WAJAH YANG TERTEKUK

Oleh : Muhammad Yasir Kelas XII MIA 1

Semilir angin memainkan tarian lembut dengan dedaunan kering yang berserakan di halaman pondok pesantren modern, menyulitkan tiga santri yang sedang membersihkan jalanan.

”Nyapunya yang bener dong, dedaunan ketinggalan tuh,” ucap Amir.

“Dasar. Nyapu aja nggak becus,” celetuk Andi.

“Ah, bawel. Kalian lanjuti aja,” jawab Anshar sembari menghempaskan sapu lalu meninggalkan dua kawannya.

Anshar kemudian berjalan menuju masjid yang terletak di bagian tengah pesantren. Anshar menggedor pintu salah satu kamar mesjid tempat Ahmad tidur sebagai ketua bidang ibadah.

“Waduh gini nih punya teman kalo tidur kayak mayat,”  gumam Anshar kesal.

“Bangun bangun” teriak Anshar sambil tangannya mencoba membuka pintu. Perlahan ia melepas tangannya pada gagang pintu. Berjalan dengan gontai menuju tangga lalu duduk dipelatarannya. Dalam diam ia mencoba meredam rasa kesalnya dengan menikmati terpaan angin pagi yang menyentuh kulit sawo matangnya dengan lembut nan dingin. Hidung mancungnya kembang kempis menghirup udara segar dengan harapan bisa menghancur remukkan rasa kesal.

Burung burung datang dan pergi silih berganti, sesekali bercanda diantara dahan pohon kupula yang tumbuh asri di sisi  mesjid. Suaranya riuh rendah, seakan mereka sedang bercerita tentang hari bahagia yang akan mereka jalani. Berbanding terbalik  dengan Anshar yang saban hari merasa tertekan dan prustasi.

“Assalamualaikum!”

“Astagfirullah, kaget tau,” seru Anshar sembari mengelus dadanya yang hampir copot.

“Kamu dari mana aja, ngapain juga suruh bangunin ?” lanjut Anshar bertanya.

“Habis mandi dan makan di dapur. Kamu sih telat banguninnya,” jelas Ahmad

“Ya udah ana mau mandi dulu” .

“Emang kamu udah piket ?”

“Auh ah. Malas,” jawab Anshar ketus.

Anshar berlalu meninggalkan Nasir yang berdiri sambil menggelengkan kepalanya.

*          *          *

            Suara lantunan Ayat suci Al-quran yang dibaca di dalam masjid mampu membuat dua cicak yang bertengkar ikut terdiam seolah menikmati indahnya irama tersebut. Anshar dan seluruh santri lain juga hanyut dalam pesona surah Al-waqiah yang dibaca seorang santri dengan suara yang merdu. Ingin sekali ia berada di posisi tersebut, namun ia sadar kemampuannya sangat jauh dari kata ‘mampu’. Dengan rasa sesak di hatinya ia menarik napas lalu menghembuskannya kembali.

            “Kenapa ana sebodoh ini ya. Jadi orang kayak nggak ada manfaat sedikit pun,” batinnya.

            “Assalamualaikum.” Anshar mendongakkan kepala untuk melihat orang yang memberinya salam.

            “Oh Ahmad, Waalaikumsalam,’’ sambil menyuguhkan senyum.

            “Ke kelas yok, Sar,”.  Tanpa jawaban Ansar bangkit mengikuti kawan sekelasnya.

            “Oi tunggu dong !” teriak Ilyas dari kejauhan yang sedang berlari ke arah mereka.

            “Apaan tuh ?” tanya Ahmad dengan tangan menunjuk kotak yang di pegang Ilyas.

            “Ini bahan prakarya,” jawab Ilyas.

Anshar dan Ahmad manggut-manggut. Lalu mereka berjalan santai sambil bercanda ria. Padahal waktu masuk sekolah sudah hampir 5 menit berlalu.

            “Titt…, titt…’’

Suara klakson motor ustd Muhzam membuat siapa pun yang mendengarnya  pasti akan tergopoh. Suaranya nyaris bagai sangkalkala memberitakan batas waktu telah tiba. Anshar dan kedua temannya secepat kilat berlari menaiki tangga menuju kelas.

“Huftt….” mereka baru saja menghempas nafas, lalu nafasnya kembali tersentak karena mendapati pintu kelas yang tertutup rapat.

“Ketok Sar,” perintah Ahmad.

“Ga ah, kamu aja,” tolak Anshar.

“Oh iya,” dengan isyarat mata Anshar memberi kode kepada Ahmad yang berdiri di sampingnya.

“Brug….”, dengan satu dorongan tubuh kecil Ilyas tersungkur menabrak pintu kelas yang tak terkunci.

“Mampus,” batin Anshar panik.

            Seisi kelas terlonjak kaget melihat teman mereka Ilyas tersungkur dengan sangat keras mengenai lantai keramik yang dingin.

            “Astagfirullah, Anak-anak Ustadzah !” sembari bangkit dari kursinya dengan langkah cepat menghampiri Ilyas yang sudah berdiri seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

            “Kalian apain Ilyas. Kok bisa dia jatuh ?” tanya Ustadzah.

            Ahmad dan Anshar saling menatap. Lalu tertunduk lesu tanpa suara.

            “Ya udah, silahkan duduk. Lain kali nggak boleh begitu,” tegas ustazah.

            “Silahkan tunjukkan peralatan kalian. Kalian mau buat apa ?”

            “Miniatur rumah Aceh ustazah,” jawab Ilyas.

“Baik. Silahkan,”

            Dengan cekatan Ilyas mengeluarkan alat dan bahan dari kardus yang ia bawa. Lalu membagi kerja kepada kawannya.

            “Oh iya, ana lupa. Kamu gambar sketsanya aja Mad.” Sambil menunjuk Ahmad.

            “Lah ana bikin apa ?” tanya Anshar bingung.

            “Kamu bantu doa aja Sar,’’ saran Ilyas tanpa dosa.

            “Itupun kalau kamu bisa,” sambung yang lain.

            “Boleh. Nanti kan nilainya sama,” balas Anshar kesal.

            Semua larut dengan tugas masing-masing. Pembuatan miniatur rumah Aceh hampir rampung. Begitu juga dengan kelompok lain. Semua sibuk berusaha membuat yang terbaik. Anshar yang mulai merasa bosan, lalu mengambil cat minyak yang terletak di dekatnya. Dia mempermainkan selayaknya bola volly. Tanpa sengaja lem terlempar lalu tepat mengenai miniatur rumoh Aceh yang sedang dipegang Ahmad.

            “Aduh, Shtt….,” teriak Ahmad melihat tangan dan miniatur sudah dipenuhi oleh cat yang tumpah.

            “Duh, maaf Mad, ana tidak sengaja” Anshar merasa menyesal.

            “Dasar kamu Shar, ga becus !” teriak Ilyas.

            “Dasar anak nggak manfaat,” yang lain menimpali.

            “Mending tidur aja”

            “Bener tuh”

Suara riuh itu tertuju pada Anshar. Untung ustazah segera melerai. Kalau tidak, kelas itu akan berubah jadi pasar ikan.

*          *          *

Angin bertiup dengan kencang seolah-olah sedang berteriak menyemangati seorang anak remaja yang menangis sendirian bak sedang putus cinta. Tapi tidak untuk Anshar. Ia menangis karena dihantui oleh rasa putus asa dan merasa lelah dengan dirinya yang selalu gagal melakukan apapun.

Hamparan lapangan futsal yang berada dekat kamar mandi mesjid ini menjadi tempat favoritnya. Hampir tiap malam dia berbaring di garis tengah sambil menatap bintang. Rasa gundahnya ditumpahkan melalui cerita tanpa suara. Sahabat tanpa mencela. Sinarnya yang kadang muncul dan tenggelam mendamaikan jiwanya. Dia larut dalam sepi lalu tertidur pulas hingga pagi. Sebelum azan berkumandang, biasanya dia bergegas bangun dan kembali ke kamar bersiap-siap ke mesjid.

            “Sar, Sar bangun. Kamu ngapain tidur disini ?” tanya Ahmad yang tanpa sengaja menemukan kawannya.

            “Eh, kamu Ahmad” Anshar kebingungan harus menjelaskan apa.

            “Iya, kok kamu tidur disini”.

“Anu, eh. Aku balik kamar dulu ya,” Anshar bergegas meninggalkan kawannya yang kebingungan.

            Kegiatan shalat subuh ini berjalan seperti biasanya. Tertib dan khusuk. Namun tidak bagi Anshar. Dia terus mencoba cari jawaban apa yang akan diberikan kepada kawannya. Dia hafal betul dengan sifat Ahmad.

            “Sar, aku mau ngomong,” todong Ahmad yang tiba tiba sudah duduk di depannya.

            Anshar gelagapan. Matanya melihat ruang mesjid yang ternyata telah kosong.

            “Kenapa Sar. Mau ngomong apa mang ?” mencoba menyembunyikan rasa gundahnya.

            “Kenapa tidur di lapangan futsal ?”

            “Gak ada apa kok. Sebenarnya hanya duduk doang terus ketiduran,” jawab Anshar sekenanya.

            “Nggak usah bohong. Kamu ada masalah apa ? Cerita ke aku”.

            “Nggak ada apa kok. Benar,” sambil mengernyitkan dahi.

            “Aku balik dulu ya Mad,” Anshar bergegas bangun.

            “Duduk dan ceritakan,” tangan Ahmad menarik kawannya.

            Hening. Ruangan mesjid yang berwarna putih bersih itu tak bergeming. Seperti juga tatapan Ahmad kepada Anshar.

            “Kamu apa apan sih. Menatap orang kok gitu amat”.

            “Kamu yang apa apaan. Bukan yang ditanya dijawab. Kamu ada masalah apa hingga tidur di lapangan Futsal. Kalau kamu tidak cerita akan ana laporkan ke ustad,” ancam Ahmad.

            Mereka kembali saling menatap. Anshar pasrah dan tidak punya pilihan.

            “Sori Mad. Ana nggak tahu harus mulai dari mana. Yang pasti ana sering tidur di sana. Hanya saja selama ini tidak ada yang tahu”.

            “Apa ? Sering tidur disana ?. Kamu kenapa ? Kita disini sudah kayak keluarga kan”.

            “Ya Mad. Saya tahu. Tapi kalian semua luar biasa. Sedang ana, hanya pecundang yang nggak ada manfaat sedikitpun”.

            “Astaghfirullah. Istiqfar Shar. Allah menciptakan kita dengan semua keunikan dan keistimewaan,” Ahmad terus memberikan wejangan selayaknya motivator ulung.

            Ucapan Ahmad sedikit melegakan jiwanya. Petuah yang panjang lebar dari Ahmad mulai merasuki otaknya. Perlahan memberi kekuatan untuk berdiri lebih kuat.

            “Kita disini dalam proses belajar, wajar banyak salah. Kamu lupa pesan ustaz Azmi minggu lalu waktu peringatan hari Guru ?” sambung Ahmad.

            “Kita ini kebanggaan mereka, maka kita harus semangat, terus berjuang menggapai cita-cita. Karena keberhasilan kita adalah hadiah terbesar bagi mereka”.

            “Ya Mad. Aku ingat. Tapi…”

            “Nggak boleh ada tapinya. Kamu harus yakin”

Anshar menganggukkan kepala. Mencoba mereview kembali semua petuah-petuah gurunya.

“Bantu ana ya,” Anshar sambil meraih tangan kawannya.

            “Pasti. Kita akan berjuang bersama”.

            Dua sahabat itu saling menggenggam tangan dengan eratnya. Saling menguatkan untuk menatap masa depan mereka yang lebih cerah.

# selesai #

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *