Oleh: Muhammad Dany (Alumni 2018)
Imam Abu Daud Azh-Zhahiri, ulama abad ke-3 asal Baghdad. Mazhabnya berkembang pesat pada zamannya mengalahkan pesatnya perkembangan Mazhab Hambali. Menafikan qiyas serta berjalan di atas Zahir nash merupakan karakteristik aliran pemikiran ini. Lebih amyar-nya lagi di masalah kecil yang dibutuhkan logika dasar pun kerap dicela demi memegang kokoh Nash dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Imam Ibnu Hazm, penyebar Mazhab Abu Daud Adz-Dzahiri mulai tersohor setelah Abu Daud wafat, serta ‘cekatan’ menuliskan sebuah kitab di mazhab ini.
Kitab Al-Muhalla namanya, di sanalah kita bisa melihat kejanggalan yang luar biasa, mulai dari najisnya kaum musyrik melebihi najisnya anjing. Berdalilkan ayat:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini.Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” [Surat At-Taubah: 28]
Padahal ayat ini bermakna najis batin bukan zahir, dan jelas bertentangan dengan ayat:
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”[Surat Al-Isra’: 70]
Tidak mungkin Allah memuliakan sesuatu (Bani Adam) yang zahirnya najis. Ditambah lagi mu’amalah nabi bersama orang musyrik yang tidak pernah ada riwayat nabi bersuci setelah bermu’amalah dengan mereka.
Kejanggalan lain sudah masyhur dinukil di syarah kitab hadis, fiqh dan lainnya. Tentu bersumber juga dari masterpiece Imam Ibnu Hazm, yaitu pada hadis:
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam kemudian ia mandi darinya” (HR. Bukhari no. 239 dan Muslim no. 282)
Hadis ini membahas buang air kecil tidak membahas buang air besar. Kalau buang air besar di air yang diam maka tidak dilarang, serta tidak menjadikan air bernajis. A’jib fatwa ini bukan!
Meski Keanehan demi keanehan didapati, tetapi aku tidak pernah malu dengan terang-terangan serta penuh kesadaran mengatakan, “Ku berjalan di atas ‘mazhab’ Abu Daud Azh-zhahiri”
Serius amat bacanya, hehe. Maksud dari kata ‘mazhab’ di atas dari segi etimologi yang berarti ‘jalan’. Iya jalan! Jln. Abu Daud Azh-Zhahiri, nama sebuah jalan yang terletak di kota metropolitan Madinat Nasr, Mesir.
Ini hanya sebatas hipotesis saya saja, begitulah cara orang Mesir memuliakan orang berilmu. Bayangkan saja Imam Abu Daud Azh-Zhahiri yang banyak dikritik fatwanya, parahnya lagi di sebagian kelompok tidak menganggapnya ulama. Pasalnya ulama melihat maani alfaz (makna dari lafaz) bukan dhawahir alfaz (Zahir dari lafaz); kalau melihat Zahir lafaz saja apa bedanya ulama dengan orang awam. Namun bangsa Mesir tetap mengapresiasinya dengan dikenang dalam sebuah jalan.
Begitulah Ahlu Mesir, ia yang bukan berasal dari tanah Mesir, tapi mereka tetap menghormatinya tanpa membeda-bedakan. Jika pada tokoh Abu Daud saja mereka memberikan prilaku baik apalah lagi dengan tokoh-tokoh lainnya.
Manusia pada umumnya akan melihat satu kesalahan walaupun itu kecil, akan tetapi dia lupa akan kebaikan seseorang padahal sebegitu besarnya. Beda halnya dengan orang Mesir yang mengabaikan banyaknya kegaduhan yang terjadi ulah Imam Abu Daud, namun fokus kepada beberapa pengaruh baik darinya. Sebelum ‘negara api menyerang’ tercatat bahwa beliau dulunya merupakan ulama Syafi’iyah serta ikut andil dalam penyebaran Mazhab Syafi’i.
Pristiwa ini membuktikan akan pengamalan perkataan guru-guru kita bahwa kita tidak membenci orangnya, tapi kita mencela pendapatnya.
Pula mengingatkan akan suatu untaian kata sang pujangga Mesir bahwa Mesir ibu dunia.