Oleh: Muhammad Farhan Fadhillah
Zulfikar menatap kosong ke arah jalan raya dari warung kopi Solong, tempat favoritnya di Ulee Kareng. Kopi Aceh yang biasanya terasa nikmat kini terasa pahit di lidahnya. Sudah tiga hari sejak keluarga Cut Putri menolak lamarannya dengan alasan yang membuatnya terpukul.
“Belum mapan,” kata ayah Cut Putri waktu itu. “Gaji guru honorer tidak cukup untuk menghidupi keluarga.”
“Fik, kopi kamu sudah dingin,” tegur Mahmud, sahabatnya sejak SMA yang kebetulan lewat dan ikut duduk.
“Biarkan saja, Mud. Seperti hidupku, dingin dan pahit,” jawab Zulfikar dramatis.
Mahmud memutar bola mata. “Mulai lagi deh. Sudah tiga hari kamu begini terus. Mau sampai kapan?”
“Kamu tidak mengerti, Mud. Aku sudah pacaran dengan Cut Putri empat tahun. Empat tahun! Sekarang ditolak hanya karena aku guru honorer.”
“Terus rencanamu apa sekarang?”
Zulfikar menghela napas panjang. “Pilihan pertama, aku resign dari sekolah, cari kerja di perusahaan yang gajinya lebih besar. Pilihan kedua, lupakan saja Cut Putri, cari yang lain yang bisa menerima keadaanku.”
“Cuma itu pilihannya?”
“Memangnya ada pilihan lain? Keluarganya sudah jelas menolak.”
Saat itu, Teungku Ibrahim, guru ngaji mereka dulu, masuk ke warung kopi. Melihat Zulfikar, beliau langsung menghampiri.
“Assalamualaikum. Wajahmu kusut sekali, Fik. Ada masalah?”
Mahmud yang menjawab, “Lamarannya ditolak, Teungku. Alasannya karena masih guru honorer.”
Teungku Ibrahim duduk bergabung dengan mereka. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sabar ya, Fik.”
“Susah sabar, Teungku. Saya sudah berusaha keras. Mengajar dengan ikhlas, bahkan sering pakai uang sendiri untuk beli alat peraga. Tapi tetap saja dianggap tidak mapan.”
“Fik, kamu ingat kisah Abdurrahman bin Auf?”
Zulfikar mengangguk lemah. “Sahabat Nabi yang kaya raya itu?”
“Iya. Tapi tahukah kamu, beliau pernah ditolak melamar seorang wanita Anshar karena dianggap terlalu miskin sebagai muhajirin?”
“Lalu?”
“Beliau tidak menyerah atau mengubah dirinya hanya untuk memenuhi standar orang lain. Beliau mengambil pilihan ketiga: membuktikan bahwa kemiskinan bukan penghalang untuk menjadi suami yang baik. Beliau berdagang dengan modal sangat kecil, tapi dengan kejujuran dan kerja keras.”
“Tapi Teungku, zaman sekarang berbeda…”
“Prinsipnya sama, Fik,” potong Teungku Ibrahim. “Masalahmu bukan karena kamu guru honorer. Masalahnya adalah bagaimana kamu memandang profesimu sendiri.”
“Maksud Teungku?”
“Kamu bilang tadi mau resign, cari kerja lain yang gajinya lebih besar. Itu artinya kamu sendiri memandang rendah profesimu sebagai guru. Bagaimana orang lain bisa menghargai jika kamu sendiri tidak?”
Zulfikar terdiam. Kata-kata Teungku Ibrahim menohok.
“Dengar, Fik. Ada pilihan ketiga: tetap jadi guru, tapi upgrade dirimu. Bukan untuk Cut Putri atau keluarganya, tapi untuk murid-muridmu dan masa depan pendidikan Aceh.”
“Caranya bagaimana, Teungku?”
“Banyak cara. Ikut sertifikasi guru, buat penelitian tindakan kelas yang bagus, atau kembangkan metode pembelajaran inovatif. Kamu bisa juga menulis buku atau membuat konten edukatif di media sosial. Guru zaman now tidak harus miskin.”
Mahmud menambahkan, “Benar kata Teungku. Lihat Pak Anwar, guru Fisika kita dulu. Sekarang beliau jadi pembicara di mana-mana, honornya sekali ngomong bisa jutaan.”
“Atau,” Teungku Ibrahim melanjutkan, “kamu bisa mulai les privat atau bimbel kecil-kecilan. Yang penting, tunjukkan bahwa guru honorer bukan berarti tidak punya masa depan.”
“Tapi Cut Putri…”
“Kalau memang jodoh, tidak akan ke mana, Fik. Tapi yang lebih penting, kamu harus membuktikan pada dirimu sendiri bahwa penolakan ini bukan akhir, tapi awal dari transformasi.”
Zulfikar merenungkan dalam-dalam. “Jadi maksud Teungku, saya gunakan penolakan ini sebagai motivasi?”
“Tepat. Dalam Al-Quran disebutkan, ‘Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu.’ Mungkin Allah punya rencana lebih besar untukmu.”
Malam itu, Zulfikar pulang dengan perspektif baru. Dia membuka laptopnya dan mulai menulis proposal untuk program “Guru Kreatif Aceh” yang akan dia ajukan ke Dinas Pendidikan. Dia juga mulai merancang channel YouTube untuk berbagi metode mengajar inovatif.
***
Dua tahun kemudian, Zulfikar berdiri di atas panggung Anugerah Guru Inspiratif tingkat nasional. Program “Guru Kreatif Aceh” yang dia inisiasi telah membantu ratusan guru honorer meningkatkan kompetensi dan pendapatan mereka.
Di antara hadirin, dia melihat Cut Putri bersama suaminya. Zulfikar tersenyum tulus. Ternyata benar, dia memang bukan jodohnya. Tapi penolakan itu telah membawanya pada jodoh yang lebih baik – seorang sesama guru yang mendukung visi mulianya.
“Penolakan lamaran dua tahun lalu adalah minhah terindah dalam hidup saya,” ujar Zulfikar dalam pidatonya. “Karena memaksa saya melihat bahwa nilai seseorang bukan dari gajinya, tapi dari dampak yang dia berikan untuk sesama.”
Mahmud, yang kini menjadi manajer program di yayasan pendidikan Zulfikar, bertepuk tangan paling keras. Temannya telah membuktikan bahwa ada pilihan ketiga: bukan mengubah profesi atau menyerah pada cinta, tapi mengubah paradigma tentang apa artinya menjadi guru di era modern.
***
“Seperti emas yang dimurnikan dengan api, penolakan adalah proses Allah untuk mengeluarkan versi terbaik dari dirimu.”[]
