sebuah Cerpen oleh Thasoedi (Guru MTs Jeumala)
Kedua tangan Mayek Minah diangkat ke atas selaras dengan dagunya yang lancip. Dengan duduk bersila, kedua mata Mayek tertutup dengan sedikit sumringah di bibirnya yang mulai mengkerut ia memanjatkan doa kepada Po Rabbana. Aku dan Malet Yumna juga mengikuti Mayek tanpa bertanya. Aku pun juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Yang Maha Pengasih karena sudah memberi kami kehidupan yang nyaman seperti sekarang dan hari ini kembali kami dibuat senang setelah tahu kambing yang kami pelihara beranak lagi. Senang bukan main.
“Ada baiknya kita makan di luar hari ini, Mayek”. Ucap Malet sembari berdiri.
Aku belum mau berdiri. Kulirik ke arah Mayek yang masih khidmat dengan doanya.
“Goet that. Di Tubaka suasananya mantap sore-sore begini”. Timpalku yang membuat Mayek membuka matanya dan melihat kami berdua yang cengengesan. Aku mengerti sekali kalau Mayek cuma tersenyum tanpa berkata apapun. Dia setuju. Mayek berdiri sambil melepas mukenanya, melipat dengan rapi, dan menggantung di tempat biasanya.
“Kita berangkat setelah kalian merapikan tempat Shalat kalian itu”. Malet dan Aku mengangguk dengan hati yang berbunga-bunga.
Kami berangkat menggunakan sepeda motor. Rumah kami cuma punya 1 motor, jadi kami mengajak Cek Yu, tetangga sebelah. Aku membonceng Malet ; Mayek duduk manis dibonceng Cek Yu. Rumah kami terbilang jauh dari jalan utama harus melewati dua desa. Sesampainya kami disana, Aku dan Malet s’up untuk menentukan siapa yang memilih meja. Akulah pemenangnya dan memilih meja di luar. Suasana sore hari yang tenteram dengan pancaran sinar senja yang indah, yang menampakkan cantiknya gerakan matahari yang perlahan-lahan menggulung sinarnya di ufuk barat menambah sensasi menyantap sate ini bertambah nikmat 1000 persen. Kami pulang usai Isya.
Oh ya, Aku saat ini sudah kelas 12 di salah satu SMA Negeri. Esok hari sepulang ku dari sekolah, kudapati suasana wajah Mayek berubah 180 derajat dari apa yang kugambarkan sore kemarin. Aku tak terlalu cemas, mungkin karena dia kecapaian mengurus ternak. Usai mengganti seragam dan menunaikan kewajiban, Malet masuk kamarku tergesa-gesa. Gusar wajahnya, Malet bercerita bahwa beberapa ekor kambing yang semalam lupa dikandangkan oleh Bang Pidin tidak nampak batang hidungnya sedari pagi. Nah ini baru Aku cemas. Aku keluar dari kamar mengikuti Malet dan menuju meja makan, sumpah Aku tak berani menanyakan apa-apa ke Mayek. Walau begitu, perutku harus kuisi dulu, siapa tahu setiap lumatan nasi dan ikan Kembung yang kutelan menghadirkan solusi yang dapat membantu Mayek. Sedang enak-enaknya melamun, Bang Pidin sudah duduk di depanku.
“Hai Gam! Lekas makan, kau harus ikut aku”. Baru kali ini aku dengar Bang Pidin berbicara dengan nada gabuk seperti ini.
Bang Pidin ini abangnya Malet yang juga sepupuku. Kami semua “diungsikan” ke rumah Mayek saat masih kecil karena orang tua kami menjadi korban peristiwa berdarah di daerah kami dulu. Mayek mengurus kami karena tidak mempunyai anaknya sendiri. 10 tahun selisih umurku dengan Bang Pidin ini, dia pernah mencicipi kuliah di jurusan Peternakan namun putus karena terjerat judi di ibukota sana. Selama ini Bang Pidin-lah andalan keluarga ini dimulai beberapa tahun belakang terutama dalam mengurus kambing ternak peninggalan Teungku Malek, mendiang suami Mayek.
“Jeut bang! Tapi kemana kita?”. Aku tak membantah, jelasnya tak berani bertanya banyak.
“Usai subuh aku sudah berkeliling mencari 3 ekor kambing kita. Sampai ke Simpang Balee Kuneng. Sudah tanya sama orang-orang disana, mana peduli mereka. Jadi kita ke orang pintar saja”. Pungkas Bang Pidin cepat. Aku meneguk air. Kemudian memandang Bang Pidin usai mendengar katanya.
“Abang serius? Kita ke dukun?”. Serasa tak percaya orang sepintar dia masih mau ke orang pintar padahal ini negara hukum.
“Jadi kemana? Ke polsek buat laporan?”. Bang Pidin tersungging
“Ilhap keuh! No viral No Justice”. Sambung Bang Pidin. Wew sungguh kata-kata yang sangat apa darinya, kalian sering dengar juga kan? hehe.
“Usah kau jujur kali sama Mayek kali ini, Gam. Abis kita”. Ancam Bang Pidin.
Bang Pidin mendekat ke adiknya, membisikkan sesuatu, dan mengganti bajunya cepat. Malet berlalu ke arah kamar Mayek dan kembali ke dapur dengan kunci motor ditangannya. Diberikannya padaku. Kupandangi Malet namun dia menghindar dari kejaran bola mataku.
Kalau Bang Pidin masuk militer, pangkatnya sudah Komandan sepertinya, cepat sekali ia menyusun strategi pembebasan sepeda motor untuk pergi ke orang yang katanya pintar. Aku diarahkan untuk minta izin pada Mayek dengan alasan ingin keliling kampung sampai ke kampung sebelah mencari keberadaan piaraan kami itu bersamanya. Jenius.
“Mayek, Adek sudah dengar semuanya dari Malet. Adek ingin bantu Bang Pidin keliling untuk tanya sama orang-orang kemana kambing kita, siapa tahu ada yang lihat”. Dengan nada melas aku berkata seperti sambil mendekati Mayek yang duduk di dipan teras rumah. Lagi-lagi aku mengerti diam dan senyum simpul Mayek. Ia setuju.
“Jangan pulang kesorean Gam. Cukup semalam kamu izin tidak masuk ngaji!”. Mayek melihatku yang sudah berada di atas motor mencoba menggeser keluar. Kuberikan Ia senyuman manis pertanda mengiyakan.
Aku berangkat, sepoi angin mengelus wajahku. Kukendarai motor ini menuju simpang, titik temu dengan Bang Pidin, tak lama Ia sudah terlihat dengan terengah-engah. Sesuai rencana. Kami bertukar posisi, aku dibonceng oleh dia. Bang Pidin beberapa kali berhenti untuk menelepon kenalannya yang tahu dimana rumah orang pintar. Tujuan ini mengarah ke kampung Uno yang berada di kecamatan Makmur. Kalau kita kesana diantar RBT, kurang lebih 10 ribu rupiah kita harus membayarnya, begitu aku mengukur jarak. Jalannya beraspal pekat tampak baru dibuat, tapi sudah sudah banyak titik yang berlobang. Ah, memang dasar pembangunan negeri yang sangat mantap, istilah lainnya “Proyek Abu Nawas”. Selama perjalanan, Bang Pidin mengupas banyak tentang informasi yang didapatanya pagi tadi tentang orang pintar ini. Katanya, orang ini tidak seperti yang digambarkan di pelem-pelem itu.
Berdasarkan pengakuan banyak orang yang sudah pernah ke sana, kita tidak akan mendapatkan unsur seram sedikit pun. Orang ini tidak memakai pakaian serba hitam dengan sorban atau kopiah koyak. Tidak menggunakan kalung yang ada tengkoraknya. Juga enggan menggunakan cincin di semua jarinya yang ukuran gioknya sungguh di luar nalar sehingga ketika jarinya bergerak akan mengeluarkan suara “KREK-KREK”. Tidak. Se kecamatan Makmur mengenalnya dengan sebutan Om Mus. Sedari kecil ia mengaku dapat melihat setan, bahkan dapat berkomunikasi dengan makhluk lain alam itu. Ketika ia dapat kesempatan untuk kuliah ke luar negeri, ia baru tahu bahwa tidak cuma satu orang di dunia ini yang sepertinya, mereka dilabeli Indigo. Sepulangnya dari negeri orang, dia sudah berhasil membubuhkan gelar Magister di depan namanya. Aku tak tahu persis jurusannya apa, yang jelas ia terpelajar. Beberapa bulan terakhir, ia berhasil menerawang harta benda warga yang dinyatakan hilang. Namun cuma tiga kali. Nah, hari ini Bang Pidin akan menjadi “pasien”-nya yang keempat.
Aku mendengar semua yang dikatakan Bang Pidin yang sedang mengemudi. Aku harus menambah keterampilan mendengar saat itu, karena suara angin yang juga berebutan masuk ke telingaku. Dan tibalah kami di tempat yang dituju. Benar kata orang, kediaman Om Mus tidak seperti tempat uji nyali sedikit pun. Kediamannya jauh terpisah dari perumahan warga lain. Rumahnya terlihat megah dua lantai dengan dua pilar kekar yang menyangga lantai kedua. Nampak beberapa barang antik berupa vas yang sangat cantik, juga dengan beberapa pot bunga di pelataran depan rumah.
“Kan, benar!”. Lamunanku buyar oleh suara Bang Pidin.
“hay pu ka tahe? Masuk kita”. Bang Pidin menarikku dari motor.
Mataku tak bergeming, apa-apaan ini, kenapa rumah “dukun” begini. Tapi aku melangkah juga. Belum sempat langkah keeempatku sempurna, pintu rumah mewah itu terbuka sendiri. Bang Pidin dan aku terhenti, saling bertatapan ngeri. Ini seperti rumah hantu di pilem-pilem itu saja. Ngeri.
“BANGGGG. CEPAT BANGGG!!!”. Teriakan perempuan yang asalnya dari dalam rumah.
“Aku tak mau bersabar lagi. Sabarku hanya dua hari. Ini hari ketiga, kita harus lapor polisi bang”.
Raut wajahku dan Bang Pidin berubah dari ngeri menjadi bingung. Tapi aku mulai paham situasi ini.
Tak berselang lama, keluarlah istir Om Mus dengan piyama dan jilbab seadanya, menutup pintu depan sangat buru-buru. Kami mendengar suara mobil dihidupkan dari samping kanan rumah, dari arah garasi. Istri Om Mus mendekat, kemudian
“Kalian mau cari apa? Penglihatan?”. Istri Om Mus melotot namun sedikit sumringah.
Aku melihat ke arah Bang Pidin, ia seperti mau menjawab.
“Pulang aja. Sudah tiga hari perhiasanku yang hilang di kamar, belum juga dapat ditemukannya, apalagi punya kalian itu. Dia itu cuma menebak-nebak aja selama ini, entah bagaimana orang bisa percaya sama dia”. Kata-kata ibu ini berlalu kesamping kami sambil membuka garasinya yang meninggalkan Bang Pidin mematung.
Aku pernah lihat video seorang pesebak bola hebat dari Italia sana yang gagal mengeksekusi penalti entah tahun berapa atau melawan siapa. Yang jelas, usai penaltinya melambung tinggi, dia mematung, kalau tidak salah namanya Roberto Baggio. Nah Bang Pidin saat itu juga berubah menjadi Baggio itu. Untungnya saat itu adalah Bang Pidin mematung sembari tatapan matanya ke arah garasi, bukan kearahku, kalau iya sudah ditampar aku. Karena sejak tadi aku mulai menahan tawaku. Yakin sekali Bang Pidin mematung karena dilahap ekspektasi dan keyakinannya sendiri, sedang aku hanya orang diajak olehnya.
TET-TET bunyi klakson mobil. Jendela sedikit diturunkan, istri Om Mus kembali menyuruh kami pulang. Katanya kalau tidak kami akan dikunci dari luar. Bahkan wajah “orang pintar” itu tak sempat kami lihat. Aku menangkap siluet malu di wajah Bang Pidin selama perjalanan pulang. Ia malu padaku, disaat yang sama ia tidak tahu harus menyalahkan siapa atas kejadian ini, orang yang memberitakan Om Mus itu pintar atau dia sendiri yang bodoh.
Sesampainya kami di rumah, kukira dia bakal diam seribu bahasa. Ternyata dengan tergopoh-gopoh ia mencari Mayek untuk menceritakan “keseruan” hari ini. Kata Mayek, lain kali jadi orang jangan gegabah, segala sesuatu itu harus dipikirkan lagi. Orang pintar itu dikultuskan hanya oleh mereka yang bodoh, jadi ya PIKIR LAGI.