Suara Proklamasi dari Rengasdengklok

Oleh: Muhammad Nizarullah

Senja merambat perlahan di atas kota Batavia yang gelisah. Udara pengap Agustus melekat di kulit, membuat keringat mengucur deras dari dahi-dahi yang berkerut cemas. Di sudut-sudut kota, sayup-sayup tentang kemerdekaan mengalir bagai arus bawah yang siap meledak.

Soekarno berdiri di beranda rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur 56. Matanya menerawang jauh. Tangannya yang biasa bergerak lincah kini tergenggam erat di belakang punggungnya. Ia tahu, nasib sebuah bangsa kini berada di pundaknya.

“Bung Karno!” Suara lantang memecah keheningan. Wikana, seorang pemuda muncul dengan nafas terengah. “Kita harus bertindak sekarang! Jepang sudah kalah!”

Soekarno menghela nafas panjang. Matanya menatap tajam sang pemuda. “Kau pikir kemerdekaan itu seperti membalikkan telapak tangan?” Suaranya berat, namun ada getaran di dalamnya. “Kita harus hati-hati. Satu langkah salah, semua yang kita perjuangkan bisa hancur.” Tersirat ragu dari sorotan matanya yang biasanya memancarkan keyakinan.

Di sebuah gedung di pusat kota, sekelompok orang sudah berkumpul. Mereka adalah anggota BPUPKI, dipilih dari berbagai latar belakang untuk merancang masa depan bangsa. Dr. Radjiman Wedyodiningrat, sang ketua, memandang sekeliling ruangan dengan tatapan penuh harap. Di sana ada Soekarno, Mohammad Hatta, Soepomo, dan puluhan tokoh lainnya, masing-masing membawa visi mereka untuk Indonesia merdeka.

Hari demi hari berlalu dengan diskusi panas. Perdebatan tentang dasar negara memenuhi ruangan. Soekarno, dengan suaranya yang lantang, mengusulkan Pancasila. Ide-ide beradu, kompromi dicari. Akhirnya, sebuah kesepakatan tercapai dalam bentuk Piagam Jakarta.

Ketika BPUPKI menyelesaikan tugasnya, situasi dunia berubah drastis. Jepang di ambang kekalahan. Para pemuda Indonesia, yang selama ini hanya bisa menunggu, mulai belingsatan. Mereka ingin bertindak cepat. Mereka tak ingin perjuangannya sia-sia. Hambatan apapun akan mereka tumpas demi terwujudnya cita-cita mulia itu.

Malam itu, perdebatan sengit memenuhi udara. Para pemuda, dengan darah mudanya yang bergolak, mendesak proklamasi segera dikumandangkan. Sementara Soekarno dan Hatta, dengan pengalaman pahit perjuangan mereka, memilih langkah lebih hati-hati.

Malam tanggal 16 Agustus 1945. Sekelompok pemuda tak bisa lagi berdiam diri menunggu seniornya bergerak. Mereka tak ingin lagi merasakan buhulan dari penjajahan. Dengan tekad yang kuat, mereka menculik Soekarno dan Hatta dan membawanya ke Rengasdengklok. Kota kecil di pinggiran Batavia itu mendadak menjadi panggung drama kemerdekaan yang menegangkan. Ketegangan memuncak di tengah kebimbangan para pemimpin senior. Semangat para pemuda menjadi api yang membakar tekad kemerdekaan.

Seorang ibu tua mengintip dari balik jendela gubuknya yang reyot. Matanya yang sudah rabun menyipit, berusaha mengenali sosok-sosok yang berlalu lalang dengan tergesa. “Ada apa, Nak?” tanyanya pada seorang pemuda yang lewat. “Merdeka, Nek! Kita akan merdeka!” sahut pemuda itu penuh semangat.

Si nenek terdiam. Matanya berkaca-kaca. “Merdeka,” bisiknya lirih, mengucap kata itu di lidahnya yang kering. Seumur hidupnya ia hanya mengenal penjajahan. Merdeka, suatu istilah yang tak pernah terlintas di kepalanya. Kini didengarkan oleh seorang anak muda yang baru seumur jagung, lirihnya.

Sementara itu, di sebuah ruangan remang-remang di rumah Laksamana Maeda. Tiga pria duduk mengelilingi selembar kertas. Soekarno, dengan keningnya yang berkerut dalam, menorehkan hitam di atas putih. Hatta, tenang namun tetap waspada, sesekali membisikkan saran. Ahmad Soebardjo, si cendekiawan itu menimbang setiap kata dengan cermat.

“Kami bangsa Indonesia…” Soekarno membaca perlahan. Suaranya bergetar, menyadari bobot setiap kata yang terucap. Ini bukan sekadar proklamasi, ini adalah kelahiran sebuah bangsa.

Setelah membacakan proklamasi di depan sekelompok pemuda itu, Soekarno dan Hatta dilepaskan. Di perjalanan ke Pegangsaan Timur, mereka berserobok dengan sejumlah orang yang lalu-lalang di jalanan. Soekarno menceritakan peristiwa semalam di Rengasdengklok.

Soekarno bergumam “Semalam kami diculik oleh sekelompok pemuda, kami diminta untuk membacakan proklamasi. Tapi itu tidak sah. Hari ini akan saya wujudkan di depan rakyat Indonesia.”

Fajar 17 Agustus 1945 menyingsing dengan keagungan yang tak biasa. Burung-burung berkicau lebih riang, seolah ikut merasakan getaran perubahan di udara. Di Pegangsaan Timur 56, kerumunan mulai berdatangan. Wajah-wajah penuh harap, mata-mata yang berbinar, menanti sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Bayang-bayang anak cucu mereka akan menempati tanah ini terus terlintas di benak. Mereka akan menciptkaan peradaban bagi bangsa ini. Mereka akan berdiri di atas kaki sendiri.

Tepat pukul 10 pagi, Soekarno melangkah ke depan. Tubuhnya yang jangkung menjulang tinggi menancap pasti. Di sampingnya, Hatta berdiri tegak, sosok pendek yang memancarkan kekuatan diam.

“Proklamasi,” Soekarno mulai membacakan teks proklamasi. Suaranya, yang biasanya menggelegar, kini terdengar lembut namun penuh keyakinan. “Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia…” Ia melanjutkan kalimatnya dengan tenang dan penuh khidmat. Setiap kata yang terucap seolah menggores langit, mengukir sejarah. Hari itu seakan langit ingin menangis haru, menyaksikan peristiwa yang akan dikenang oleh generasi kedepan sebagai hari bersejarah bagi bangsa Indonesia.

Ketika kalimat terakhir selesai dibacakan, keheningan sesaat menyelimuti. Lalu, seperti ombak yang pecah di pantai, sorak-sorai memecah udara. “Merdeka! Merdeka!” Teriakan itu membahana, melompat dari satu mulut ke mulut lain, menyebar ke seluruh penjuru kota. Tangis haru menggelegar di udara seraya bersujud syukur kepada Rabb yang telah memberikan nikmat yang tiada rival bagi bangsa Indonesia.

Sang Saka Merah Putih pun berkibar, melambai anggun di udara Jakarta yang kini terasa lebih segar. Indonesia telah lahir. Sebuah bangsa baru telah berdiri, meski masih rapuh namun penuh tekad.

Di sudut kerumunan, si nenek tua dari Rengasdengklok berdiri terpaku. Air mata mengalir di pipinya yang keriput. “Merdeka,” bisiknya lagi, kali ini dengan senyum yang merekah dan kucuran air mata haru sembari melentangkan tangannya ke langit, sayup-sayup terdengar suaranya lirih mengucap “Alhamdulillah ya Allah…” Ia tersungkur dan menempelakan dahinya ke tanah. Ia mungkin tak akan hidup cukup lama untuk melihat bangsa ini tumbuh dewasa, tapi setidaknya ia telah menyaksikan kelahirannya.

17 Agustus 1945, Bukan hanya sekedar tanggal peringatan hari kemerdekaan Indonesia, ia adalah titik awal sebuah perjalanan panjang. Namun, perjuangan belumlah usai. Di depan, masih terbentang jalan panjang untuk mempertahankan kemerdekaan dan membangun bangsa. Perjalanan sebagai bangsa baru saja dimulai.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *