Oleh: Muhammad Nizarullah
Di singgasana tinggi berukir gading
Bersemayam sosok bermahkota kelam
Bibirnya melantunkan janji-janji manis
Namun tangannya mencengkeram erat
Tali kendali yang hanya menjangkau
Mereka yang jubahnya dihias emas.
Sementara di bawah, para jelata merintih
Terperangkap labirin birokrasi tanpa akhir
Ketika mereka mengetuk pintu keadilan
Yang terbuka hanyalah jendela penolakan
Bukankah seharusnya timbangan itu seimbang?
Ataukah beratnya diatur oleh jari-jari berkuasa?
Ia mengecam kesalahan sekecil debu
Dari mereka yang tak punya tameng kedudukan
Namun ketika langkahnya sendiri tergelincir
Ia mengenakan jubah kekebalan yang tebal
Berkilah dengan mantra “pengalaman berharga”
Menjadikan masa lalu sebagai perisai masa kini.
Tidakkah engkau lihat ironi yang menari?
Di panggung kehidupan yang engkau kendalikan
Di mana hukum adalah lagu yang nadanya
Dapat diubah sesuai selera penyanyi utama
Sementara penonton hanya boleh bertepuk tangan
Atau terancam diusir dari teater keadilan.
Wahai pemegang tampuk kewenangan
Yang menimbun privilage di gudang pribadi
Apakah engkau lupa kisah-kisah kuno?
Tentang kerajaan yang runtuh dari dalam
Ketika pemimpinnya lupa bahwa tahta
Hanyalah kursi pinjaman dari rakyat jelata.
Sejarah mengamati dengan mata tak berkedip
Mencatat setiap keputusan dalam tinta abadi
Tak ada yang lolos dari pengadilannya
Yang tak mengenal suap atau intimidasi
Ketika waktunya tiba, semua topeng terlepas
Dan kebenaran berdiri telanjang, tak tersembunyi.
Bukankah firman Tuhan sudah terpatri?
Dalam Q.S. al-Isra’ ayat 81 terlukis jelas
Kebatilan takkan bertahan abadi
Kebenaran bagai duri yang menyelinap
Merasuk sakit tertancap halus menjelma bulu
Kebobrokan pasti tersingkir walau mustahil
Lihatlah ke bawah dari menaramu yang tinggi
Dengarkan bisikan angin membawa keluh kesah
Dari mereka yang punggungnya kau jadikan tangga
Untuk menaiki tahta kemuliaan sementara
Bukankah kebesaran sesungguhnya terletak
Pada kemampuan membungkuk dan merangkul semua?
Bila keadilan hanya sepercik air di gurun
Yang hanya membasahi tenggorokan kaum berada
Maka kemarau panjang akan menghampiri
Dan revolusi akan tumbuh dari benih kekecewaan
Yang kau tanam sendiri di ladang ketidakpedulian
Yang kau sirami dengan air mata kaum tertindas.
Wahai sang pemimpin dalam kuil kemewahan
Ingatlah, bahkan piramida yang megah pun
Suatu saat akan terkikis oleh pasir waktu
Dan nama-nama firaun yang angkuh
Hanya akan menjadi pelajaran dalam buku
Tentang kesombongan yang mendahului kejatuhan.
Pada akhirnya, semesta memiliki hukumnya sendiri
Yang tak dapat disuap atau dimanipulasi
Setiap ketidakadilan akan menemui balasannya
Dalam siklus keseimbangan yang tak terelakkan
Dan mereka yang kini duduk di kursi kehormatan
Mungkin besok berlutut di pengadilan keabadian.
Jeumala Amal, 1 Mei 2025