Transformasi Sosial dan Politik Quraisy Setelah Kehadiran Islam

Oleh: Azmi Abubakar

Suku Quraisy, yang pada masa pra-Islam berperan sebagai penguasa dan pelindung Ka’bah di Mekkah, mengalami perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan setelah kedatangan Islam. Transformasi ini terlihat dari reaksi awal mereka terhadap ajaran Islam hingga proses penerimaan yang terjadi secara bertahap. Dalam Al-Qur’an, terdapat satu surah yang dinamakan sesuai suku Quraisy, yaitu Surah Quraisy.

Allah SWT berfirman dalam Surah Quraisy ayat 2:

اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ

Artinya: “(Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga memperoleh banyak keuntungan).”

Menurut Al-Wahidi dalam kitab Asbabun Nuzul, Rasulullah SAW bersabda:

قال النبي – صلى الله عليه وسلم -: “إن الله فضل قريشًا بسبع خصال – لم يعطها أحدًا قبلهم ولا يعطيها أحدًا بعدهم -: إن الخلافة فيهم، وإن الحجابة فيهم، وإن السقاية فيهم، وإن النبوة فيهم، ونصروا على الفيل، وعبدوا الله سبع سنين لم يعبده أحد غيرهم، ونزلت فيهم سورة لم يذكر فيها أحد غيرهم.”

Artinya, “Allah memuliakan kaum Quraisy dengan tujuh keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelum atau sesudah mereka: kekhalifahan ada pada mereka, tugas menjaga Ka’bah (hijabah) ada pada mereka, tugas memberi minum jamaah haji (siqayah) ada pada mereka, kenabian ada pada mereka, mereka ditolong dari serangan pasukan gajah, mereka menyembah Allah selama tujuh tahun ketika tidak ada kaum lain yang melakukannya, dan satu surah diturunkan khusus untuk mereka tanpa menyebut kaum lain,” (Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2000], jilid I, h. 239).

Ayat ini juga menegaskan peran penting Quraisy dalam menguasai jalur perdagangan dari Syam hingga Yaman. Keluarga Rasulullah SAW pun terlibat dalam aktivitas ini; Sayyidina Hasyim, kakek Nabi, wafat di Syam saat berdagang, begitu pula ayah Nabi yang meninggal di Madinah (Husein Muknis, Tarikh Quraisy, [Jeddah: Dar Su’udiyah, 1988], h. 161). Husein Muknis dalam kitabnya mencatat, “Abdul Muthalib, Bani Hasyim, dan sekutu mereka mewajibkan para pedagang mematuhi etika yang ketat, seperti berlaku jujur, bermuamalah dengan baik, ramah tamah, memberikan keamanan, dan menunaikan hak pedagang lainnya.” (h. 164).

Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyebarkan Islam di Mekkah, para pemimpin Quraisy menunjukkan penolakan keras. Mereka menganggap ajaran Islam mengancam tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang telah mereka nikmati. Perjalanan haji tahunan, yang menjadi sumber kekayaan mereka karena menarik ribuan orang untuk menyembah berhala di sekitar Ka’bah, dianggap terancam oleh dakwah Islam. Husein Muknis menyebutkan bahwa perjalanan dakwah Nabi melewati berbagai fase konflik dengan Quraisy, termasuk periode sebelum Islam, masa awal di Mekkah yang ditandai dengan wafatnya Sayyidah Khadijah dan Abu Thalib, boikot terhadap Bani Hasyim dan Bani Al-Muthalib di Syi’b Abi Thalib, hingga ejekan saat Nabi menuju Thaif. Pada masa ini, Abu Sufyan bin Harb dan klan Abd Syams memanfaatkan situasi untuk memperkuat kepemimpinan mereka dalam melawan Islam. (h. 243).

Ketika Allah memerintahkan dakwah secara terbuka, Rasulullah mengumpulkan pemuka Quraisy di Bukit Shafa. Di sinilah Abu Lahab menunjukkan sikap kerasnya dengan memengaruhi masyarakat untuk menolak ajaran Nabi, hingga turun Surah Al-Lahab sebagai teguran.  Para pemimpin seperti Abu Jahal dan Abu Sufyan berusaha menghentikan Islam dengan ancaman fisik, fitnah, dan kebohongan untuk mencegah masyarakat Mekkah terpengaruh. Namun, ada pula yang mulai tertarik, seperti Umar bin Khattab, yang awalnya memusuhi Islam tetapi kemudian menjadi sahabat setia Nabi.

Kedatangan Islam membawa dampak besar pada struktur sosial Quraisy. Sebelumnya, masyarakat Quraisy bersifat hierarkis dengan kelas sosial yang tegas: para bangsawan menikmati hak istimewa, sementara budak dan kaum miskin sering terabaikan.  Islam mengajarkan kesetaraan, bahwa manusia hanya dibedakan oleh ketakwaan kepada Allah. Ajaran ini memberi peluang kepada kaum terpinggirkan untuk mendapatkan hak yang setara, mengubah dinamika sosial yang sebelumnya mengutamakan status dan harta. Perubahan ini tidak langsung diterima. Para pemimpin Quraisy, terutama Abu Jahal, menganggap Nabi ingin mengembalikan kekuasaan kepada Bani Hasyim. Abu Jahal mempertahankan sikapnya hingga akhir hayatnya.  Namun, seiring waktu, semakin banyak orang Quraisy yang memeluk Islam. Puncak transformasi terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah dan Fathul Mekkah pada 630 M.

Dalam penaklukan Mekkah, kaum Muslimin menguasai kota tanpa perlawanan berarti. Abu Sufyan, yang sebelumnya gigih menentang, akhirnya memeluk Islam dan menyadari bahwa Rasulullah membawa kenabian, bukan sekadar kekuasaan. Penerimaan Islam oleh para pemimpin Quraisy menjadi simbol perubahan sosial dan politik yang signifikan. Pasca-Fathul Mekkah, Rasulullah melibatkan banyak tokoh Quraisy dalam dakwah.   Setelah wafatnya Nabi, kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh khalifah dari kalangan Quraisy, termasuk Muawiyah bin Abi Sufyan yang mendirikan Dinasti Umayyah.

Dinasti ini berkuasa dari 661 hingga 750 M dan mempercepat penyebaran Islam ke Persia, Mesir, dan Timur Tengah, berkat dukungan kuat dari Quraisy. Peran suku Quraisy dalam mengenalkan Islam ke dunia sangatlah besar. Nilai-nilai ketaatan, penghormatan, kasih sayang, kejujuran, dan persatuan, seperti yang dicontohkan Abdul Muthalib dalam perdagangan, hingga menjadi fondasi yang mengantarkan masyarakat Quraisy menuju kemuliaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *