Oleh: Hilal Zirhamjaen, Murid XII MIA 2
Santri adalah orang-orang yang menuntut ilmu agama di pondok pesantren. Mereka memperlajari ilmu agama secara mendalam seperti Fiqh, Al-Qur’an Hadits, Akidah Akhlak, Tafsir, dll. Salah satu yang paling menyenangkan masyarakat adalah ciri khas santri yang bersikap dengan sopan dan bertutur dengan santun, karena mereka berasal dari tempat dimana dituntut berakhlakul karimah dan memiliki jiwa solidaritas tinggi untuk menjaga kemaslahatan umat.
Kontribusi santri dalam memperebutkan kemerdekaan Indonesia tak dapat diragukan lagi. Para santri turun langsung untuk melawan para penjajah dari ujung sumatra hingga ke timur sana. Para santri dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari seorang pelopor perjuangan untuk memperebutkan kemerdekaan. Mereka dengan gegap gempita dan semangat yang mengharu biru tak mengenal rasa takut untuk melawan para penjajah.
Salah satu kejadian pada tanggal 21-22 oktober di Bubutan, Surabaya. Para santri melawan habis-habisan untuk menumpas habis para penjajah, tak asedikit para santri yang gugur kala itu. Hingga tanggal 22 oktober menjadi hari santri dengan tujuan mengenang jasa santri yang telah gugur di medan pertempuran. Jiwa nasionalisme telah hadir dari diri santri bahkan sejak zaman perjuangan kemerdekaan.
Maka tak heran, banyak pula lulusan pesantren yang menjadi pemimpin negeri ini. Karena di dunia pesantren mereka tak dituntut hanya untuk menjadi seorang ustdz. Mereka ditempa dengan berbagai persoalan yang tujuannya untuk mewujudkan karakter-karakter bangsa yang mengedepankan agama daripada urusan apapun. Tak jarang mereka memiliki jiwa kedisiplinan yang tinggi serta kejujuran. Mereka menentang segala perbuatan dosa apalagi perbuatan yang merugikan masyarakat umum.
Solidaritas
Santri dipertemukan dengan teman-teman sejak mereka memasuki dunia pendidikan, mereka tinggal di atap asrama yang sama, tidur dan makan bersama, walaupun mereka tak sedarah, namun tetap searah, yaitu ilmu agama. Hal itulah yang membuat ikatan persaudaraan para santri terjalin erat. Bertahun-tahun mereka hidup bersama, mereka bisa memahami keadaan maupun tingkah laku teman-temannya. Tak sedikit pula pondok pesantren yang muridnya berasal dari berbagai daerah hingga menciptakan kebersamaan yang baik untuk dicontoh, dan sangat indah untuk dikenang.
Demokrasi untuk santri
Demokrasi sendiri secara artian adalah kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat dan mengedepankan kebebasan berpendapat. Maksud penulis adalah untuk menggemakan kebebasan para santri untuk berpendapat, berdiskusi, maupun berdebat. Sebab, sistem demokrasi Indonesia dalam peringkat global indeks demokrasi, Indonesia bertengger di posisi 52, naik 12 tingkat dari 2020. Sejak 2006 indeks demokrasi di Indonesia kisaran 6,30-7,03. Indonesia mencatat kemajuan dalam demokrasi sampai tahun 2021.
Apalagi banyak bermunculan ideologi sesat yang merugikan seluruh pihak seperti Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), yang mengganti shalat 5 waktu bisa dibayar hal agama. Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita semua menggemakan demokrasi yaitu kebebasan berpendapat pada santri agar mereka lebih bebas dalam berpendapat dalam persoalan agama maupun sosial.
Peran Para Guru
Peran para guru sangatlah besar dalam hal ini. Sudah saatnya para guru membuka ruang diskusi dan debat dalam konteks pembelajaran. Apalagi persoalan agama dengan tujuan agar santri lebih memikirkan tentang suatu persoalan maupun jawaban supaya mereka tidak terpaku pada satu permasalahan saja. Jika para guru tidak memfasilitasi ruang tersebut, maka para santri kehilangan kesempatan untuk bertumbuh. Seharunya dengan rasa penasaran mereka dapat menghadirkan pertanyaan lain dan melahirkan jawaban yang membuat mereka puas akan persoalan tersebut dan bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana mungkin semua itu bisa hadir jika ruang itu tidak difasilitasi.
Adab Berdebat
Para ulama sudah dari dulu mengajarkan dan mencontohkan diskusi hingga perdebatan yang membahas tentang persoalan umat agar diberi kemudahan dan terhindar dari dosa. Berdebat dan diskusi dengan mengedepankan hikmah dan mauizatul hasanah diiringi dengan kerendahan hati akan melahirkan diskusi dan perdebatan yang berbobot dan beretika. Tujuannya adalah agar para santri lebih berani mengekspresikan pendapatnya. Mengkritik dengan etika membuat diri lebih bermartabat. Jadi, jangan pernah takut untuk mengkritik dengan didasari etika dalam mengemukakan pendapat. Hal itu akan melahirkan sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat.[]