Oleh: Mishbahul Munir, S.Hum., M.Pd.
Mengajar adalah kegiatan suci untuk mentransfer ilmu (talaqqi) dari seorang guru kepada murid. Mengajarkan sebuah disiplin ilmu yang baik kepada murid bukan sekedar menjelaskan saja dan murid mendengar. Namun ada tata cara tersendiri yang mengatur agar pengajaran dapat terlaksana seefektif mungkin.
Ibnu Khaldun, sang sejarawan dan bapak sosiologi Islam kelahiran Tunisia pada abad ke-14, menawarkan cara yang benar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan beserta metode penerapannya. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat berpengaruh dalam bidang akademik. Ia dikenal sebagai ilmuan besar yang berhasil menulis banyak karya seperti kitab Muqaddimah yang merupakan pengantar dari seluruh kajian bidang keilmuan. Kemudian ada kitab Al-‘Ibar dan Al-Ta’rif sebagai lanjutan dari kitab tersebut.
Beliau secara khusus menyampaikan tentang bagaimana cara yang benar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan, sebagai satu pasal khusus dalam kitabnya. Menurutnya dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, bahwa mengajarkan ilmu itu harus dilakukan secara bertahap, إذا كان على التدريج شيئا فشيئا وقليلا قليلا, yaitu satu demi satu dan sedikit-sedikit. Tidak boleh diburu-buru untuk mengejar target, namun sesuai porsi dan kesiapan murid untuk menerima ilmu tersebut. (Aleksandria, Darul ‘Aqidah 2008 H: 623)
Menurut Ibnu Khaldun, setidaknya ada tiga langkah yang harus ditempuh guru saat mulai mengajar agar proses belajar berjalan maksimal. Pertama, memaparkan permasalahan umum dari setiap tema yang dipelajari secara ringkas. Ini dilakukan untuk melihat kesiapan murid menerima ilmu tersebut, di samping untuk memahami potensinya. Saat ini pemahaman murid akan dasar ilmu sudah baik namun masih lemah, karena memang tujuannya adalah hanya ingin mengenalkan dasar dan permasalahan dari ilmu yang dipelajari.
Kedua, guru mengajarkan kembali tema yang sama kepada murid, namun dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Guru menerangkan secara terperinci setiap tema lengkap dengan ikhtilaf pendapat yang terdapat padanya. Tujuannya agar murid dapat memahami dasar keilmuan secara mendalam dan terperinci.
Setelah melewati kedua langkah di atas, baru kemudian masuk ke langkah ketiga. Di mana guru membahas kembali tema yang dipelajari sebelumnya dengan menambah beberapa pendekatan cabang ilmu lain. Tahap pembelajaran ini benar-benar diperuntukkan bagi murid yang sudah siap, dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun menyebutkan تتم الملكة في الاستعداد ثم في التحصيل. Jika murid sudah siap baru kemudian ia mampu menerima ilmu tahap selanjutnya. (Aleksandria, Darul ‘Aqidah 2008 H: 623)
Tahap ini murid diajarkan untuk mampu memahami asal muasal sebuah kajian. Misalnya ketika mempelajari ilmu Fiqh, guru menggunakan pendekatan Mustalahul Hadist, Ilmu Tafsir, Ushul Fiqh, dan lainnya untuk menjelaskan isi pembelajaran secara mendetail dan eksplisit. Di sini pula guru memaparkan contoh-contoh realistis yang dirasakan, serta analisis yang dapat memperkuat pemahaman murid. Sehingga pemahaman muridsudah mencapai tahapan menguasai dan ahli dalam cabang ilmu tersebut.
Ketiga langkah di atas sudah dipraktikkan oleh para ulama terdahulu, tak terkecuali di nusantara. Ilustrasi ringkas dapat di lihat pada bagaimana para ulama menyusun kurikulum dalam pesantren misal untuk mempelajari ilmu Fiqh. Mereka membagikannya kepada tiga tingkat, Ula, Wustha, dan Ulya. Banyak pesantren masyhur tingkat menengah di Aceh menggunakan kitab Matn al-Ghayah wa al-Taqrib untuk kelas awal, kemudian kitab Hasyiah al-Bajuri, lalu pada tingkat di atasnya mempelajari kitab I’anatu al-Thallibin, dan pada tingkat selanjutnya menggunakan kitab Al-Mahally ‘Ala Minhaj At-Thalib.
Tahapan pembelajaran di atas mencerminkan praktik cara mengajar ala Ibnu Khaldun, yaitu secara bertahap, berangsur-angsur dan sedikit demi sedikit. Beliau melarang para guru untuk langsung menyampaikan perkara yang rumit kepada murid, ini bukan metode belajar yang efektif. Guru tidak boleh menuntut murid agar segera dapat memecahkan sebuah permasalahan rumit. Anak SMP tidak boleh langsung dituntut untuk mengerjakan soal Logaritma dan Limit pada mata pelajaran Matematika. Mereka akan siap pada tingkat SMA dan benar-benar menguasai ilmu dasarnya.
Jika hal ini dilakukan, bukannya membuat murid bisa pintar, justru ini yang membingungkan mereka. Murid akan merasa kesulitan mempelajari pelajaran tersebut. Lama-kelamaan rasa sulit itu akan membentuk ketidaksukaan dan berakhir pada kebencian. Tentu keadaan ini bukanlah yang diinginkan oleh para guru. Inilah jawaban kenapa murid enggan belajar di sekolah.
Di akhir pembahasan, Ibnu Khaldun memberikan atensi khusus kepada guru saat mengajar (Aleksandria, Darul ‘Aqidah 2008 H: 624). Pertama, guru tidak boleh menambahkan materi lain kepada murid di luar yang telah ditentukan sebelumnya, مبتدئًا كان أم منتهيًا, baik untuk pemula atau lanjutan. Jika murid sudah menguasai ilmu tersebut ini akan memperluas keilmuannya secara mandiri.
Kedua, guru tidak boleh memperpanjang periode pengajaran dalam satu bidang ilmu dengan menunda-nunda kelas. Sebab, jarak waktu ini dapat menyebabkan murid lupa dengan materi yang terakhir dipelajari, sehingga naluri murid bisa terputus untuk memahami pelajaran.
Ketiga, menurut Ibnu Khaldun bahwa metode terbaik dalam pengajaran adalah أن لا يخْلط على المتعلم علمان معًا, yaitu guru tidak boleh mempelajari dua cabang ilmu sekaligus kepada murid dalam satu waktu. Menurutnya, cara ini dapat membagi konsentrasi murid dan tidak dapat memberikan pemahaman secara maksimal kepada kedua cabang ilmu tersebut. Apabila pikiran murid difokuskan pada mempelajari cabang ilmu yang menurutnya mudah dipahami terlebih dahulu, maka ia akan berpeluang untuk memahami dan menguasai ilmu tersebut. []