengangkat wajah dan menatap penjajah dengan mata yang setara. Tanpa persembahan, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

Empat dekade telah berlalu sejak berdirinya Boedi Oetomo hingga penetapan Hari Kebangkitan Nasional. Dalam rentang waktu itu, Indonesia telah mengalami metamorfosis luar biasa—dari sekumpulan suku dan pulau yang tercerai-berai menjadi sebuah bangsa yang bersatu dalam semangat nasionalisme. Sumpah Pemuda pada 1928 menjadi manifestasi nyata dari semangat itu, ketika para pemuda dari berbagai daerah bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia.

Hari ini, lebih dari seabad setelah deklarasi bersejarah di gedung STOVIA itu, kita bertanya: masih relevankah semangat Kebangkitan Nasional di era digital dan globalisasi? Di tengah lalu lintas informasi yang begitu cepat dan batas-batas negara yang semakin kabur, apakah kita masih membutuhkan semangat nasionalisme?

Lihatlah keseharian kita, itulah jawabannya. Sebuah kisah dari sekolah pedalaman Aceh Timur, seorang guru paruh baya bernama ibu Husnul mengajar sejarah di sebuah sekolah pinggiran. Matanya berbinar saat menceritakan kisah Boedi Oetomo kepada murid-muridnya. “Mereka berjuang agar kalian bisa duduk di bangku sekolah hari ini,” katanya dengan suara bergetar. Di sudut kelas, seorang siswa yang semula mengantuk perlahan menegakkan punggungnya, tersentuh oleh cerita perjuangan yang terasa dekat namun sekaligus begitu jauh.

Di sebuah desa terpencil di Kalimantan, dokter Fajar menjalankan praktik di tengah keterbatasan fasilitas. Ia teringat Dr. Wahidin dan semangat pengabdiannya. “Pendidikan dan kesehatan adalah dua sisi mata uang pembangunan,” gumamnya sembari memeriksa seorang anak dengan demam tinggi. Ia tahu bahwa meskipun Indonesia telah merdeka selama hampir satu abad, perjuangan untuk kesejahteraan rakyat masih panjang.

Sementara di sebuah startup teknologi di Bandung, sekelompok anak muda bekerja hingga larut malam, mengembangkan aplikasi yang memudahkan petani mendistribusikan hasil panennya. “Ini adalah Boedi Oetomo versi digital,” canda salah satu dari mereka, meskipun di balik candaan itu tersimpan kesadaran mendalam tentang esensi perjuangan: mengangkat derajat bangsa melalui inovasi dan teknologi.

Kini, Hari Kebangkitan Nasional adalah api yang terus menyala dalam dada setiap insan yang mencintai Indonesia, api yang kadang meredup namun tak pernah padam sepenuhnya. Di tengah tantangan global yang semakin kompleks—perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, krisis identitas—semangat Kebangkitan Nasional mengingatkan kita bahwa perjuangan tidak pernah usai.

Seperti para pendiri Boedi Oetomo yang berani bermimpi tentang masa depan yang lebih baik di tengah keputusasaan kolonialisme, kita pun diajak untuk terus bermimpi dan berjuang. Untuk melihat melampaui horizon kesulitan hari ini dan menciptakan Indonesia yang lebih adil, lebih makmur, dan lebih bermartabat.

Jika Soetomo dan kawan-kawannya masih hidup hari ini, mungkin mereka akan tersenyum melihat bangsa yang telah mereka bantu lahirkan. Sebuah bangsa yang masih mencari jati dirinya, yang kadang tersandung oleh perpecahan dan korupsi, namun tetap tegak berdiri dengan kepala tegak. Sebuah bangsa yang, meskipun dengan langkah tertatih, terus bergerak maju menuju cita-cita para pendiri: Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur, meskipun banyak kerikil yang harus dilalui.

Di sudut ruang kelas itu, di klinik desa yang pengap itu, di ruang kerja startup yang penuh gairah itu—di sanalah semangat Kebangkitan Nasional terus hidup dan bernapas. Bukan dalam pidato-pidato seremonial atau upacara bendera, melainkan dalam keseharian orang-orang biasa yang memilih untuk percaya dan berjuang demi Indonesia yang lebih baik.

Matahari mulai nampak senja di ufuk barat Aceh, meninggalkan semburat merah di langit yang perlahan menghitam. Di kejauhan, anak-anak di Dayah itu baru saja usai sekolah sore dengan pakaian shalatnya, lengkap terlilit sarung di pinggangnya dan berkopiah, membawa buku-buku pelajaran, menenteng ilmu yang baru saja dilahapnya. Langkahnya ringan, sesekali berlari kecil menuju masjid Dayah, matanya berbinar oleh harapan. Dalam dirinya, semangat Kebangkitan Nasional terus menyala, menerangi jalan menuju masa depan yang lebih cerah, menunggu mimpi-mimpinya akan menjadi kenyataan di masa mendatang kelak, menggapai visi “The Feature Leader.”[]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *