Estetika Untuk Hidup Sederhana

Oleh: Muhammad Nizarullah

“Kesempurnaan sejati manusia tidak terletak pada apa yang dimiliki manusia, tetapi pada apa adanya manusia.”

– Oscar Wilde

Kelaparan begitu tergambar pada sepasang bola mata anak itu pada sebuah foto esai karya James Nachtwey di halaman muka sebuah majalah. Tercuat kesedihan yang tak tau bagaimana ia gambarkan lagi, yang tak tau bagaimana cara ia keluarkan air matanya lagi. Tiba-tiba majalah itu sudah berpindah ke tangan seorang anak berusia 6 tahun. Mata yang awalnya bersinar, setelah melihat potret itu membuat sinar dimatanya redup, dan penuh tanda tanya dalam benaknya. Kenapa sepasang bola mata yang ada di majalah itu kelaparan? Kemana orang tuanya, Dimana ia tinggal, kenapa ia tidak memiliki pakaian, dan banyak lagi kenapa-kenapa lainnya.

Tetapi yang melaju dari bibir anak itu hanya satu ‘kenapa.’ “Kenapa bola matanya kelaparan?” Kuraih Kembali majalah itu dari tangannya sambil menerangkan apa yang perlu diterangkan pada anak yang berusia 6 tahun.

“Karena sering ga makan!” Kataku seadanya.

Hampir saja “Kenapa” lainnya mencuat dari mulutnya, jika aku tak segera berpindah topik. “Lihatlah taman ini, banyak teman-temanmu bermain disini. Coba tebak warna apa saja yang ada di gambar ini?” kucoba untuk mengalihkan perhatiannya dari foto yang memiliki banyak pertanyaan itu.

Bagaimana mungkin bisa kujelaskan pada anak yang baru berusia 6 tahun soal estetika kesempurnaan. Jika kujelaskan padanya, “Hidup itu tidak sempurna nak, maka cara untuk menjalankan hidup yang tidak sempurna, butuh seni agar memahami makna sederhana.” Apakah tidak melahirkan kata “Kenapa” lainnya?

Dalam sekejab, anak itu dihampiri ibunya yang baru saja selesai berbelanja buku di sebuah toko di tepi jalan taman siswa. Karena pertanyaan yang kuanggap kritis dari anak itu, membuatku memikirkan makna dari kata sempurna dan sederhana. Apa yang sebenarnya dikejar oleh manusia? Kesempurnaan seperti apa yang diinginkan? Apakah tanpa kata sempurna mereka tidak bisa bernafas? Bagaimana jika mereka yang disebut disabilitas adalah wujud dari kesempurnaan? Bagaimana dengan mereka yang mengklaim dirinya berpangkat, berduit, dan memiliki apa yang ia inginkan ternyata tidak seperti apa yang ia mau? Sempurnakah itu?

Kesempurnaan itu akan datang pada mereka yang memiliki prinsip kesederhanaan. Jika penulis besar itu menunggu kesempurnaan dalam tulisannya, ia tidak akan sampai pada titik yang membuat ia memikirkan bahwa tulisannya sederhana, tetapi dalam pandangan orang lain, tulisannya sempurna.

Kesempurnaan hanyalah opini. Mereka yang menginginkan kesempurnaan dari cara pandang orang lain, akan terpenjara dan menjadi budak pikiran orang lain, ia tidak akan belingsatan untuk mengatur hidupnya sendiri. Hanya kebijaksanaan yang bisa membawanya melewati labirin pikiran-pikiran orang lain. Kebijaksanaan itu didapatkan dalam kesederhanaan. Butuh estetika yang apik dalam mencapai kesederhanaan itu, menjadi diri sendiri adalah salah satu jalannya. Kesempurnaan akan mengikuti jalan kebijaksanaan.

Tanpa kusadari, lamunanku yang sedang asik bercengkrama dengan pikiranku, membuat matahari yang tadinya cerah, kini menukik tajam, tertelan oleh malam yang menawarkan kedinginan bagi penghuni alam. Kuharap, kedinginan malam tidak menyelimuti pikiranku dalam bertindak, tindakanku tidak terbuhul oleh pikiran bias, dan jalan pikiranku tidak terhalang oleh iming-iming kata “Kesempurnaan.” Karena hidup tidak sempurna, maka cara hidup harus sederhana.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *