Apakah Mageran itu Manusiawi?

Oleh: Thasoedi (Guru MTs)

Tulisan ini tercipta oleh karena mendapati diri sering malas-malasan dan menunda pekerjaan. Sebelumnya, kalau ada ide terlintas di kepala dengan otomatis tangan akan menghidupkan gawai dan lanjut mengetik di catatan gawai. Nah bulan ini berbeda. Entah kerasukan apa, yang jelas seluruh tubuh sangat mulai menyukai skill baru yang namanya mageran.

Mager merupakan singkatan dari malas gerak. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan perasaan malas melakukan sesuatu atau sedang ingin bermalas-malasan. Tak hanya itu, kata mager juga diartikan sebagai penolakan terhadapa suatu ajakan. dimana seorang akan mengatakan mager jika merasa tidak tertarik, sedang lelah, atau tidak semangat. Saking populernya kata mager, kata ini bahkan sudah menjadi bahasa resmi di Indonesia, bagaimana tidak, singkatan ini sudah terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI, mager adalah malas (ber)gerak; enggan atau sedang tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas.

Sepersekian menit setelah sadar, saya mulai wara-wiri membaca artikel tentang mageran. Saya mendapati ada setumpuk faktor yang menyebabkan orang mager, seperti begadang, lelah, bosan, ingin diam di rumah, dan rutinitas pasif. Ditambah lagi, tidak kurang artikel yang membahas sisi negatif menjadi mageran, bahasannya pun dari berbagai kacamata bidang studi. Paling menakutkan saat membaca dari pov dunia kesehatan. Katanya jangan sampai mageran dijadikan sebagai gaya hidup, karena hanya berbagai penyakit berbahayalah yang dipanen di akhir. Jangan ya dek ya, Jangan.

Naasnya selama dua pekan mengeram rasa mager, otak sudah mulai mencari pembenaran atas apa yang dilakukan. Saya “belokkan” pencarian dari negatif ke positif. Dan voila ternyata ada. Tentu saja artikel seperti ini ada, namun tidak sebanyak lawannya. Saya yakin penulisnya tidak sungguh-sungguh merisetnya. Hampir semua isinya tidak mampu menjelaskan secara sains manfaat dari mager itu sendiri. Kemudian saya berpikir, kalau bukan saya saja yang merasakan angkara ini, tapi ada bejibun manusia di bumi ini yang juga merasakan hal yang sama. Berarti ini bagian dari manusia dong?

Mulailah keluar pertanyaan, apakah mageran itu manusiawi? Selama beberapa hari saya mulai mencerca manusia-manusia tak bersalah ditempat saya bekerja dengan pertanyaan itu. Juga saya tanyakan pada murid-murid tersayang di kelas saat refleksi, 15 menit terakhir. Cara ini ampuh untuk saya sendiri. Saya mendapati “sebongkah” jawaban. Berbagai macam cara penyampaiannya. Ada yang bilang itu bisikan setan, karena lumrahnya manusia tidak diperbolehkan malas-malasan. Ada yang menyindir dengan mengiyakan, pertanyaan diatas dianggap lumrah menurut orang yang pemikirannya tidak ingin maju. Kemudian, ada yang membalas bertanya apa itu manusiawi? apa itu mageran? baru dijelaskan jawabannya. Yang jelas, kebanyakan menganggap mageran itu manusiawi entah itu karena faktor yang sudah saya sebutkan diatas atau bukan.

Jadi, menurut anda pembaca budiman, apakah mageran itu manusiawi?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *