Oleh: Muhammad Nizarullah
Pembulian, atau perundungan, telah lama menjadi masalah serius di lingkungan pendidikan dan masyarakat kita. Fenomena ini bukan hanya merusak secara fisik dan mental, tetapi juga membuka pintu lebar bagi proses pembodohan yang sistematis. Ketika seseorang menjadi korban buli, bukan hanya harga diri yang terkoyak, tetapi juga semangat belajar dan potensi intelektual yang terancam padam.
Pertama, pembulian menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak nyaman bagi korbannya. Dalam kondisi tertekan, otak sulit untuk berfokus pada pembelajaran. Ketakutan dan kecemasan yang terus-menerus menggerogoti kemampuan kognitif, menghambat proses penyerapan informasi dan pengembangan keterampilan berpikir kritis.
Kedua, korban buli seringkali mengalami penurunan kepercayaan diri. Mereka mulai meragukan kemampuan mereka sendiri, takut untuk mengekspresikan pendapat, atau bahkan enggan untuk mencoba hal-hal baru. Sikap ini jelas bertentangan dengan semangat eksplorasi dan keingintahuan yang menjadi pondasi penting dalam proses pembelajaran.
Lebih jauh lagi, pembulian dapat menyebabkan isolasi sosial. Korban cenderung menarik diri dari interaksi dengan teman sebaya, padahal kolaborasi dan diskusi merupakan elemen kunci dalam pengembangan intelektual. Ketika seseorang terisolasi, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar dari perspektif orang lain dan mengasah kemampuan komunikasi mereka.
Yang tidak kalah mengkhawatirkan, pembulian juga dapat memicu fenomena “learned helplessness” atau ketidakberdayaan yang dipelajari. Korban mulai percaya bahwa mereka tidak memiliki kontrol atas situasi mereka, sehingga berhenti berusaha untuk memperbaiki keadaan atau mencapai prestasi. Pola pikir ini dapat meluas ke berbagai aspek kehidupan, termasuk akademik, sehingga menghambat potensi intelektual mereka.
Oleh karena itu, memerangi pembulian bukan hanya tentang menciptakan lingkungan yang aman secara fisik, tetapi juga tentang melindungi dan memupuk potensi intelektual setiap individu. Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bekerja sama untuk membangun budaya saling menghargai, empati, dan dukungan. Hanya dengan demikian, kita dapat menutup gerbang pembodohan ini dan membuka pintu menuju masa depan yang lebih cerdas dan bermartabat bagi semua.
Rusaknya Moral Pelaku Perundungan
Perundungan, meskipun seringkali dipandang hanya merugikan korban, sebenarnya membawa dampak negatif yang signifikan bagi pelakunya juga. Ironi yang menyedihkan ini sering luput dari perhatian, padahal memahaminya sangat penting untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif.
Pelaku perundungan, tanpa disadari, mengalami hambatan serius dalam perkembangan moral dan emosional mereka. Kebiasaan menggunakan kekerasan atau intimidasi untuk mencapai tujuan mengikis kemampuan mereka untuk mengembangkan empati dan keterampilan sosial yang sehat. Akibatnya, mereka sering kesulitan membentuk hubungan yang bermakna, baik dalam konteks personal maupun profesional di masa depan.
Lebih jauh lagi, perilaku merundung dapat berkembang menjadi masalah perilaku jangka panjang. Tanpa intervensi yang tepat, pola perilaku ini cenderung berlanjut hingga dewasa, menciptakan siklus kekerasan yang sulit diputus. Hal ini tidak hanya mempengaruhi hubungan interpersonal pelaku, tetapi juga dapat menimbulkan masalah serius dalam karir dan kehidupan sosial mereka secara luas.
Ironisnya, meskipun pelaku perundungan sering terlihat “berkuasa” di lingkungan sekolah, fokus mereka pada tindakan negatif ini justru mengalihkan perhatian dari studi. Akibatnya, tidak jarang pelaku mengalami penurunan prestasi akademik. Mereka kehilangan kesempatan berharga untuk mengembangkan keterampilan positif seperti kerja sama tim, kepemimpinan yang sehat, dan kemampuan resolusi konflik yang sangat penting untuk kesuksesan di masa depan.
Yang sering terabaikan adalah fakta bahwa banyak pelaku perundungan sebenarnya menderita masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan. Perilaku merundung mungkin merupakan manifestasi dari pergulatan internal yang belum terselesaikan. Tanpa bantuan yang tepat, masalah ini dapat memburuk seiring waktu, menciptakan lingkaran setan antara perilaku negatif dan penderitaan psikologis.
Mengingat dampak yang merugikan baik bagi korban maupun pelaku, jelaslah bahwa mengatasi perundungan bukan hanya tentang melindungi yang lemah, tetapi juga tentang menyelamatkan masa depan semua pihak yang terlibat. Intervensi yang efektif harus mencakup tidak hanya perlindungan bagi korban, tetapi juga pendidikan empati, pengembangan keterampilan sosial, dan dukungan psikologis bagi pelaku. Hanya dengan pendekatan holistik seperti ini, kita dapat berharap untuk menciptakan lingkungan yang aman, mendidik, dan mendukung bagi semua, memutus siklus kekerasan, dan membuka jalan bagi perkembangan positif seluruh anggota masyarakat.