Musyawarah Kesabaran

Sepercik Imajiner Oleh: Muhammad farhan Fadhillah

Di sebuah pesantren kecil bernama “Darussalam”, terjadi konflik antara dua kelompok santri. Kelompok pertama yang menguasai dapur umum mendapat julukan “Laskar Panci”. Kelompok kedua yang menguasai perpustakaan dijuluki “Pasukan Kitab”.

Masalahnya sepele: Laskar Panci menuduh Pasukan Kitab terlalu berisik saat diskusi malam, sementara Pasukan Kitab menuduh Laskar Panci menyembunyikan jatah makanan terbaik untuk kelompok mereka.

Ketegangan memuncak ketika sarapan pagi. Seorang santri dari Pasukan Kitab menemukan cacing di supnya. Tuduhan beterbangan. Hampir terjadi baku hantam kitab versus sendok sayur.

Kiai Abdul, pengasuh pesantren, tidak langsung melerai. Beliau justru mengumpulkan semua pihak di aula untuk “Musyawarah Kesabaran” sebuah forum penyelesaian konflik dengan pendekatan unik.

“Aturan pertama,” kata Kiai Abdul. “Setiap keluhan harus disampaikan dengan humor. Aturan kedua, setiap solusi harus menguntungkan kedua belah pihak.”

Para santri bingung. Bagaimana bisa keluhan disampaikan dengan humor?

Seorang santri dari Laskar Panci memberanikan diri mulai bicara. “Ustadz, kami merasa Pasukan Kitab terlalu berisik. Diskusi mereka seperti pasar malam, bedanya di pasar malam setidaknya ada makanan enak yang dijual!”

Aula hening sejenak, lalu tawa meledak. Termasuk dari Pasukan Kitab.

Seorang santri Pasukan Kitab membalas. “Kami memang berisik, Ustadz. Tapi itu karena kami lapar! Setiap kali ke dapur, jatah kami seperti diet paksa, sangat minimalis hingga kami bisa melihat alamat rumah semut di nasi kami!”

Kembali gelak tawa memenuhi aula.

“Bagus,” kata Kiai Abdul. “Sekarang, solusi yang menguntungkan kedua pihak?”

Setelah beberapa saat berpikir, seorang santri dari Pasukan Kitab mengangkat tangan. “Bagaimana jika kami memindahkan diskusi ke aula ini, bukan di dekat kamar Laskar Panci? Sebagai gantinya, kami ingin Laskar Panci mengajarkan kami memasak makanan sederhana untuk kegiatan diskusi malam.”

“Dan,” tambah seorang santri Laskar Panci, “kami ingin belajar mengaji dengan lebih baik. Mungkin Pasukan Kitab bisa bantu?”

Kiai Abdul tersenyum puas. “Ini dia! Solusi yang menguntungkan semua. Laskar Panci dapat ketenangan dan bantuan belajar. Pasukan Kitab dapat tempat diskusi dan keterampilan memasak. Kedua kelompok saling melengkapi.”

“Tapi Ustadz,” tanya seorang santri, “apa hubungannya ini dengan kesabaran?”

“Kesabaran,” jawab Kiai Abdul, “bukanlah menahan amarah sambil menggigit bibir hingga berdarah. Kesabaran adalah kemampuan melihat jauh ke depan, melampaui amarah saat ini, untuk mencapai hasil yang lebih baik.”

“Dan humor?” tanya santri lain.

“Humor adalah pengingat bahwa sebagian besar masalah kita tidak sepenting yang kita kira. Humor membuat kita sadar bahwa kita semua tidak sempurna, dan itu tidak apa-apa.”

Sejak hari itu, “Musyawarah Kesabaran” menjadi tradisi di Pesantren Darussalam untuk menyelesaikan konflik. Bukan dengan menahan emosi hingga meledak, bukan pula dengan mencaci hingga melukai, melainkan dengan kesabaran yang aktif dan humor yang mencerahkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *