Wajah Aceh Hari Ini

Oleh: Ataya Khanza Riskillah (Murid Kelas XI MIA 1)

Apalah arti dari sebuah perjuangan jika pada akhirnya hilang begitu saja. Begitu banyak sejarah yang telah dilukis oleh nenek moyang bangsa Aceh. Berbagai kisah telah terukir dengan hasil tumpah darah mereka. Agama menjadi penyokong dalam bergerilya, takbir menjadi suatu gema di medan perang, dan syahid adalah cita-cita mereka dalam menjadi hamba yang bertaqwa. Namun akhirnya, itu semua berubah seketika tatkala generasi penerus bangsa mengubah segalanya menjadi mimpi buruk bagi Nanggroe Aceh tercinta.

24 tahun silam, bencana tsunami yang melanda bumi para aulia, telah mampu menjadi pengingat bagi rakyat Aceh agar jauh dari yang namanya maksiat. Namun seiring waktu, mereka tak lagi peduli akan hal itu. Mereka melupakan semuanya, menganggapnya remeh, tak peduli jika hal itu bisa saja kembali terjadi karena ulah tangan mereka. Beberapa bulan lalu, dihebohkan dengan adanya konser di bumi Aceh yang belum pernah ada sebelumnya. Lautan muda-mudi berkumpul disana, berjoget satu sama lain dan yang lebih parahnya adalah membuka peluang bagi mereka untuk berzina.

Yang menjadi pertanyaannya adalah kemana pemerintah saat ini dan apakah kita hanya mengharapkan mereka saja agar hal ini bisa hilang? Tentu saja tidak. Masyarakat juga memiliki hak dan kewajiban untuk membersihkan Aceh dari sarang maksiat. Tapi faktanya saat ini, baik masyarakat maupun pemerintah seolah abai dan hanya sedikit yang mau peduli akan hal tersebut. Lantas kemana Qanun yang menjadi hukum khusus bagi syariat di Aceh? Apakah hanya akan sebatas menjadi tulisan di atas kertas?

Kemudian kita lihat dan tinjau kembali kasus judi online dan kekerasan seksual yang semakin marak di negeri yang katanya Serambi Mekkah ini. Ah, rasanya kata tersebut tidak lagi cocok untuk diucapkan melihat keadaan Aceh yang kini krisis akan pendidikan terutama moral. Anak-anak aceh saat ini tidak lagi memiliki rasa sosial. Mereka juga ikut terpengaruh terhadap dampak negatif dunia maya. Tidak ada lagi saling menyapa, menegur, seolah-olah orang yang mereka jumpai adalah warga asing yang datang ke kampungnya. Hal ini sudah menjadi realita dan rasanya sangat sulit untuk mengubah itu semua karena tidak ada lagi yang berani menegur juga mengajarkan mereka. Sifat individualisme semakin tumbuh di masyarakat Aceh tanpa ada yang mempedulikannya.

Sejarah mencatat, Aceh adalah bangsa yang kuat dan faktor utamanya adalah kerjasama.  Rasa gotong-royong masih tumbuh dalam diri nenek moyang sehingga Aceh berhasil ditakutkan dunia dan bangsa luar tak mampu menginjak-nginjak harga dirinya. Namun hal itu berbanding terbalik 360 derajat dengan kondisi negeri sekarang ini. Miris, bahkan sangat menyedihkan. Aceh seperti tak berdaya dengan dua kali berturut-turut menjadi provinsi termiskin di Indonesia. Hal ini tentunya membuat pertanyaan muncul di benak kita. Dengan segala sumber daya alamnya yang melimpah tapi tidak cukup membuat aceh kembali menjadi bangsa yang maju. Alasannya? Sumber daya manusia yang rendah adalah faktor utama. Tapi katanya, banyak anak-anak juga masyarakat Aceh yang cerdas bahkan bersaing di luar negeri. Agamalah kunci segalanya. Sultan Iskandar Muda, seorang raja terbaik Aceh memiliki kecerdasan yang luar biasa juga pondasi agama yang kokoh. Begitu juga dengan rakyatnya yang dituntut untuk tetap menuntut ilmu dan mempelajari ilmu agama yang menjadi dasar kehidupan bangsa Aceh.

Kita semua tahu bahwa Aceh lah yang pertama kali menyebarkan Islam di Nusantara. Menjadi penyebab besar Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar ke-4 di dunia. Namun, kemana Aceh hari ini? kata Nanggroe Aceh Darussalam kini hanya tinggal sebuah nama yang dikenal oleh masyarakat luar sebagai daerah yang rakyatnya taat kepada agama. Tapi, itu semua berbanding terbalik dengan apa yang ada dalam realita hari ini. Ibarat kain putih yang menutup segala keburukan yang ada. Maksiat-maksiat itu semua kini jelas terjadi di bumi Serambi Mekkah. Hal-hal yang dianggap mustahil tapi kini benar-benar terjadi tanpa ada seorangpun yang menginginkannya.

Dan lebih parah lagi, maksiat yang kini muncul malah berasal dari guru-guru agama yang seharusnya menjadi contoh tauladan bagi masyarakat. Tapi ternyata, mereka ikut terjangkit perbuatan-perbuatan haram tersebut yang kini merebak di bumi para syuhada. Jika hal itu terus terjadi, lantas kepada siapa lagi kita harus menaruh kepercayaan untuk membuat Aceh semakin maju dan Islam tetap berdiri tegak di negeri ini? jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Dengan segala azab dan bala yang telah Allah berikan terhadap kita rakyat Aceh, sudah saatnya kita sadar akan betapa pentingnya penegakan kembali hukum-hukum Islam yang kini sudah mulai pudar. Dan sebagai pemuda penerus bangsa, kami mengharapkan kontribusi dan kepedulian dari seluruh elemen masyarakat maupun pemerintah di Aceh agar masalah ini bisa segera diatasi. Supaya Aceh kembali menjadi bangsa yang maju dan berakhlak mulia. Dan pada akhirnya sebutan “Aceh Serambi Mekkah” memang benar adanya dan tidak hanya menjadi suatu nama tanpa ada suatu makna.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *