Oleh: Khairul Minan (Wali Kamar Putra)
Di tengah arus modernitas dan revolusi zaman yang kian pesat, umat manusia tak terhindarkan dari berbagai problematika yang kompleks. Problematika ini muncul dari berbagai aspek kehidupan, mulai dari akidah, hukum yang belum menemukan sebuah titik terang, krisis moral dan akhlak, tantangan dalam beragama hingga ancaman disintegrasi antar bangsa. Kompleksitas problematika yang dihadapi umat kian hari menuntut solusi yang komprehensif dan tepat guna.
Sehingga akhir-akhir ini, tidak jarang kita mendengar seruan untuk kembali kepada al-Quran dan hadis dalam menyelesaikan problematika umat Islam. Apalagi yang berkaitan dengan permasalahan agama khususnya. Hal ini memang benar, karena keduanya merupakan sumber utama hukum Islam yang mengandung berbagai solusi untuk berbagai persoalan kehidupan. Namun, jangan salah kaprah. Al-Quran dan hadis bukanlah kitab hukum yang menyajikan semua hukum secara eksplisit di dalamnya. Bahkan, banyak di dalam al-Quran yang tidak dinyatakan secara sharih wajib, mubah ataupun haram, melainkan butuh instrumen lain untuk mendeteksi kepastian dari sebuah hukum yang dikenal dengan istilah istinbath al-ahkam. Orang yang bisa melakukan istinbath al-ahkam ini hanyalah mujtahid.
Al-Quran dan hadis sangat sarat akan makna. Tanpa pemahaman yang komphrensif akan berakibat terjadi penafsiran yang keliru dan penerapan hukum yang tidak sesuai dengan syariat. Sastra arab yang tinggi di dalamnya membuka ruang interpretasi makna yang sangat luas. Sehingga memahaminya tidak cukup dengan tekstual saja namun juga dibutuhkan cabang ilmu lain seperti ilmu usul fiqih, ilmu tafsir, qawaid fiqih, balaghah, sisi historis turunnya ayat-ayat al-Quran dan hadis (ashabun nuzul/ ashabul wurud) dan masih banyak cabang ilmu penting lainnya.
misalnya saja seperti hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. dibawah ini!
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
Artinya: Allah tidak menerima shalat orang yang haid kecuali dengan menutup aurat.
Secara rasional, adalah kemustahilan jika hadis tersebut dimaknai secara tekstual. Tidak mungkin Allah menerima shalat seorang wanita yang haid meskipun dia sudah menutup auratnya sekalipun, karena memang sudah jelas dan tegas Islam telah melarang perempuan yang sedang haid untuk mengerjakan shalat sebagaimana diterangkan dalam Matan Taqrib Syekh Abu Syuja’ berikut.
ويحرم بالحيض والنفاس ثمانية أشياء: الصلاة والصوم وقراءة القرآن ومس المصحف وحمله ودخول المسجد والطواف والوطء والاستمتاع بما بين السرة والركبة.
Dalam konteks ushul fiqh, larangan terhadap sesuatu mengindikasikan fasid (batal) pelaksanaannya. Sementara dalam hadis tersebut terkesan seperti membuka peluang keabsahan ibadah shalat yang dilakukan oleh seorang wanita yang sedang mengalami haid dengan catatan si wanita itu menutup aurat. Ini tentunya akan terjadi kontradiksi dengan prinsip-prinsip Islam yang sudah secara tegas melarang wanita haid untuk shalat.
Dalam contoh lain kita mengutip penggalan ayat;
إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. QS. Al-Ra’d: 11”
Banyak sekali orang-orang menyalahgunakan ayat ini sebagai motivasi bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seseorang menjadi lebih baik kecuali dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Pemahaman secara tekstual seperti ini bertentangan dengan realitas lapangan. Berapa banyak orang yang berusaha mengubah nasib mereka namun tidak sedikit dari mereka yang tetap gagal. Sementara ayat al-Qur’an merupakan sebuah kepastian.
Jika diartikan bahwa perubahan nasib menjadi lebih baik di tangan seseorang, tentu tidak akan ada orang gagal dari usahanya. Buktinya tidak demikian. Selain itu, keyakinan akan pemahaman yang bersifat tekstual tersebut bisa-bisa sampai pada tingkatan mempermasalahkan keotentikan al-Quran sebagai kalam Allah. Dan pemahaman yang menganggap bahwa semua kesuksesan dikembalikan kepada pribadi seseorang—baru Allah mengikutinya—merupakan bagian dari doktrin Mu’tazilah. Tentunya ini sangat berbahaya sekali.
Padahal jika kita mau menelusuri lebih dalam kita akan mendapatkan penafsiran yang berbeda.
يقول تعالى ذكره: (إن الله لا يغير ما بقوم)، من عافية ونعمة، فيزيل ذلك عنهم ويهلكهم = (حتى يغيروا ما بأنفسهم) من ذلك بظلم بعضهم بعضًا، واعتداء بعضهم على بعض،
Artinya: “(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum) yang berupa sehat sejahtera dan penuh kenikmatan kemudian kenikmatan itu menjadi dibuang dan dirusak oleh Allah, (sampai mereka mengubah sesuatu yang ada para pribadi mereka) yaitu dengan sikap dzalim antar sesama dan permusuhan terhadap orang lain” (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi ta’wilil Qu’an, [Muassasah ar-Risalah: 2000], juz 16, hlm. 382).
At-Thabari dalam Jami’ul Bayan fi ta’wilil Qu’ran menafsirkan maksud ayat ini bahwa semua orang itu pada dasarnya dalam kebaikan dan kenikmatan. Allah tidak akan mengubah kenikmatan-kenikmatan seseorang kecuali mereka mengubah kenikmatan menjadi keburukan sebab perilakunya sendiri dengan bersikap zalim dan saling bermusuhan kepada saudaranya sendiri.
Nah, dari 2 contoh diatas mengindikasikan bahwa pemahaman terhadap al-Quran dan hadis tidak cukup dipadai dengan pemahaman tekstual saja. Sangat absurd rasanya jika mengikuti kata-kata orang “mari kita kembali kepada al-Quran dan hadis”, sementara dibutuhkan banyak bidang keilmuan lainnya untuk menggali pemahaman dari suatu ayat al-Quran maupun hadis.
Di sinilah letak pentingnya kitab turats, karya ulama terdahulu menjadi sebuah terobosan dan jembatan untuk memahami makna yang terkandung dalam al-Quran dan hadis.
Bahkan di dalam kitab Ghayah Al-Wushul, syaikhul islam Zakaria Al-Anshari dengan tegas mengatakan;
وكل ما افتاه به المفتى فهو حكم الله فى حقه
Artinya: Segala sesuatu yang difatwa oleh mufti (mujtahid) itulah hukum Allah yang berlaku dalam ketetapan Allah.
Pernyataan Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari ini seakan berusaha menutup rapat celah umat untuk masuk ke dalam ranah al-Quran dan hadis. Pengambilan hukum dari al-Quran dan hadis hanya dilakukan oleh mujtahid. Di sinilah kitab turats mengambil perannya, kumpulan karya ulama terdahulu yang memuat khazanah ilmu dan hikmah Islam tersebut menjadi satu-satunya opsi untuk menemukan jawaban dari teka-teki problematika umat dalam menjalani semua lini kehidupan. Kitab turats juga acap kali menawarkan solusi kemudahan ketika umat dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit (tentunya tidak melanggar batas-batas syar’i).
Keterhubungan kitab turats dengan al-Qur’an dan hadis menjadikannya landasan yang kokoh dalam menyikapi berbagai problematika umat. Nilai-nilai universal dan ‘ilat (reasoning of law) di dalamnya menjadi kompas untuk menemukan hukum-hukum baru, yang bahkan tidak ada nash yang sharih sebelumnya. Berbagai konsep pengambilan hukum dalam ilmu usul fiqih seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, sadd al-Zara’I, ‘urf menjadi kerangka acuan untuk menjawab segala problematika umat sekarang.
Nah, bagaimana jika slogan Kembali kepada al-Quran dan hadis yang sekarang ramai di seru-serukan oleh orang yang bahkan tidak paham al-Quran dan hadis, kita ubah saja menjadi “Mari kembali kepada kitab turats.” Toh, kitab turats adalah eksistensi dari isi al-Quran dan hadis.[]