BIBLIOSMIA

Oleh Muhammad Nizarullah

Malam sudah mulai menampakkan wujudnya, aku bergegas pamit setelah sebantar berbincang dengan sobat yang baru saja melepas masa lajangnya. Jam menunjukkan pukul 21.07 WIB. Sudah cukup bagiku untuk bertegur sapa dengannya sejak dua jam silam. Kota Pedir ke Kota Juang menempuh waktu kurang lebih 2 jam 30 menit. Beranjak dari kediamannya sempat-sempatnya aku berfikir untuk mampir ke sebuah toko buku yang terletak di sudut persimpangan Arakatee, Kota Juang. Meski sudah hampir larut malam dan beberapa toko mulai tutup, langkah ini enggan untuk tidak menghampiri toko itu. Benar saja, tidak ada satu orang pun yang berkunjung ke toko buku yang lumayan ini. Belum lama aku mondar-mandir di toko itu, baru terlihat beberapa mahasiswi yang langsung menghampiri etalase novel romance. Mereka merangkul beberapa novel karya Tere Liye.

Awalnya hanya sekedar melihat-lihat buku yang sering kutemukan di beberapa toko buku di Yogyakarta. Terpampang disana buku-buku bergenre politik, “Madilog” dari Tan Malaka, “Islam, Oligarki, Politik, dan Perlawanan Sosial” karya Abdur Rozaki, salah satu dosenku saat kuliah di Yogyakarta, dan beberapa buku non fiksi yang berjejer di atas meja itu. Pandanganku langsung tertuju pada etalase buku bergenre novel best seller. Kuambil buku yang menurutku asik untuk dibaca dan bisa menajamkan cara berfikirku. Tiga buku sudah berada di genggaman, Novel “Pulang” dan “ Namaku Alam” karya Laela S. Chudori, dan buku non fiksi “The 5 AM Club” karya Robin Sharma. Aku memang menyukai novel sejarah sejak dulu. Sedangkan buku non fiksi untuk menajamkan analisisku terhadap suatu permasalahan.

Pikirku, akan kulumat habis ketiga buku itu. Saldo di rekening yang ku punya ternyata tidak cukup untuk melahap ketiga buku itu. Akhirnya, keputusanku jatuh pada dua buku; “Pulang”, dan “The 5 AM Club”. Tak apa, aku mendengus berat karena gagal memiliki buku satunya. Aku berlalu dari toko buku itu dengan membawa pulang dua buku yang sudah tersegel di tanganku. Riang bukan main, bak anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan barunya. Aku melaju menggunakan mobil klasik kesayanganku, BMW E36. Tidak mewah, tetapi cukup untuk membuat jutaan mata memandang mobilku hingga hilang dari pandangan.

Kuputar lagu “Untukmu Gadisku” dari Frenky Sahilatua untuk mengusir kesunyian. Alunan melodi itu senada dengan mobil yang melaju santai, sambil menyanyikan lagu yang sedang di putar sesekali ku mainkan ketukan jari ke setir mobil. Biasanya setelah membeli buku, selalu kusempatkan untuk menikmatinya bersama seduhan kopi arabika yang terkenal di kota itu, sebuah warung kopi yang terlihat lumayan aesthetic untuk menikmati bacaan. Warkop itu persis di depan mesjid Agung simpang Arakatee. Kata seorang pengunjung setia warkop ini, selepas shalat Subuh ada saja jamaah yang baru turun dari masjid menghampiri teritorial warkop ini, karena terdapat menu spesial gratis bagi jamaah subuh yang pertama menjamah tempat ini. “Menarik juga,” pikirku.

Kuraih buku berjudul “Pulang” karya Leila S.Chudori yang belum lepas dari cengkraman segel itu. Kenikmatan yang tiada rival bagi penikmat lembaran buku yang baru dicerabut dari segelnya. Kubuka lembaran demi lembaran buku itu sambil kudekatkan hidung ke bibir buku itu. Kedua mata yang tertutup membuat pikiranku tenang dan sekejab seperti berada dalam ruang suwung, nyaman dan hanyut di dalamnya. Endusanku pelan mengikuti jari yang terus membuka setiap lembaran buku hingga halaman terakhir tanpa sisa. Aku menghela napas panjang pertanda puas dengan mainan baruku. Tanpa sengaja bibibirku ikut merekah. Harumnya buku itu bak tanah yang baru saja diguyuri hujan deras (bukan hasil dari mesin pencarian) dicampur dengan aroma kertas, lem, dan tinta membuat mood semakin bergolak. Ingin rasanya tertidur dalam pangkuannya ditemani segundukan buku yang mengelilingi tempat tidurku. Para pencinta buku fisik tentu saja pernah berpikiran seperti itu, bukan?

Belakangan fenomena itu kutahu dengan sebutan “Bibliosmia.” Orang yang suka aroma khas yang dihasilkan dari lembaran kertas, perekat dan tinta. Aroma ini yang kerap kali digandrungi oleh pencinta buku hingga enggan berpindah hati untuk membaca buku digital. Bibliosmia mempunyai ikatan batin antara penciuman dan ingatan. Suasana hati, peristiwa yang sedang terjadi, dan tempat yang menjadi teduhan membaca buku akan tertanam dalam ingatan. Kebanyakan pencinta buku juga merasakan feel yang sama denganku. Sering mengendus aroma buku saat membacanya, membawa buku kemanapun pergi, hingga tidur ditemani setumpukan buku. Beda halnya dengan buku lawas. Aroma yang muncul dari buku lawas mengandung asam akibat dari gejala kimiawi dari unsur kertas itu sendiri. Aku sendiri lebih menyukai buku baru karena aroma khasnya membuat diri ini keranjingan.

Lembar demi lembar terus kuselami dengan headset di telinga yang sedang memainkan instrumen seruling. Instrumen ini yang setia menemaniku saat membaca buku. Bukan karena menyukainya, tapi agar fokus membaca kalimat demi kalimat. Sesekali, saat aku menemukan kata yang unik dalam novel itu kuberikan underscore dengan pulpen merah, agar mudah untuk menemukan kata itu jika diperlukan nantinya. Terkadang, kebahagiaan itu justru datang dari membaca paragraf-paragraf hingga larut dalam setiap halaman.

Pernah kubaca sebuah buku yang isinya adalah berbagai hikmah yang diberikan Tuhan kepada orang-orang yang bisa mengendalikan sedihnya, La Tahzan karya Dr. ‘Aidh al-Qarni. Beliau berpesan pada salah satu bab “Sebaik-baik teman duduk adalah buku.” Seorang pujangga bernama Al-Jahizh juga pernah berkata “Buku adalah teman duduk yang tidak akan memujimu dengan berlebihan, sahabat yang tidak akan menipumu, dan teman yang tidak membuatmu bosan. Dia adalah teman yang sangat toleran yang tidak akan mengusirmu. Dia adalah tetangga yang tidak akan menyakitimu. Dia adalah teman yang tidak akan memaksamu mengeluarkan apa yang anda miliki. Dia tidak akan memperlakukanmu dengan tipu daya, tidak akan menipumu dengan kemunafikan, dan tidak akan membuat kebohongan.”

Sesekali kuperhatikan lalu-lalang orang sekitar, ada yang sedang bersama teman-temannya tertawa riang, ada yang bersama kekasihnya yang sedang kasmaran, ada juga yang terlihat menyendiri menatap kosong ntah ke arah mana. Aku menggerutu di kepala. Buku memang luar biasa. Selain menenangkan jiwa, buku bisa menajamkan kemampuan intelektual, teman yang setia menemani, ia selalu ikut kemana pun kaki melangkah. Buku tidak pernah mengantuk, ia tak kenal siang dan malam, ia adalah guru yang jika ditinggalkan tidak putus manfaat yang sudah didapat darinya. Buku tak kenal kata “Baper.”

Buku, sepi, malam, bau tanah  yang baru saja diguyuri hujan, mereka semua bagai saudara, memiliki sifat yang sama. Aromanya, sifatnya, karakternya, dan semua yang melekat pada mereka. Beragam masalah terkadang hanya sepi yang paling mengerti, hanya malam yang paling paham, hanya buku yang setia berteman. Tidak mencerca, tidak menghakimi, memberikan dorongan, membentuk kepribadian, dan mengembangkan harta.

Kuteguk segelas air putih yang sudah disediakan di hadapanku. Helaan nafasku terdengar jelas, kini aku paham kenapa Bibliosmia ini melekat padaku. Kenapa aku begitu mencintai saat pertama kali membuka sampul buku baru, lalu kurasakan udara yang keluar dari sela-sela lemabaran buku itu. Kopiku kini hanya tersisa seperempat gelas berukuran mungil. Kututup buku itu, lalu kupandangi sampulnya yang berwarna hijau, bertulis “PULANG.”

Aditya Putra yang merancang sampul buku itu sungguh memanjakan mata pembaca. Ia ingin menunjukkan sebuah karikatur yang menggambarkan restoran Tanah Air yang didirikan Dimas Suryo, karakter dalam novel ini. Gedung yang menjulang tinggi di sisi kiri dan kanan jalan di Paris dilengkapi oleh pengunjung yang berlalu-lalang di depan restoran Tanah Air seakan mengajak pembaca untuk mencicipi makanan khas Indonesia yang ada di Paris. Di gedung itu tertulis pada Billboard “PULANG” menandakan Dimas ingin sekali kembali menginjakkan kaki di tanah airnya, Indonesia. Bukan sebagai eks tapol, tetapi sebagai warga Negara. Ia akhirnya bisa pulang ke tanah kelahirannya. Namun, kepulangannya berlabuh abadi di Pemakaman Karet, Jakarta. Tempat yang ia rindukan bersama sang idola, Chairil Anwar. Dimas akhirnya bersatu dengan tanah air yang dicintainya, Indonesia.

Kembali kudekatkan hidung untuk merasakan aroma yang keluar dari buku ini, inilah alasan pembaca enggan berpindah hati ke buku digital. Begitu kuat aroma yang ditimbulkan dari buku fisik, hingga karakter dalam buku menyatu dengan aroma yang dihasilkan. Seakan sebagai pembaca ikut menyelami alur demi alur dalam buku. Iya, lebih dari menonton film di bioskop. Pikiran tak hentinya melayang pada peristiwa yang digambarkan dalam buku itu. Begitu hebat bibliosmia mengantar pembaca menyelami karakter dalam cerita itu. Bibliosmia membawaku menuju titik kedamaian pikiran.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *