Nafkah Halal: Kunci Keberkahan Hidup Anak

Oleh: Azmi Abubakar

Pengajar di Dayah Jeumala Amal

Salah satu kewajiban seorang ayah adalah memberikan nafkah kepada anak, dan ia harus memastikan bahwa nafkah tersebut benar-benar halal. Meskipun misalnya si ayah telah bercerai dengan istrinya, kewajiban nafkah terhadap anak tidak hilang. Dalil wajibnya nafkah terhadap anak terdapat dalam Al-Qur’an surat Ath-Thalaq ayat 6:

فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ

Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu, maka berikanlah imbalannya kepada mereka.”

Imam Ath-Thabari dalam Kitab Tafsirnya (Kairo, Darul a’arif: XXIII/457) menjelaskan ayat ini:

أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن لتضيقوا عليهن وإن كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن وأتمروا بينكم بمعروف وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما آتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ما آتاها سيجعل الله بعد عسر يسرا

Artinya, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu, maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Dan jika kamu tidak dapat menyusukan (anak), maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan berilah makan mereka (para pekerja) dari harta yang diberikan Allah. Allah akan memudahkan bagimu setelah kesulitan.”

Dalil yang kedua adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang dikutip oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (Kairo, Darur Rayyan, 1986: IX/417), ketika Hindun mengadu kepada Nabi, dan Nabi menjawabnya:

حدثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى عن هشام قال أخبرني أبي عن عائشة أن هند بنت عتبة قالت يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم فقال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف

Artinya, “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad Ibn Mutsanna, Telah mengabarkan kepada kami Yahya dari Hisyam, telah memberitakan kepada kami dari ayahnya dari ‘Aisyah, bahwa Hindun binti Utbah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit, ia tidak memberi nafkah yang cukup kepadaku dan juga anakku. Apakah boleh aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya?’ Beliau menjawab: ‘Ambillah apa yang mencukupi untukmu dan anakmu dengan ma’ruf.'”

Di sisi lain, kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak-anaknya juga bersyarat. Pertama, sang ayah harus mampu memiliki penghasilan yang lebih dari cukup untuk kebutuhan pribadi. Kewajiban nafkah ini tidak hilang kecuali dalam keadaan sang ayah adalah seorang tunanetra, lemah fisik dan akalnya, sehingga tidak ada kemungkinan untuk mencari nafkah kecuali dengan bergantung kepada orang lain.

Kedua, penting juga untuk memastikan bahwa anak tidak diberikan nafkah dari sumber yang haram. Makanan dan minuman yang berasal dari nafkah haram sangat memengaruhi kehidupan seseorang, termasuk kehidupan akhiratnya setelah kematian. Dalam sebuah Hadits yang dikutip Ibnu al-Asqalani dalam Talkhisul Habir (Kairo, Muassasah Qurtubah, 1995: IV/274), Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Artinya, “Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas untuknya.”

Hadits di atas juga mengindikasikan bahwa memberikan makanan haram dapat mengurangi keberkahan, menolak doa, dan menjadi sebab durhaka kepada orang tua. Seorang ayah harus benar-benar memastikan bahwa makanan anaknya seratus persen halal, karena sedikit saja tercampur dengan yang haram, anak akan merasakan dampak buruknya. Darah yang mengalir dan daging yang tumbuh di tubuhnya akan terkontaminasi, terbentuk dari zat haram, sehingga menutup rahmat Allah SWT.

Lebih lanjut, memberikan makanan haram dapat menyebabkan anak menjadi nakal dan akhirnya menjadi durhaka kepada orang tuanya. Hal ini telah diingatkan pula oleh Imam Murtadha Al-Zabidi:

وقال سهل رضي الله عنه من أكل الحرام عصت جوارحه شاء أم أبى ، علم أو لم يعلم ومن كانت طعمته حلالا أطاعته جوارحه ووفقت للخيرات.

Artinya: “Sahal RA berkata: Barangsiapa memakan yang diharamkan, maka anggota tubuhnya menjadi durhaka, baik dia suka atau tidak, diketahui atau tidak. Barangsiapa mencicipi makanan yang halal, maka anggota tubuhnya akan mentaatinya dan berhasil beramal shaleh, (Murtadha Al-Zabidi, Ithaf Al-Sadah Al-Muttaqin Bi Syarhi Ihya Ulumuddin, Beirut, Muassasah Al-Tarikh Al Arabiy, 1994, Jld. VI, Hal. 11).

Pada masa Rasulullah SAW, ada seorang sahabat bernama Abu Dujanah. Setiap kali selesai salat berjamaah subuh bersama Nabi, Abu Dujanah selalu terburu-buru pulang tanpa menunggu doa yang dipanjatkan Rasulullah. Pada suatu kesempatan, Rasulullah meminta penjelasan dari Abu Dujanah.

Abu Dujanah menjelaskan bahwa rumahnya berdampingan dengan rumah seorang laki-laki. Di pekarangan tetangganya ada satu pohon kurma yang menjulang ke rumahnya. Setiap kali angin bertiup pada malam hari, buah kurma tersebut jatuh ke rumahnya.

Ia juga menjelaskan bahwa keluarganya sangat miskin, dan anak-anaknya sering kelaparan. Karena itu, setelah salat subuh, ia bergegas pulang sebelum anak-anaknya bangun. Ia mengumpulkan kurma yang jatuh dan menyerahkannya kembali kepada tetangganya. Suatu kali, Abu Dujanah pulang terlambat dan menemukan anaknya sedang mengunyah kurma yang jatuh pada malam sebelumnya.

Mengetahui hal itu, ia segera memasukkan jarinya ke mulut sang anak dan mengeluarkan apa pun yang ada di sana. Ia berkata, “Nak, janganlah kau permalukan ayahmu di akhirat kelak.” Anaknya menangis, sangat kelaparan, namun Abu Dujanah tetap berkata, “Hingga nyawamu lepas pun, aku tidak akan rela meninggalkan harta haram dalam perutmu. Segala yang haram akan aku keluarkan dan aku kembalikan kepada pemiliknya yang berhak.” Kemudian kisah ini sampai kepada Nabi, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Bakri dalam I’anatuth Thalibin (Kairo, Darul Fikr, 1997: III/293):

فدمعت عينا النبي صلى الله عليه وسلم، وسأل عن صاحب النخلة، فقيل له: فلان المنافق، فاستدعاه، وقال له: بعني تلك النخلة التي في دارك بعشرة من النخل

Artinya: “Mata Nabi SAW berkaca-kaca, lalu beliau bertanya tentang pemilik pohon kurma tersebut, dan diberitahukan kepadanya bahwa si Fulan adalah seorang munafik. Nabi memanggilnya dan bersabda, ‘Juallah kepadaku pohon kurma yang ada di rumahmu itu dengan sepuluh pohon kurma’.”

Kisah Abu Dujanah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga integritas dalam hal kehalalan nafkah dan makanan bagi keluarga. Abu Dujanah, meskipun dalam kondisi miskin dan keluarganya kelaparan, tetap teguh untuk tidak membiarkan sedikit pun makanan haram masuk ke tubuh anaknya, karena ia sadar akan konsekuensi beratnya di akhirat.

Hal ini mengajarkan kita tentang tanggung jawab moral dan spiritual seorang ayah dalam memastikan bahwa segala sesuatu yang dikonsumsi keluarganya bersumber dari yang halal. Kesungguhan Abu Dujanah menunjukkan bahwa kejujuran, ketakwaan, dan kehati-hatian dalam menjalani hidup dapat mengundang rahmat Allah, bahkan di tengah kesulitan.

Dengan demikian, seorang ayah memegang tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa segala bentuk nafkah yang diberikan berasal dari sumber yang halal. Hanya dengan menjaga kehalalan nafkah, rahmat dan ridha Allah akan senantiasa tercurah kepada keluarga dan generasi penerus. Semoga kita semua diberikan kekuatan untuk menjalankan amanah ini dengan baik dan dijauhkan dari segala hal yang haram. Wallahu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *