DETAK YANG TAK MERDEKA

Oleh: M. Hanafiah, S.Pd (Guru MAS Jeumala Amal)

Panasnya bumi semakin hari semakin terasa. Ada yang bilang ini efek pemanasan global. Padahal, di sini pohon-pohon tumbuh rimbun setia membendung bumi dari teror cahaya mentari. Namun, masih saja kalah dengan massa suhu yang meninggi. Kicau burung semangat menyambut pagi pun kini mulai senyap, terganti oleh riuh suara deru mesin dan manusia dengan berbagai aktivitasnya. Di ujung jalan, terlihat penjaja ikan diserbu ibu-ibu rumahan. Berbelanja pada abang penjual keliling merupakan rutinitas sekarang yang paling menarik bagiku, selain praktis dan ekonomis juga menjadi ajang mengisi waktu sambil bersosialisasi dengan tetangga.

“Ada ikan apa aja, Dek?” Aku berdiri di antara deretan ibu-ibu yang sedang melihat isi keranjang ikan.

“Ada udang, mujair, tongkol, teri dan sikalang” jawabnya sambil sibuk menimbang ikan. Perlahan wajahnya menatap ke arahku. Sekonyong-konyong raut wajah itu langsung terhenyak.

Dup! Jantungku berdetak lebih kencang. Nadiku berdenyut tidak seperti sebelumnya. Pemuda dengan hidung macung, alis tebal, dan geraham kokoh itu sangat familiar diingatanku.

“Ibu Nurul!?” Suaranya belum berubah, hanya badannya sedikit lebih kurus dan kulitnya terlihat lebih kusam.

“Kamu …, Ardi!”. Ingatan begitu cepat mendeteksi salah satu siswaku dulu. Bagaimana bisa aku lupa, sosok yang sering membuat nadiku berdesir tak beraturan, jantungku berdetak acak, ubun-ubun mendidih. Bahkan, seluruh tubuhku kadang gemetar menahan kesal, marah, kecewa, namun harus menyerah pasrah karena rasa takut pada hukum.

“Ya, Bu. Ibu apa kabar?”

“Ya, seperti kamu lihat. Alhamdulillah”. Jawabku ogah-ogahan.

“Ibu tinggal di sini?”

“Tuh, disitu?” Sambil menunjuk rumah berpagar hijau.

“Bukannya itu rumah Mbak Devi ya?” Rupanya dia kenal dengan anakku.

“Ini ibunya Devi. Udah tinggal di sini sejak merdeka dari mengajar”. Ibu Asti yang dari tadi sibuk memilih ikan ikut nimbrung.

“Maksud ibu?”

“Ibu udah pensiun. Sekarang tinggal di sini. Menimbang cucu?” Ujarku.

“Biasa ibu-ibu. Kalau sudah pensiun, cucu tempat penghibur diri di usia senja. Pengusir kesepian”. Bu Halimah yang juga pensiunan guru itu menimpali.

“Ya sih buk. Meski capek juga jaga cucu, tapi nggak seberat menjadi guru. Pastinya”. Ibu lain menimpali.

“Ia sih, Bu. Kadang jadi guru itu stres. Udah capek mendidik, tidak dihargai, malah terancam dipenjara lagi”. Sindirku.

Aku melirik ke arah Ardi. Mukanya memerah. Entah perasaan apa yang berkecamuk di dadanya. Bisa jadi sedang menahan marah atau merasa malu dengan masa lalunya.

“Maafkan saya bu! Meski tau salahku terlalu besar dan tak termaafkan, tapi saya benar-benar menyesal”. Ucapan itu terasa berat dan tulus. Terlihat dia menarik napas begitu dalam.

 “Sudah ibu maafkan. Memang nggak mudah. Meski tidak seperti Pak Harun yang sampai berurusan dengan polisi, tapi ya…” Aku berhenti sejenak sambil menarik napas.

***

Napas yang kuhela terasa hambar, tak mampu memenuhi rongga. Hanya cukup untuk menyambung kisah hidup yang terasa begitu sulit dan menghimpit. Ada banyak list pekerjaan harus segera kuselesaikan. Membuat perangkat pembelajaran, membuat rancangan model pembelajaran yang menyenangkan, membantu administrasi madrasah karena akreditasi diambang mata, juga harus siap membimbing siswa yang sebentar lagi akan mengikuti lomba Olimpiade Siswa Nasional dan Kompetensi Siswa Madrasah.

Mataku terus menatap kumpulan file yang belum sempat aku rapikan. Termasuk beberapa paket kumpulan soal olimpiade ekonomi beserta penyelesaiannya. Aku hanya memungut lembaran LKPD yang baru saja keluar dari printer.

“Maaf, Bu, jadi kita belajar di bank hari ini ?” Baru sadar Nayla sudah berdiri di depan mejaku.

“Insya Allah jadi. Ini ibu lagi mempersiapkan lembar kerja yang harus kalian isi nantinya”.

“Baik, Bu, terima kasih”. Gadis manis ketua kelas itu pamitan.

“Bu Dina ! Tolong, kalau Yura dan Hena datang suruh ambil paket soal di meja saya ya! Mereka latihan sendiri aja dulu, nanti saya kembali dari bank baru dibimbing lagi”. Aku berlalu tanpa menunggu jawaban dari Bu Dina, salah satu rekan kerja terbaik yang aku punya.

Baru saja aku keluar ruangan, terlihat empat siswa di lapangan voli yang asik memukul bola. Mereka teriak-teriak tak karuan. Tanpa rasa bersalah mereka terus memukul bola itu silih berganti.

“Nak, kalian pelajaran apa sekarang? Kenapa masih di luar?” Tanyaku

“Nggak ada buk”. Salah satu di antara mereka menjawab sekenanya.

“Gimana nggak ada? Masuk! Jangan main lagi, sekarang bukan jam olahraga”. Tegasku.

“Ya, Bu, saya dari tadi menunggu ibu masuk”. Celetuk yang paling tinggi di antara mereka seenaknya, lalu disambut tawa bernada ejekan yang lainnya.

Matahari memang masih condong di Timur, tapi hawa panasnya sudah mulai terasa menyengat raga. Terlebih mendengar nada sinis dari mereka. Rasa panasnya menembus hingga ke otakku.

“Kamu, cepat ikut ke gerbang bergabung dengan yang lain! Kalian, cepat ke kelas masing-masing!”. Kataku mulai meninggi sambil menunjuk masing-masing mereka.

Huf …, aku menarik nafas panjang. Terasa berat dan penuh beban. Entah bagaimana aku bertahan menghadapi mereka yang hampir tiap hari bertingkah tidak biasa. Seberat inikah beban yang harus ditanggung oleh guru? Apakah guru yang terlalu naif sehingga tidak mampu mendidik hal paling dasar sekalipun? Ataukah memang era sekarang akhlak terpuji siswa sangat langka? Boleh jadi hanya perasaanku yang terlalu sensitif atas semua sikap yang mereka tunjukkan! Entahlah.

Setelah singgah ke fotokopi, aku langsung bergegas menuju bank. Langkah kaki sedikit kupercepat. Tidak ingin siswa-siswiku kocar-kacir di jalan. Meski letak bank tidak jauh, namun harus melalui pasar. Sedikit lengah, mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak wajar. Sebenarnya belajar langsung ke bank adalah pilihan yang penuh kekhawatiran. Bagaimana kalau mereka berulah nanti di bank? Bagaimana aku sanggup mengontrol mereka dalam perjalanan? Bagaimana kalau mereka singgah di toko-toko. Kalau sekedar beli permen atau makanan ringan mungkin tidak masalah, tapi bagaimana kalau mereka membeli rokok?

Belum selesai otakku berpikir tentang hal buruk yang bisa mereka lakukan, dari jauh ku lihat Nayla dan Arum berlari menghampiri.

“Bu, itu Bu, orang itu …”?

“Ya, coba tenang dulu. Ada apa?”

“Aroel, Kaisar dan Ardi tadi masuk ke toko beli rokok. Mereka nongkrong di balik kios sana”.

“Astaghfirullah, dasar mereka”.

“Yok, kita cepat ke sana”.

Ya Rabb!,  seberat itu beban ku sebagai guru. Andai aku lahir di waktu yang berbeda, mungkin rasa ini tidak akan menjadi milikku, tapi aku tidak boleh menyerah. Bukankah Allah telah mengatakan “tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Langkahku terasa tidak menginjak tanah. Ingin segera kutemukan mereka dan merobek mulutnya. “Dasar anak-anak bengal”. Umpatku dalam hati

“Gimana, Bu? Kita langsung ke bank?” Ucap Aroel sambil memelintirkan rokoknya dan memasukkan ke saku baju tanpa rasa bersalah.

“Apa itu?” Cecarku

“O… ini, rokok doang. Habis ibu jalannya lambat sih. Bosan tunggu ibu di sini”. Kata Ardi santai

“Apa? Kalian …”. Ingin sekali mulut itu kusumbat pakai kayu supaya tidak semudah itu mengeluakan kata-kata. Kulihat sekeliling. Beberapa orang memperhatikan gelagat kami.

“Kalian nggak ada adap bicara dengan guru”. Nayla menyambung kata-kataku yang tersendat.

“Nayla cantik, kamu kalau marah tambah cantik lo”. Tawa mereka berbarengan sambil berlalu.

Aku hanya bisa mengurut dada. Tidak sepantasnya mereka memperlakukan aku begini. Tapi aku tidak punya pilihan selain bersabar. Kalau aku marah, pasti akan diviralkan dan semua akan meyalahkanku. Mereka tidak akan segan menganggapku guru yang tidak becus dan tidak berperi kemanusiaan.

“Baik, Bu! Apakah sudah bisa kita mulai?” Vany, salah satu pegawai bank menunjukkan keramahannya memulai pembicaraan.

“Baik, Mbak, silakan. Anak-anak coba diperhatikan apa yang dikatakan oleh Mbak Vany, ya! Jangan lupa setiap kelompok mengisi LKPD yang sudah ibu bagikan!” Jawabku.

Meski sedikit riuh, namun pemaparan materi awal berjalan baik. Canda dan tawa beberapa siswa memang membuat Vanny tidak nyaman. Aku menyadari hal tersebut mencoba mengendalikan suasana.

“Ardi, Kaisar, coba dengar dulu. Mbak Vany capek menjelaskan, kalian asik sendiri”.

“Nggak penting pun untuk kami dengar”.

“Ardi. Jaga mulut kamu”. Bentakku

“Mulut-mulut saya, kenapa ibu yang sewot?” Kata-kata nyelenehnya disambut dengan gelak tawa.

Pertahananku telah sampai di ubun-ubun. Emosiku meluap menembus dinginnya hawa AC ruangan aula perbankan ini. Tiba-tiba kaki tergerak menuju pojok ruangan. Sebuah sapu yang tersangkut rapi menjadi arah tujuku. Tanganku bergerak cepat meraihnya, lalu menuju arah suara sumbang tadi. Tatapan kami beradu, mataku memancarkan bara api amarah. Nafasku terus memburu, secepat kilat tanganku bergerak ke atas.

“Bu, Ibu. Jangan”. Ujar salah satu siswi yang khawatir melihat amarahku.

 “Jangan, Bu. Biarin aja dia. Dasar anak nggak ada etika.” Lanjutnya lagi.

Jeritan suara itu menggema. Bagai tersengat, serta-merta tanganku menjadi kaku. Otot-ototku melemah. Aliran darah seakan tersendat. Sepertinya jantungku telah berhenti bergerak. Perlahan sapu yang aku pegang jatuh lunglai bersamaan dengan tubuhku yang ambruk ke lantai.

“Bu, Bu. Ibu nggak apa-apa kan?”. Terdengar riuh rendah beberapa siswaku yang khawatir.

Aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang aku punya. Perlahan kutarik nafas lalu kuhembuskan secara teratur. Aku coba mengembalikan sisa-sisa kewarasan yang masih kupunya. Sedih, malu, kecewa entah rasa apa lagi yang telah menggerogoti jiwa ragaku. Entah berapa banyak kesabaran yang harus kumiliki, entah berapa energi yang harus aku siapkan.

“Ibu baik baik ajakan? Ibu nggak usah peduliin dia. Sama kayak orang tuanya, angkuh dan sombong. Mentang-mentang …, sok ego”. Terdengar riuh rendah suara umpatan.

“Terima kasih sudah ingatkan ibu. Entah apa yang terjadi kalau tadi kalian tidak ingatkan. Pasti ibu akan dikecam seluruh dunia karena dianggap guru paling kejam. Bahkan lebih parah, ibu akan mendekam dalam penjara karena melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak”. Dengan terbata-bata aku coba meluapkan semua rasa yang aku miliki.

***

“Jadi, Nak Ardi ini siswanya Bu Nurul toh”. Suara Bu Asti memecah lamunanku.

“Ya, Buk, siswa yang selalu melukai hatinya”. Jawab Ardi.

“Nggak begitu juga”. Ucapku pelan.

“Mungkin ini hukuman bagi saya. Beberapa kali ikut tes polisi selalu gagal. Yah, beginilah akhirnya. Menjadi penjual ikan keliling.” Ada nada getir yang terdengar.

“Yang penting kan rejeki halal dan berkah”. Aku coba menguatkan sosok yang terlihat lebih dewasa.

“Hmm …. Oya, ibu mau ikan apa tadi?”

“Aduh maaf, udah pada ngobrol jadi lupa. Ibu beli udang aja setengah kilo. Berapa ya?” Ucapku sambil membuka dompet.

“Nggak usah, Bu. Hitung-hitung permintaan maaf saya. Saya benar-benar menyesal telah berperilaku buruk dulunya”. Lagi-lagi saya melihat ketulusan dari ucapan siswa yang dulu sering membuat hatiku panas membara.

“Sudah lah, yang penting hari ini. Semua itu sudah lama berlalu dan kami sudah memaafkan jauh sebelum kamu memintanya”. Aku kembali menyunggingkan senyum yang paling tulus. Aku coba menguburkan semua pahit yang pernah terasa.

“Terima kasih, Bu. Doakan saya dan anak-anak saya”.

“Jadi? Kamu sudah punya anak?” Tanyaku.

“Alhamdulillah, Bu. Laki-laki, baru lahir seminggu lalu”. Wajahnya nampak berseri, ada semburat bangga dan bahagia.

“Doakan semoga kelak dia jadi anak saleh ya. Jangan seperti ayahnya”. Kini suara itu kembali terdengar agak getir.

“Masya Allah. Bahagia dengarnya. Insya Allah jadi anak shaleh”. Doaku disertai rasa bahagia.

“Amin. Terima kasih, Bu”. Ucap Ardi sambil memberikan kantong berisikan udang.

“Ini sedikit dari Ibu”. Aku menyodorkan lembaran uang bergambar Sukarno Hatta.

“Nggak usah bu. Saya iklas”.

“Ya, Ibu tau. Tapi tolong terima ini ya. Untuk cucu ibu yang baru lahir”.

“Bu…”. Kata katanya tergantung. Kali ini mungkin degup jantungnya yang berdetak lebih kencang. Terlihat dadanya kembang kempis menahan rasa. Matanya mulai berkaca. Menahan beratnya rasa penyesalan yang mungkin telah melaut luas.

Kutatap lekat mata itu, pilu rasanya. Tidak kulihat lagi wajah bengis yang dulu selalu membuat detak nadiku tidak normal. Hanya tatap binar dari bola matanya. Rasa sedih itu juga ikut melingkupi hatiku. Tidak ada lagi sorot tajam penuh amarah yang sering terpancar ketika berhadap dengannya. Tidak ada lagi emosi-emosi yang membakar emosiku yang membuat hari-hariku penuh tekanan dan kegelisahan. Hari-hari yang terasa begitu berat.

Harusnya sekarang aku sangat bahagia. Sebulan sudah melalui hari-hari tanpa dikejar batas waktu penyelesaian beban administrasi. Tidak merasakan sikap yang tidak lazim yang membakar emosi. Tidak harus menanggung beban dengan semua serba salah yang teralamatkan padaku, yang berstatus seorang guru yang mungkin kurang profesional ini. Tidak lagi aku merasakan detak jantung yang selalu bergerak tak beraturan. Denyut nadi yang bisa saja tiba-tiba di luar kendali oleh perilaku siswa-siswiku.

Nyatanya, sampai hari ini, susah untuk melupakan momen yang telah terpahat indah di memori otakku. Aku masih rindu bergelut dengan semua rutinitas yang membuat detak jantung tak merdeka. Bahagia kala siswaku penuh semangat belajar waktu mengikuti lomba. Senang mendengar ungkapan suka cita mereka. Masih terbayang siswa-siswi dengan segala keunikan tingkah polahnya. Masih berharap berada di depan mereka sambil mengoceh tak karuan tentang banyak hal. Mungkin itulah guru, meski melalui hari-hari penuh drama namun selalu ada cinta dan rindu untuk siswa-siswinya.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *