Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang diperingati setiap tanggal 12 Rabiul Awal, merupakan tradisi yang sudah lama berkembang di berbagai belahan dunia Muslim. Di Indonesia, perayaan Maulid ini sering kali menjadi momentum besar yang dirayakan dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti pembacaan salawat, ceramah agama, dan acara kebersamaan. Namun, perdebatan terkait hukum perayaan Maulid Nabi masih terjadi hingga kini. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai bentuk ibadah dan ekspresi cinta kepada Rasulullah, sementara sebagian lainnya memandang bahwa perayaan tersebut merupakan bid’ah (sesuatu yang tidak dilakukan Nabi) yang sebaiknya ditinggalkan.
Artikel ini akan membahas perayaan Maulid Nabi di masa sekarang dengan pendekatan logika dan dalil, sehingga kita dapat menilai apakah perayaan ini suatu keharusan atau perlu ditinggalkan.
A. Perayaan Maulid Nabi: Perspektif Sejarah
Sejarah mencatat bahwa perayaan Maulid Nabi tidak dilakukan pada masa hidup Rasulullah SAW, sahabat, atau bahkan generasi tabiin. Tradisi ini mulai muncul pada abad ke-12, khususnya pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir, yang menggunakan perayaan Maulid sebagai sarana untuk memperingati kelahiran tokoh-tokoh penting Islam, termasuk Nabi Muhammad SAW.
Meski demikian, meski Nabi sendiri tidak memerintahkan perayaan Maulid, hal ini tidak otomatis membuatnya haram atau dilarang. Dalam ushul fiqh, suatu ibadah dianggap bid’ah apabila memenuhi kriteria sebagai tambahan dalam hal-hal pokok agama yang berkaitan dengan akidah atau ritual ibadah. Namun, kegiatan yang dilakukan dalam perayaan Maulid, seperti pembacaan sirah Nabi dan zikir, bukanlah tambahan pada aspek ibadah pokok, melainkan bagian dari tradisi yang tujuannya adalah menumbuhkan kecintaan kepada Nabi.
B. Perayaan Maulid dalam Perspektif Syariah
- Dasar Logika Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini, umat Islam diperintahkan untuk mencintai Nabi dengan sepenuh hati. Salah satu ekspresi dari kecintaan ini adalah mengingat kehidupan beliau, ajarannya, dan perjuangannya untuk menyebarkan Islam.Perayaan Maulid dapat dilihat sebagai bentuk perwujudan dari kecintaan ini. Dengan merayakan Maulid, umat Islam diingatkan untuk mengikuti teladan Rasulullah dalam setiap aspek kehidupan. Logikanya, selama perayaan tersebut mengandung unsur-unsur yang positif, seperti pembacaan sirah, salawat, dan nasihat agama, maka hal ini dapat membawa manfaat besar bagi penguatan keimanan dan ketakwaan.
2. Dalil yang Mendukung
Meskipun tidak ada perintah eksplisit dari Nabi untuk merayakan Maulid, beberapa ulama besar memberikan argumen berdasarkan dalil umum yang membenarkan perayaan ini. Imam Jalaluddin As-Suyuthi, salah satu ulama besar yang mendukung perayaan Maulid, menyatakan bahwa merayakan Maulid dengan cara mengingat kelahiran Nabi dan bersyukur kepada Allah merupakan bagian dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan syariah. Dia menyandarkan pendapatnya pada firman Allah SWT:
“Dan ingatlah nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 231).
Imam As-Suyuthi berpendapat bahwa perayaan Maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah atas nikmat besar berupa kelahiran Nabi Muhammad, yang membawa petunjuk dan rahmat bagi seluruh alam.
Selain itu, dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58).
Ulama yang membolehkan perayaan Maulid sering mengutip ayat ini sebagai dalil untuk menunjukkan bahwa bergembira atas rahmat Allah, termasuk kelahiran Nabi, adalah hal yang diperbolehkan dan dianjurkan.
- Prinsip Bid’ah dalam Fiqh
Kaum yang menentang perayaan Maulid umumnya menggunakan argumen bahwa kegiatan ini termasuk bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Namun, konsep bid’ah harus dipahami dengan lebih luas. Ulama membagi bid’ah menjadi beberapa macam, diantaranya:
- Bid’ah hasanah: Perbuatan baru yang baik dan tidak bertentangan dengan syariah.
- Bid’ah sayyi’ah: Perbuatan baru yang bertentangan dengan syariah.
Imam Nawawi dan Imam Asy-Syafi’i, dua ulama besar, berpendapat bahwa tidak semua bid’ah itu buruk. Selama kegiatan yang dilakukan dalam Maulid tidak mengandung unsur haram, seperti maksiat atau khurafat, maka perayaan ini dapat termasuk bid’ah hasanah.
C. Perayaan Maulid di Masa Sekarang
Di era modern, perayaan Maulid sering menjadi ajang untuk memperkuat tali ukhuwah Islamiyah, baik di tingkat komunitas lokal maupun nasional. Melalui perayaan ini, umat Islam tidak hanya mengenang sejarah hidup Nabi, tetapi juga memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan kepedulian sosial, seperti dengan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan, berdakwah, dan menyebarkan nilai-nilai Islam.
Namun, perlu diingat bahwa perayaan Maulid harus dilakukan dengan cara yang benar dan tidak melibatkan hal-hal yang bertentangan dengan syariah, seperti berlebih-lebihan, mubazir, atau mengabaikan esensi dari peringatan itu sendiri.
Kesimpulan
Berdasarkan logika dan dalil yang telah dijelaskan, perayaan Maulid Nabi dimasa sekarang menjadi suatu keharusan, sebab perayaan ini dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan kecintaan kepada Nabi, memperkuat iman, dan meningkatkan rasa syukur kepada Allah SWT. Yang terpenting, umat Islam harus menjaga agar perayaan ini tetap dalam bingkai syariah dan tidak terjerumus pada hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama.