Pembelajaran Daring di Pesantren: Antara Efisiensi dan Kehilangan Barakah

Oleh: Mishbahul Munir, S.Hum., M.Pd.

Saat pandemi Covid-19, banyak khalayak mulai beralih ke penggunaan teknologi untuk bekerja sebagai solusi dari pemberlakuan lockdown. Dunia pendidikan juga turut mengadopsi teknologi ini dalam pembelajaran. Sehingga guru dan murid dapat bertatap muka tanpa batas jarak dan ruang. Tak bisa dipungkiri, sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren juga turut mengadopsi sistem ini untuk proses pembelajaran daring.

Namun, pasca pandemi berlalu masyarakat sudah terbiasa dan nyaman dengan aktivitas daring. Beberapa lembaga pendidikan merasa bahwa pembelajaran daring adalah solusi terkini yang dapat mempermudah dan menjadi lebih efisien. Pesantren juga mulai mengadopsi pembelajaran daring ini, tetapi banyak kiai menolak karena dianggap mengurangi barakah (keberkahan ilmu).

Pembelajaran daring dianggap dapat memberi efisiensi. Penggunaan teknologi digital di Madrasah dan Pesantren memiliki potensi besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan memanfaatkan platform digital seperti Learning Management System (LMS), aplikasi pembelajaran mobile, dan perpustakaan digital, proses pembelajaran menjadi lebih fleksibel, interaktif, dan dapat diakses kapan saja dan di mana saja. Keadaan Ini memberi kesempatan bagi murid untuk belajar secara mandiri, memperdalam materi, dan mengakses sumber daya pendidikan tanpa batasan waktu dan tempat, sehingga dapat memperkaya pengalaman belajar mereka

Di sisi lain, pembelajaran di pesantren sejatinya menjunjung tinggi interaksi antara murid dan guru dalam menuntut ilmu sebagai sarana memperoleh barakah. menuntut ilmu bukan sekadar hanya untuk proses transfer informasi, tetapi proses untuk meneladani guru. Sejenak kita perlu mengingat kembali esensi berguru dari Ayat Al-Quran surah An-Nahl ayat 43; “فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ”. Ayat ini menjelas untuk bertanya langsung kepada orang yang paham akan sesuatu yang tidak ia pahami.

Pembelajaran daring dianggap mengurangi esensi ini karena memisahkan murid dari “ruh” pengajar. Ilmu agama harus ditransfer melalui suhbah (interaksi langsung) dengan guru, sebagaimana tertulis dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Az-Zarnuji. Bukan dengan virtualisasi yang berisiko akan melahirkan ulama Google.

Untuk menengahi kedua perselisihan ini, kami menawarkan solusi yang dapat menjembataninya. Pertama, pembelajaran daring hanyan bisa diterapkan untuk mempelajari materi umum, sementara tafsir dan tasawuf tetap diajarkan secara tatap muka. Kedua, menganjurkan model pembelajaran hybrid, yaitu menggabungkan kedua model tersebut. Misalnya ada pesantren modern yang menggabungkan video kajian dengan diskusi terbatas bersama kiai. Pendekatan ini merujuk pada konsep “المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح” (mempertahankan tradisi baik dan mengambil inovasi lebih baik).

Pertentangan antara efisiensi dan barakah dalam pembelajaran daring di pesantren mencerminkan dialektika Islam antara tradisi (turats) dan modernitas (hadatsah). Solusinya adalah terletak pada integrasi teknologi yang tidak mengabaikan etika transmisi ilmu klasik.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *