Merawat Agama Fitrah

Oleh: Azmi Abubakar

Islam adalah agama paripurna yang meliputi seluruh gerak sendi kehidupan. Dimana dua sumber utama Islam Alquran dan Hadis terus mengingatkan pemeluknya untuk berislam dengan baik. Islam pernah mengalami masa kejayaannya walaupun pada abad pertengahan mengalami suatu masa dengan  apa yang diistilahkan the dark age dengan banyak sekali bentuk penyerangan kepada agama fitrah ini.

Sejarah mencatat bagaimana gegap gempitanya kemunculan para nabi-nabi palsu dimulai dari Musailamah kemudian sampai kepada Mirza Ghulam Ahmad dari India. Bahkan di Indonesia sendiri muncul nama nabi paslu semisal Ahmad Musaddiq. Sebenarnya ada apa dengan mereka, Kenapa Islam yang menjadi agama paripurna ini berani digugat bahkan kefitrahan Islam mereka cederai?

Pasca keruntuhan bani Abbasiyah, para islamofobhia mulai berani melakukan serangan-seragan besar kepada Islam, katakan saja  gerakan orientalis  mulai melakukan kajian-kajian mendalam, bahkan bermukim di Mekkah untuk mempelajari Islam. Miris sekali manakala saat itu masyarakat Islam  larut dalam konflik internalnya semisal persaingan merebut kekuasaan. Kala itu Islam sudah benar-benar jumut, justru produktifitas telah dimulai oleh non muslim salah satunya apa yang disebut dengan gerakan penerjemahan.

Islam di Indonesia postmodern tak jauh berbeda, kasus Poso, pembakaran Mesjid di beberapa tempat menjadi pembelajaran bagi kita semua, munculnya pemikiran keliru dalam memahami Islam semisal Jaringan Islam Liberal Islam, semua ini akan membuat ketidaknyamanan kita dalam berislam secara fitrah. 

Sehingga apa yang diistilahkan sebagai jahil murakkab telah hinggap hari ini pada umat Islam,  Metode penafsiran ala bible tanpa ampun telah coba di gunakan dalam Islam, walhasil apa yang terjadi kemudian adalah semakin mengguritanya pemikitan pemikiran yang merusak kefitrahan Islam.

Hubungan dengan tuhan semakin dipahami secara sempit, keterlibatan manusia dengan tuhan  (hablum minallah) dan sesama manusia (hablum minan nas) tak berjalan sesuai jalannya. Lahirnya Jaringan Islam Liberal nyata-nyata ingin menggoyang kefittrahan Islam. Bahkan JIL berani menggugat keaslian Alquran. 

Usaha mensekulerkan Undang-Undang Perkawinan, kasus lesbian, homoseksual sudah nyata-nyata merusak tatanan kefitrahan lslam.  Sosok Aminah Wadud tentu tak bisa dilupakan begitu saja, Adian Husaini dengan tekun menulis bagaimana geliat Aminah Wadud dan pemiran nyelenehnya. Kebebasan yang coba digaung kaum wanita justru telah merusak kefitrahan islam itu sendiri, wanita kembali seperti kaum jahiliyah, wanita bahkan tidak lagi punya iffah.

Perselingkuhan antara orientalisme dan kolonialisme selanjutnya telah membuahkan hasil yang pahit bagi Islam (Mukti Ali; 2009). Bahkan hegemoni budaya barat telah melabarak kefitrahan Islam itu sendiri. Orientalis semisal Renan bahkan mengejek kaum muslimin dengan mengatakan The regeneration of the inferior or the generate races is part of the providential of things for humanity (Kelahiran kembali ras rendahan atau yang terbelakang oleh ras yang tinggimerupakan bagian dari tata kahidupan yang penuh berkah terhadap kemanusiaan). 

Islam adalah agama fitrah yang berbeda dengan agama lain, dalam Islam tak ada ditemukan permusuhan antara agama dan ilmu pengetahuan (Yusuf Qardhawi; 2001). Bahkan ilmu pengetahuan berjalan selaras dengan Islam ini menjadi vis a vis dengan apa yang dialami antara gereja  dan ilmu pengetahuan. 

Islam di Eropa di satu sisi harus di respon dengan perasaan gembira, tetapi ada satu masalah dimana ketidakmampuan masyarakat Islam Eropa untuk memahami nash-nash agama secara benar, sehingga peran masyarakat Islam lainnya sangat dibutuhkan dengan melakukan gerakan penerjemahan kitab-kitab ke bahasa-bahasa Eropa.

Islam itu mencakup (syamil)  dalam setiap aspek, termasuk politik sekalipun yang sekarang justru dianggap tabu. Majunya Tu sop dalam ranah politik lokal sebagai calon bupati di satu disi harus diapresiasi, terlepas dari pro dan kontra ini merupakan suatu langkah untuk membangkitkan kembali islam yang berghirah dan fitrah. 

Jumlah penganut Islam semakin tinggi saban tahun, namun Islam tetap saja dipahami segelintir muslim sesuka hati (Mukti Ali; 2009). Kebutuhan manusia kepada Islam ini sebagaimana diungkap syekh Buthi seperti butuhnya bumi kepada matahari atau kebutuhan kebebasan kepada aturan.

Manusia, dunia, akhirat adalah siklus yang saling berkaitan. Kefitrahan Islam memberi rasa kenyamanan kepada pemeluknya hatta pada kondisi darurat, sehinga ada kaidah fikhiyah seperti  adhdharurat tubih mahdhurat, adh dharurat yuzal, adharurat tukaddir bi kadariha (Zakaria Al-Anshari; 2007)

Manusia telah diberi ruang dan pilihan untuk memilih, berislam atau tidak. Pada perjalanannya  Islam sebagai agama fitrah tak lagi dipahami dengan benar sehingga lahirlah islam konservatif atau gerakan radikal Islam lainnya, disamping gerakan islamophobia yang kapan saja bisa menyerang kefitrahan Islam. 

Pada perjalanannya kefitrahan Islam juga coba digugat oleh kaum internalnya sendiri, dengan menggugat nash-nash agama, dan pemikiran yang tidak lagi fitrah. Walaupun di satu sisi harus diakui ini merupakan bagian dialektika dalam Islam sebagaimana halnya ketika perdebatan keilmuwan luar bisa antara ulama muktazilah dan ulama sunni. Merawat Islam sebagai agama fitrah butuh kepada ilmu, keluhuran jiwa, dan sebagai insan Islam kita punya tanggung jawab untuk merawat kefitrahan Islam sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.

Tulisan ini Telah Dimuat Di Harian Serambi Indonesia, Penulis adalah Alumni dan Pengajar di Dayah Jeumala Amal.

Berada di Depan Makam Imam al-Syafi’i, Kairo-Mesir. Foto: Koleksi Pribadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *