Oleh: Muhammad Nizarullah
Malam itu, kegelisahan menyelimuti Jakarta. Langit berbisik melalui udara yang enggan menghinggap di Jakarta, seolah ia tahu alam sedang menyimpan rahasia kelam yang siap meledak. Tanggal 30 September 1965 perlahan bergulir menuju 1 Oktober, namun kota tak kunjung terlelap. Di balik tirai-tirai jendela yang tertutup rapat, bisik-bisik mencekam mengalir bagai arus bawah tanah yang siap menghancurkan fondasi negeri.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap dalang dibalik peristiwa G30S. Landasan gerakan mereka adalah manifesto politik yang menyatakan bahwa revolusi belum usai. Dasar negara Pancasila diganti dengan Komunisme, melalui ketua PKI, D.N. Aidit mengajak rakyat menyelesaikan revolusi yang belum usai tersebut. NASAKOM menjadi dalih untuk berkampanye di kalangan sipil maupun perwira militer.
Demokrasi terpimpin menjadi awal dari penyimpangan ideologi negara. PKI mendominasi kegiatan politik di Indonesia. Konsep politik NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) mulai dialirkan dalam pandangan ideologi negara dan menyamakannya dengan konsep Pancasila. Pengangkatan presiden seumur hidup juga ikut terseret dan menyebabkan penyimpangan konstitusi.
Di sebuah rumah di Lubang Buaya, sekelompok pria berseragam militer berkumpul. Wajah-wajah tegang, suara-suara tertahan. Mereka menyusun rencana yang akan mengubah arah sejarah Indonesia untuk selamanya. Sementara itu, di kediaman resminya, Presiden Soekarno terlelap tanpa menyadari badai yang akan segera menerjang.
Kabar burung sudah berseliweran memenuhi penjuru negeri, Soekarno yang dulunya dijuluki “Singa Podium” kini harus terbaring tanpa bisa memimpin revolusi. Letkol Untung, komandan Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) mengambil alih kepemimpinan dengan dalih ingin menyelamatkan presiden dari perebutan kekuasaan dewan jenderal. Cita-cita mereka hanya satu, dasar negara Pancasila harus diubah menjadi komunisme.
Perjuangan bangsa Indonesia dan perumusan Pancasila di awal kemerdekaan kini direnggut oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Rakus yang bersemanyam dalam tubuh mereka membuat mereka menjual negara demi segelintir jabatan dan popularitas. Bukannya barisan perjuangan yang mereka teruskan, tapi semakin memperpanjang barisan pengkhianat.
Fajar belum lagi menyingsing ketika derap langkah sepatu lars memecah kesunyian. Satu per satu, para jenderal senior TNI AD diculik dari kediaman mereka. Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Suprapto, Mayor Jenderal M.T. Haryono, Mayor Jenderal S. Parman, Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo – nama-nama yang akan terukir dalam sejarah sebagai “Pahlawan Revolusi”.
Namun satu nama lolos dari cengkeraman maut malam itu. Mayor Jenderal Soeharto, komandan KOSTRAD, berhasil menyelamatkan diri. Dalam hitungan jam, ia akan mengambil alih komando dan membalikkan keadaan.
Pagi Jumat, 1 Oktober 1965, Jakarta terbangun dalam kekacauan. Radio Republik Indonesia (RRI) mengumandangkan perebutan kekuasaan terhadap pemerintah RI sudah sah dilakukan PKI. Kebingungan dan ketakutan merayap di setiap sudut kota, hingga menimbulkan resah di tengah-tengah masyarakat.
Namun di balik layar, roda-roda sejarah telah berputar. Soeharto, dengan manuver politiknya, berhasil meyakinkan pasukan-pasukan loyal bahwa gerakan 30 September adalah upaya kudeta oleh PKI. Dalam hitungan hari, ia berhasil memadamkan pemberontakan dan mengambil alih kendali kemudi republik.
Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Kostrad dan pemimpin sementara TNI AD mengambil langkah untuk menumpas tuntas PKI hingga ke akar-akarnya. Tak hanya yang terlibat yang terkena getahnya, anak, istri, kerabat, bahkan yang hanya sekedar kenalan pun ikut terseret dalam stigma pemerintah Orde Baru (Bersih diri, bersih lingkungan).
Akibat dari stigma itu, banyak dari anggota dan simpatisan PKI yang meraih suaka politik di berbagai belahan dunia, khususnya Eropa. Lalu anak dan istri mereka? Sebagian ada yang ikut berjuang bersama suami dan orang tuanya di negeri orang, sebagian terpaksa menutup diri dengan mengakui tidak ada hubungan apapun dengan keluarga Eks-Tapol. Jika tidak, pendidikan dan pekerjaan yang mereka dambakan akan menjadi neraka bagi mereka.
Langkah yang ditempuh Soeharto untuk menumpas PKI diawali dari ibukota, kemudian dilakukan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Mereka yang berhasil ditangkap dan diklaim sebagai pemimpin pemberontakan seperti Letkol Untung, Suherman, Wisnuraji, Mulyono, Usman, dan lainnya berhasil ditangkap dan diadili oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Pulau Sumatera dan laiinya juga tak luput dari operasi penumpasan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru di bawah tongkat estafet Soeharto.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah lembaran kelam dalam sejarah Indonesia. Pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI, serta mereka yang dituduh terlibat, menyapu bersih seluruh negeri. Darah mengalir, nyawa melayang, dan luka yang menganga itu tak pernah benar-benar sembuh hingga hari ini.
G30S yang kemudian pemerintah menambahkan kata “PKI” beriringan setelahnya, menjadi titik balik yang mengubah wajah Indonesia. Soekarno tersingkir, Orde Baru di bawah kendali Soeharto naik ke panggung kekuasaan, melanjutkan perjuangan yang masih kabur akan keberpihakan. Selama tiga dekade berikutnya, peristiwa ini akan menjadi hantu yang terus membayangi, digunakan sebagai alat propaganda untuk melegitimasi kekuasaan.
NKRI, Slogan yang terus dilancarkan melalui celah-celah kaki tangan untuk menjaga kedaulatan Republik Indonesia tetap bersatu layaknya hibah dari pemerintah kolonial. Ideologi yang berlandaskan Pancasila pun ikut menjadi “Kambing Hitam” untuk meligitimasi kekuasaan yang tidak boleh ada oposisi dalam pemerintahan. Dekade demi dekade terus bergulir mengikuti zaman yang kian berubah. Hanya menunggu waktu yang tepat kapan masyarakat Indonesia menjadi sebegitu cerdasnya hingga berpikiran untuk mengkudeta Soeharto yang sudah sangat sejuk dengan “Angin Surga” selama 32 tahun.
Krisis moneter di akhir pemerintahan adalah awal mula kesadaran masyarakat terlebih kaum cendikia akan kebohongan yang telah bertahun-tahun lamanya dibohongi oleh pemimpin sendiri. Menjadi budak di tanah sendiri kembali terimplikasi pada zaman itu. Krisis di segala aspek, hutang negara melambung tinggi, demokrasi jelas-jelas dikuliti, politik carut-marut, sosial-budaya kian terkekang.
Kini, setengah abad lebih telah berlalu. Namun misteri dan kontroversi masih menyelimuti peristiwa berdarah itu. Siapa dalang sebenarnya? Apa motif di baliknya? Pertanyaan-pertanyaan itu masih menggantung, menanti jawaban yang mungkin tak akan pernah datang.
Malam 30 September 1965 itu telah lama berlalu. Namun jejaknya masih terasa, mengendap dalam ingatan kolektif bangsa. Sebuah pengingat getir tentang betapa rapuhnya perdamaian, betapa mudahnya kemanusiaan tercabik oleh ambisi dan kuasa. Dan bahwa sejarah, sekali terukir dengan darah, akan meninggalkan noda yang tak mudah terhapus oleh waktu.