Sebuah puisi Oleh Thasoedi (Guru MTs)
Andai kata langit tak pernah menitipkan rindu pada tinta,
apakah huruf-huruf akan menguap seperti embun di gurun?
Ataukah mereka diam, membatu,
seperti nisan-nisan yang lupa doa?
Kita mungkin hanya deret angka,
terhitung tanpa makna,
berjalan di lorong waktu tanpa puisi—
tanpa metafora yang merangkul jatuh.
Di mana suara penyair jika kata tak pernah lahir?
Mungkin mereka hanya angin yang tersesat di antara gigi batu,
berbisik pada labirin yang tak punya jalan keluar.
Atau seperti burung yang tak tahu nyanyiannya sendiri,
hinggap di dahan, tapi tak punya nama.
Bayangkan: sejarah tanpa syair,
seperti sungai tanpa air—
alirannya hanya jejak-jejak yang mengering.
Manusia menulis dengan debu,
lalu debu itu pun hilang diterjang napas waktu.
Kita bisa jadi bangsa yang buta huruf,
tapi lebih parah: buta rasa.
Tanpa puisi,
apakah cinta masih punya sayap?
Ataukah ia hanya bayangan yang terperangkap di balik kelopak mata?
Tapi puisi ada.
Ia merayap dari mulut ke mulut,
seperti api kecil yang tak mau padam.
Ia bertahan di sela-sela lupa,
di sudut-sudut yang dianggap remeh.
Maka, jika suatu hari nanti,
kita bertanya:
“Bagaimana kalau puisi tidak pernah ditemukan manusia?”
Mungkin jawabnya:
“Kita tak akan pernah tahu, karena kita sudah mati sebelum sempat bertanya.”
LUENG PUTU, DJA, 2025.