Belum Tau …

Oleh: Nadiya Shada Afifa (VIII-7)

Hawa dingin menyelimuti bukit Galata. Sejauh mata memandang hanyalah butiran putih berjatuhan dari langit. Rumput-rumput membeku di saat salju-salju itu bersentuhan dengannya. Angin bertiup lembut menyentuh apapun benda yang dilintasinya. Kelinci-kelinci bermain dengan bahagia, seakan-akan keberadaan hawa dingin itu tak ada. Dibalik salju itu, seorang pemuda berjalan gontai di atas tumpukan salju, bercak-bercak darah menodai setiap salju yang dilangkahi oleh si pemuda ini. Kondisi memprihatinkan ini tak lepas dari segi penampilan dan masalah yang dialami olehnya, mantel lusuh berwarna abu-abu itu berterbangan di kala si pemuda menerjang angin lembut namun mematikan bagi fisik.

Rambut pirang telah teracak-acakan, bola mata biru dengan kelopak mata lebih dari kata sayu, tubuh luka-luka serta pucat, ditambah rasa sakit yang amat sangat. Pemuda itu menjatuhkan diri ke atas tumpukan salju, sebagian tubuh si pemuda terbenam pada butiran putih nan dingin tersebut. Tak ada lagi harapan hidup pada diri si pemuda. Salju yang berjatuhan pada punggung si pemuda serasa hujan panah siap mengantarkan maut untuknya. Rasa sakit tak henti-henti tersemat pada luka-luka yang entah darimana didapatkan oleh si Pemuda. Pemuda bernama Fregadovic itu menengadah pada butiran salju, ia berusaha menggerakkan bibirnya yang sedikit membiru.

“lebih baik badai salju di pegunungan Alpen daripada salju ditempat seperti ini,“ gumam Fregadovic. Cahaya mata Fregadovic mulai meredup dengan sendirinya seketika, Fregadovic mengira ia akan mati konyol di bukit itu.

Fregadovic membuka kedua kelopak matanya, pandangan buram dan perih itu mendorong Fregadovic untuk kembali menutup matanya, seketika, Fregadovic merasakan sesuatu yang janggal.

“Bukannya tadi aku di bukit Galata yang bersalju? namun, kenapa ditempat ini hangat sekali???“ gumamnya seketika, Fregadovic segera bangkit dari kasur sederhana itu.

“Assalamu’alaikum Warahmatullah…“ Fregadovic menoleh pada sumber suara, tampak olehnya seorang lelaki berjubah putih sedang membawa nampan berisi minuman dan makanan-makanan yang tidak ia ketahui namanya “

“Syaikh Emir menyuruh saya mengantarkan ini pada tuan, sambil menunggu, tuan boleh makan lebih dahulu, ujar lelaki remaja tersebut. Fregadovic mengangguk, setelah lelaki itu keluar, Fregadovic pada makananya, Fregadovic menelan ludah. Ia bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya, tanpa menunggu waktu lama, Fregadovic meraih nampan itu, Fregadovic menyendok makanan khas Turki yang bernama “Pide” kedalam mulutnya.

“Makanan ini agak sedikit mirip dengan Pizza,“ ucapnya lirih. Fregadovic menyukai makanan yang baru dimakannya tadi. Tak lama kemudian, Fregadovic mulai sibuk dengan makanan yang disantap tersebut.

Tok… tok… tok… kreeeit… pintu terbuka, tampaklah seorang lelaki paruh baya badannya tegap, seluruh jenggot, alis dan rambut yang tertata rapi itu mulai memutih, sisa-sisa ketampanan membekas pada diri si paruh baya itu. Ia membawa beberapa obat pada tangannya.

“Assalamu’alaikum Wa rahmatullahi Wabarakatuh…“, ujar orang itu sembari tersenyum. Fregadovic membalas senyum itu dengan senyum tipis.

“Bagaimana kabarmu, nak?“ tanya Syaikh Emir. Fregadovic masih tetap dengan senyum yang tipis.

“Puji Tuhan“, jawab Fregadovic.

“Siapa dan darimana kamu sebenarnya?” tanya Syaikh Emir sambil mulai mengobati luka-luka pada wajah Fregadovic.

“Fregadovic, dari Hungaria”, jawabnya singkat. Syaikh Emir memicingkan mata.

“Hungaria? itu jauh sekali, bagaimana caranya kamu bisa kemari?” Fregadovic menundukkan wajah. Syaikh Emir membuka jendela di sampingnya. Seketika, Fregadovic melemparkan pandangannya pada kota-kota dan bukit. Namun, tiba-tiba mata Fregadovic menatap Masjid Hagia Sofia. Itulah yang dibangga-banggakan dan dikaguminya sejak masih kecil.

“Kenapa bisa begitu, Fregadovic?“ mendengar pertanyaan Syaikh, Fregadovic kembali menoleh pada Syaikh Emir.

“Aku kabur kesini karena pembantaian dari sebuah sekte, mungkin jika aku tidak kabur, tiang pancang adalah tempat singgah terbaik tepat denganku. Sebelum aku kabur, Aku sempat disiksa mati-matian di sebuah rumah kosong, sebuah kehormatan bisa bertemu dengan Syaikh.” ujar Fregadovic sembari menunduk hormat dengan niat merendahkan diri.

“Jangan merendahkan diri dengan manusia, hanya pada Allah saja yang pantas untuk kita merendahkan diri,”

Syaikh Emir terus membersihkan luka-luka diwajah Fregadovic. Sesekali Fregadovic menangis kesakitan ketika Syaikh Emir membersihkan salah satu lukanya. Fregadovic melirik jendela yang menghamparkan pandangan kota Istanbul. Ditambah dengan ikon khas Istanbul, Masjid Hagia Sofia. Fregadovic berdecak kagum melihat pemandangan estetik tersebut.

“Syaikh, bangunan itu dulunya dibangun oleh leluhurku, apakah Syaikh tau itu?”, Syaikh Emir ikut menyaksikan hamparan indah kota Istanbul dari jendela rumahnya yang terletak diatas bukit.

“Dulunya, itu sebuah gereja Agung milik para kristen katolik sepertimu. Namun, atas perjuangan Muhammad Al-Fatih yang telah menaklukkan kota Konstantinopel atas izin Allah, Konstantinopel bisa ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah dirinya, dan sebaik-baik tentara, adalah tentaranya. Itulah salah satu hadits yang diucapkan oleh Rasulullah.” Fregadovic menganggukkan kepalanya.

“Syeikh Emir, aku dengar di agama Islam ada nabi dan rasul. Apakah Muhammad salah satu dari rasul tersebut?” tanya Fregadovic. Syekh Emir tersenyum tipis.

“Ya, Nabi Muhammad adalah salah satu rasul seru sekalian alam. Nabi Muhammad manusia pertama yang sampai di langit ke tujuh. Pertama kali dari seluruh manusia di muka bumi.”

“Apakah itu bisa dipercaya?” tanya Fregadovic sembari mengerutkan dahi.

“Menurut keyakinanmu” Syekh Emir mulai mengoleskan sebuah cairan berwarna hijau pada kaki Fregadovic. Fregadovic menatap Syekh Emir dalam-dalam. Bagi Fregadovic, Syekh Emir adalah orang yang bisa dipercaya.

“Syekh, sebenarnya siapa Muhammad itu?”

“Nabi Muhammad adalah nabi terakhir bagi umat Islam. Nabi Muhammad adalah seorang nabi yang terakhir yang penuh dengan keistimewaan. Ia tak lepas dari ibadah dan selalu taat kepada Allah”. 

“Setau ku, nabi-nabi itu mulia. Apakah nabi Muhammad pernah membuat sesuatu yang mulia?”

“Jangankan pernah Fregadovic, tapi itulah kesehariannya. Penuh dengan akhlak terpuji dan mulia. Nabi Muhammad tak pernah menyakiti orang.” Fregadovic merasa takjub dengan kisah yang diceritakan Syekh Emir.

“Ku rasa kisah tentang Muhammad itu suatu kisah yang ajaib” ujar Fregadovic.

“Mengapa kau bisa mengatakan seperti itu?” Fregadovic menghela nafas. “Aku sering mendengar kisah David (Daud), Moses (Musa), Solomon (Sulaiman), tapi Muhammad ini … agak berbeda dengan mereka.”

“Fregadovic, apa kau berkeinginan memeluk agama Islam?” Mendengar pertanyaan Syekh Emir, Fregadovic terdiam.

“… Belum tau.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *