Tiga Puluh

Sebuah cerpen oleh Thasoedi (Guru MTs)

Elon menatap layar laptopnya, matanya lelah setelah berjam-jam menyusun laporan kuartal. Teleponnya bergetar—notifikasi ucapan ulang tahun dari aplikasi bank. *”Selamat ulang tahun, Elon! Semoga di usia ke-30 ini, semua impianmu tercapai.”*

Dia menghela napas. Tiga puluh. Usia yang dulu terasa jauh, kini menghampiri seperti tamu tak diundang. Tangannya menggeser layar ponsel, melihat deretan pesan dari kolega dan beberapa teman lama. Tidak ada yang spesial, hanya ucapan formal. Tidak ada yang mengajaknya minum seperti dulu, tidak ada yang mengetuk pintu rumahnya dengan kue dan balon.

Dia ingat, lima tahun lalu, ulang tahunnya ramai. Teman-teman kampus, rekan kerja, bahkan kenalan dari medsos berdatangan. Tapi sekarang? Circle-nya tinggal segelintir orang. Bukan karena dia berubah jadi sombong, tapi karena dia mulai selektif.

Di usia 25, Elon adalah orang yang supel. Dia selalu bilang, “Teman itu investasi, makin banyak makin baik.” Tapi satu per satu kejadian membuatnya mengerti: tidak semua orang pantas dipertahankan.

Ada Jeff, teman kuliah yang selalu meminjam uang dan hilang begitu utangnya menumpuk. Ada Bill, rekan kerja yang hanya datang ketika butuh bantuan, tapi menghilang saat Elon kena PHK sementara dua tahun lalu. Dan yang paling menyakitkan: Steve, sahabatnya sendiri, yang diam-diam menyabotase promosi Elon dengan menyebarkan rumor tidak benar.

Elon tidak marah. Dia hanya lelah.

Kembali ke masa sekarang, Elon baru saja dipromosikan jadi kepala divisi. Seharusnya ini saatnya bahagia, tapi malah bikin suasana makin rumit.

Ding! Pesan masuk dari grup alumni.

“Woy Elon, lo kan sekarang jabatan tinggi, traktir dong! Jangan jadi orang kaya pelit!”

Dia membaca pesan itu berulang kali. Dulu, dia akan langsung membalas dengan “Gaskeun!” Tapi sekarang, jemarinya diam. Dia tahu, jika dia traktir, mereka akan datang. Tapi besok, ketika dia butuh, mereka akan sibuk.

Malam itu, dia dapat telepon dari ibunya.

“Elon, kamu baik-baik saja? Kata temanmu, kamu sekarang jarang keluar, jarang mau diajak kumpul.”

Elon menghela napas. “Aku baik-baik saja, Bu. Aku hanya… memilih.”

Ibunya terdiam. “Tapi kamu tidak boleh menyendiri. Manusia butuh teman.”

Elon ingin bilang, “Aku punya teman, Bu. Tapi aku lebih memilih sedikit yang tulus daripada banyak yang palsu.” Tapi dia hanya mengangguk, meski ibunya tidak melihat.

Di hari ulang tahunnya, Elon memutuskan untuk mengunci diri di rumah. Tidak ada pesta, tidak ada postingan di media sosial. Hanya dia, secangkir kopi, dan buku favoritnya.

Tapi kemudian, bel rumahnya berbunyi.

Dia membuka pintu—ada Mark, teman lamanya yang dulu pernah bertengkar soal bisnis gagal mereka.

“Lo pikir aku akan lupa ulang tahun lo?” Mark tersenyum, tangan mengangkat kardus berisi kue sederhana.

Elon terkejut. Mereka tidak berkomunikasi hampir setahun.

“Aku… aku kira lo marah,” gumam Elon.

Mark menggeleng. “Aku marah waktu itu, tapi bukan berarti kita nggak bisa perbaiki. Lo tahu, kan? Aku nggak pernah niat ninggalin lo beneran.”

Di saat yang sama, telepon Elon berdering. Pesan dari Warren, teman sekamarnya dulu yang sekarang tinggal di luar kota.

“Happy birthday, bro. Maaf nggak bisa dateng. Tapi lo tahu, kan? Gue selalu ada kalau lo butuh.”

Elon menatap layar, lalu Mark, lalu kembali ke layar. Tiba-tiba, rasanya berat di dada.

Dia tersadar: lingkaran pertemanannya memang mengecil, tapi bukan karena dia gagal bersosialisasi. Tapi karena dia akhirnya mengerti mana yang tulus dan mana yang hanya pencitraan.

Dulu, dia takut dikucilkan jika tidak ikut arus. Tapi sekarang, dia lebih takut kehilangan diri sendiri hanya untuk menyenangkan orang lain.

Mark memeluknya. “Lo nggak sendiri, Elon. Nggak pernah.”

Elon menunduk, air matanya jatuh. Mungkin inilah arti dewasa: belajar melepas yang palsu, meski itu berarti harus sendirian sebentar.

Dan di usia tiga puluh ini, dia akhirnya mengerti: lebih baik punya sedikit tangan yang siap menopangmu, daripada banyak tangan yang hanya menjulur saat butuh.

Ketika seseorang memilih untuk fokus pada dirinya, dunia mungkin akan membencinya. Tapi ketenangan yang didapatkan jauh lebih berharga daripada keramaian yang penuh kepura-puraan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *