Oleh: Muhammad Farhan
Bima adalah mozaik. Setiap kepingnya adalah bahasa, dan dalam setiap bahasa, ia adalah entitas yang berbeda, sebuah persona yang terkalibrasi sempurna dengan ritme dan melodi setiap idiom yang meluncur dari lidahnya. Dua belas bahasa ia kuasai, bukan sekadar sebagai alat komunikasi, melainkan sebagai kulit kedua, ketiga, hingga kedua belas. Dalam riuh rendahnya negosiasi bisnis di Shanghai, ia adalah Tuan Chen yang tegas dan penuh perhitungan, setiap kata Mandarin-nya setajam pedang. Di tengah keheningan majelis ilmu di Kairo, ia menjelma menjadi Yusuf, pendengar yang sabar, matanya memancarkan kebijaksanaan kuno seiring setiap frasa Arab yang ia serap dan terjemahkan.
Namun, ironisnya, dalam Bahasa Indonesia, bahasa tanah airnya, ia adalah Bima yang kikuk, seorang penyendiri yang gagap merangkai kata untuk mengungkapkan gejolak jiwanya sendiri. Ia adalah “bunglon linguistik”, julukan yang melekat erat, namun terasa seperti belenggu. Setiap hari adalah panggung, dan ia memainkan peran tanpa akhir, sementara esensi dirinya yang sebenarnya tersembunyi, terkubur di bawah lapisan-lapisan persona yang ia ciptakan.
Kabar itu datang seperti bisikan angin musim kemarau: Nenek Lestari berpulang. Sastrawan legendaris itu, yang karya-karyanya adalah sulaman filosofi dan keindahan kata, telah menyelesaikan bab terakhir dalam hidupnya. Bagi Bima, Nenek Lestari bukan hanya keluarga; ia adalah mercusuar, sosok yang memahami kompleksitas jiwa manusia melalui lensa kata-kata. Kepergiannya meninggalkan kekosongan, tetapi juga sebuah warisan tak terduga: sebuah manuskrip terakhir, belum rampung, yang dipercayakan kepada Bima.
Manuskrip itu tergeletak di meja kerja Nenek Lestari, di antara tumpukan buku dan catatan-catatan kecil. Sampulnya sederhana, bertuliskan tangan dengan tinta sepia: “Antologi Diri”. Ketika Bima membuka lembar pertama, ia merasakan getaran aneh. Ini bukan sekadar kumpulan tulisan; ini adalah peta jiwa. Penggalan-penggalan esai dan puisi, ditulis dalam berbagai bahasa—Prancis yang melankolis, Jerman yang presisi, Sansekerta yang meditatif, dan bahkan beberapa dalam aksara kuno yang hampir terlupakan. Yang paling mengejutkan Bima adalah bagaimana setiap tulisan itu, dalam bahasa apa pun ia terukir, merefleksikan pengalaman Nenek Lestari yang serupa dengan dirinya: pergulatan dengan identitas yang cair, bagaimana kepribadiannya seolah bertransformasi seiring bahasa yang ia gunakan.
“Setiap bahasa adalah sebuah ruangan dalam rumah jiwaku,” tulis Nenek Lestari dalam sebuah esai berbahasa Spanyol. “Di satu ruangan, aku adalah penari flamenco yang berapi-api; di ruangan lain, aku adalah filsuf yang merenung di tepi sungai.” Bima tertegun. Kalimat itu seolah dicabut dari benaknya sendiri.
Semakin dalam Bima menyelami “Antologi Diri” itu, semakin terkuak sebuah plot ganda yang memikat. Ia tidak hanya menerjemahkan kata-kata Nenek Lestari, tetapi juga merekonstruksi kisah hidupnya. Di sana, di antara baris-baris puisi dan paragraf esai, muncul sosok Lestari muda, seorang seniman yang berjuang mencari orisinalitas di tengah gempuran sastra asing yang mendominasi panggung intelektual pada masanya. Lestari muda, sama seperti Bima, merasakan fragmentasi identitas saat ia menjelajahi berbagai gaya penulisan dan bahasa, mencoba menemukan suaranya sendiri di antara gema suara-suara besar lainnya.
“Apakah aku hanya kumpulan kutipan?” Sebuah pertanyaan retoris dalam bahasa Inggris tergores di halaman buku catatan Nenek Lestari. “Atau adakah melodi asli yang bisa kunyanyikan?”
Petunjuk-petunjuk mulai bermunculan, ditinggalkan Nenek Lestari seolah remah roti bagi Bima untuk diikuti. Serangkaian aliterasi tersembunyi dalam puisi-puisinya, membentuk akrostik nama-nama tempat dan tokoh. Sebuah sketsa kasar pohon silsilah linguistik, bukan berdasarkan keturunan darah, melainkan berdasarkan pengaruh bahasa dan aliran sastra, tergambar di balik halaman sebuah puisi tentang kehilangan. Petunjuk-petunjuk ini menuntun Bima pada sebuah pencarian yang melintasi arsip-arsip tua yang berdebu, perpustakaan-perpustakaan tersembunyi di gang-gang sempit kota tua, hingga pertemuan dengan kolega-kolega Nenek Lestari yang masih tersisa, para penjaga memori yang menyimpan kepingan kisah sang maestro.
Setiap dokumen yang ia temukan, setiap surat yang ia baca, setiap percakapan yang ia rekam, adalah sebuah terjemahan baru. Bima, sang penerjemah simultan, kini menerjemahkan masa lalu, menerjemahkan jejak langkah seorang wanita yang telah lebih dulu berjalan di labirin identitas yang sama. Ia menemukan bagaimana Nenek Lestari, dalam keputusasaannya mencari “suara asli”, justru menemukan kekuatan dalam kemampuannya beresonansi dengan berbagai “suara” lain. Ia tidak menolak pengaruh, melainkan menyerapnya, mentransformasikannya menjadi sesuatu yang unik miliknya.
Dalam sebuah surat kepada sahabat penanya di Jepang, Nenek Lestari menulis, “Aku sadar, sahabatku, bahwa mencari satu ‘suara asli’ adalah seperti mencoba menangkap angin. Mungkin, keaslian bukanlah tentang singularitas, melainkan tentang bagaimana kita merangkai polifoni dalam diri kita menjadi sebuah simfoni yang harmonis.”
Kata-kata itu menghantam Bima. Selama ini, ia merasa terpecah, terdisorientasi oleh banyaknya peran yang ia mainkan. Ia melihat setiap persona sebagai topeng yang menyembunyikan kekosongan. Namun, melalui perjalanan Nenek Lestari, ia mulai melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana jika setiap persona itu bukanlah topeng, melainkan aspek dari dirinya yang kaya? Bagaimana jika Tuan Chen yang tegas, Yusuf yang sabar, dan bahkan Bima yang kikuk, semuanya adalah bagian integral dari narasi hidupnya yang terus berkembang?
Di sebuah perpustakaan tua di Leiden, di antara rak-rak buku beraroma vanila dan sejarah, Bima menemukan inti dari “Antologi Diri” Nenek Lestari. Itu adalah sebuah puisi pendek, ditulis dalam Bahasa Indonesia yang paling sederhana namun paling mengena:
Suara-suara menari dalam diriku,
Dari Timur, dari Barat, kidung merdu.
Bukan topeng, bukan pula bayangan semu,
Melainkan taman jiwa, ragamnya menyatu.
Setiap bahasa, satu kelopak merekah,
Membentuk bunga diri, utuh dan megah.
Air mata mengalir di pipi Bima. Bukan air mata kesedihan, melainkan kelegaan, pemahaman yang mendalam. Ia akhirnya mengerti. Nenek Lestari tidak pernah kehilangan dirinya dalam banyak bahasa; ia justru menemukan keluasan dirinya. Dan Bima pun demikian.
Ia kembali ke meja kerjanya, bukan lagi sebagai penerjemah yang terfragmentasi, melainkan sebagai kurator dari antologi dirinya sendiri. Ia menyelesaikan terjemahan manuskrip Nenek Lestari, setiap kata ia pilih dengan penghayatan baru. Dan saat ia menulis kata pengantar untuk buku itu, ia menulisnya sebagai Bima—bukan Tuan Chen, bukan Yusuf, tetapi Bima yang telah merangkul semua suara dalam dirinya.
Ia menyadari bahwa menemukan “suara asli” bukanlah tentang menghapus persona-persona yang telah ia hidupi. Bukan tentang memilih satu bahasa untuk menjadi dirinya yang “sebenarnya”. Melainkan tentang merayakan keragaman itu, mengakui bahwa setiap nuansa, setiap intonasi, setiap peran yang ia mainkan, adalah bab penting dalam kisah agungnya sendiri. Ia adalah bunglon, bukan karena ia tidak memiliki warna asli, tetapi karena ia mampu memancarkan semua warna pelangi.
Bima tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa utuh. Ia siap menulis bab berikutnya, dengan semua suara dalam dirinya bernyanyi dalam harmoni, sebuah antologi diri yang terus ditulis, terus berkembang, fenomenal dalam keunikannya.