Oleh: Thasoedi (Guru MTs)
“Bahasa menunjukkan bangsa”, begitulah tamsil atau perumpamaan yang sudah lama kita dengar dari nenek moyang kita.
Sebagai media komunikasi, bahasa sangat erat kaitannya dengan kultur dan kebiasaan penutur dalam melakukakn interaksi sosial. Bahkan, dalam perkembangannya, bahasa telah menjadi sebuah ikon dan simbol status sosial penuturnya. Tak berlebihan apabila penutur alias pengguna bahasa berusaha mengekpresikan dan mengaktualisasikan jati diri melalui bahasa yang sesuai dengan situasi kultural dan gaya tutur personalnya. Dalam konteks demikian, bahasa tak jarang digunakan mengekspresikan sikap santun dan hormat sebagai bagian dari perilaku kulturnya. Pernah mendengar tuturan, seperti: “Maaf, mohon izin ke belakang sebentar!” atau “Lelaki itu berubah akal setelah istrinya meninggal.” Idiom “ke belakang” atau “berubah akal” dalam konteks tuturan tersebut biasanya digunakan untuk menggantikan ungkapan yang konotasinya cenderung jorok dan kasar, seperti “ke WC” atau “gila”. Dengan menggunakan idiom-idiom semacam itu, tuturan akan terkesan menjadi lebih halus dan santun.
Idiom “ke belakang” atau “berubah akal” yang sering disebut sebagai majas Eufisme, digunakan untuk menyatakan sikap santun dan hormat. Kata “eufemisme” sendiri berasal dari bahasa Yunani, euphemizein, yang berarti “berkata dengan baik”. Hal ini juga berkaitan dengan sikap hidup bangsa kita yang enggan berkonflik. Dengan menggunakan eufismitik, hal-hal yang tabu atau hal-hal yang bisa membuat lawan tutur tersinggung bisa dihindari. Tak heran jika kita sudah demikian akrab dengan idiom-idiom semacam: “tunarunggu” untuk menggantikan kata “tuli” atau “tunawisma” untuk menggantikan “gelandangan”.
Dalam perkembangannya, majas eufisme juga kerap digunakan menutupi kenyataan yang sebenarnya untuk menghilangkan kesan negatif. Sebagai contoh, “Harga minyak disesuaikan untuk menjaga stabilitas anggaran”. “Pemerintah sedang mengupayakan bantuan pangan untuk rakyat desa tertinggal“. “Pencopet itu telah diamankan oleh pihak yang berwajib”, atau “Karyawan itu terpaksa dirumahkan karena telah melanggar peraturan”.
Persoalannya sekarang, apakah penggunaan kata disesuaikan, desa tertinggal, diamankan, dan dirumahkan dalam konteks kalimat tersebut benar-benar sesuai dengan realitas yang sesungguhnya? Tentu saja tidak, bukan? Bisa jadi, tuturan tersebut dimaksudkan agar tidak menimbulkan kegaduhan sosial yang berdampak negatif.
Majas eufisme dalam berbagai tuturan tentu saja sangat lazim digunakan sepanjang tidak disalahgunakan untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya. Majas eufisme akan lebih tepat digunakan untuk memperhalus ucapan demi menciptakan kesantunan dan tata krama sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti saat verada dalam situasi formal, berbicara dengan orang yang lebih tua atau atasan, saat sedang membahas topik yang sensitif layaknya kematian, penyakit, dan masalah sosial lainnya. Namun sebagai catatan, bahwa penggunaan eufemisme yang berlebihan dapat membuat pesan menjadi kurang jelas atau bahkan terdengar tidak jujur.
Semoga masyarakat kita makin cerdass dan arif dalam memilih tuturan yang tepat sesuai dengan konteksnya.