Sebuah dongeng oleh Thasoedi
Alkisah. Di sebuah kotak amal, diantara banyaknya lembaran uang dan beberapa koin di dalamnya. Tersebutlah selembar uang yang sangat amat menawan. Dengan ukuran paling lebar dan warna merah yang menyilaukan mata, tidak ada bekas lipatan atau kotoran seperti lembaran uang yang lain. Ia seperti salah tempat saja.
“Hmmm. Wanginya!”. Ujar lembaran yang satu kepada yang lain. Mereka semua berwarna abu-abu, coklat, dan ungu. Mereka seperti mendapatkan keajaiban dapat berjumpa dengan lembaran merah yang mengagumkan ini.
Sang Merah itu kemudian merangsek ke sudut ruangan. Ia histeris dan sangat ketakutan. Matanya menggambarkan penyesalan kenapa ia harus berakhir di tempat seperti ini, tempat dimana lembaran uang yang lain berwarna pudar dan penuh coretan juga lusuh. Sangat jijik untuk dilihat.
“Kalian jangan ada yang mendekat padaku. Aku berbeda dengan kalian”. Teriak Sang Merah.
Benar saja. Tidak satupun berani mendekat. Mereka hanya tersenyum sesamanya dan melempar senyum penuh persahabatan ke arah Sang Merah. Mereka sangat senang dengan wangi yang serta merta datang bersama Sang Merah ini.
Sejak kedatangannya, Sang Merah berlagak sangat jumawa. Sesekali dia menoleh ke kiri dan kanan untuk memamerkan kemolekan tubuhnya yang mengkilap dan wangi. Gambar dua orang pahlawan nasional di satu sisi, dan gambar Tari Topeng Betawi disambut dengan pemandangan Alam Raja Ampat, dan tentu saja gambar Bunga Anggrek Bulan yang menempel menambah keindahan Sang Merah ini.
Suatu siang, kebosanan yang amat sangat mengganggu Sang Merah, dengan penuh curiga dia mulai mencari siapa diantara abu-abu itu yang pantas diajak berbicara.
“Hei Abu-abu. Sungguh buruk sekali nasibmu. Kamu diciptakan dengan warna begitu, warna yang membosankan. Banyak coretan di tubuhmu, sangat tidak menarik. Beda sekali denganku yang merah dan menawan ini”. Sergah Sang Merah dengan nada congkak.
Si Abu-abu tidak menjawab. Dia hanya melemparkan senyum persahabatan pada Sang Merah.
Sang Merah terus menerus mencemooh Abu-abu, bahkan berlanjut terus mengejek Si Coklat dan Ungu yang juga ada disitu. Sang Merah merasa dirinya sangat tidak pantas berada di tempat ini.
“Satu-satunya kemalangan nasibku adalah karena berada disini dan berjumpa dengan makhluk menjijikkan seperti kalian”. Ujar Sang Merah dengan nada yang semakin tinggi dan bertambah sinis.
Mendengar perkataan Sang Merah yang congkak, Si Coklat menarik napas panjang. Sambil tersenyum dan menatap lembut pada Sang Merah, Si Coklat berkata
“Wahai Sang Merah yang wangi. Mungkin semuanya akan memiliki kebanggan jika mempunyai dirimu yang merah dan menawan. Mereka akan menempatkanmu di tempat paling tersembunyi di dompetnya, atau mengikatmu dengan para Sang Merah lainnya. Dan kamu akan selalu menjadi alat bayar yang paling disukai”. Si Coklat berhenti berbicara sejenak dan membiarkan Sang Merah menikmati pujiannya.
“Tetapi Merah yang terhormat, kamu hanya akan menemani pemilikmu di dalam kesemuan. Kamu dijadikan alat untuk berbangga-bangga diri juga hanya akan berganti pemilik beberapa kali saja. Bedakan dengan kami. Kami sudah melewati berbagai hal. Berbagai tangan. Berbagai dompet dan tempat seperti ini, Ya. Kotak Amal. Karena bilangan di tubuh kami ini kecil, makanya kami lah bentuk keikhlasan sesungguhnya kebanyakan manusia yang hidup dan mau bersedekah. Bagimu tidak spesial, namun di akhirat kelak bilangan kamilah yang paling spesial menemani manusia”.
Si Coklat berkata dengan antusias dan membiarkan Sang Merah terpana.
“Kalau kalian bentuk keikhlasan yang sebenarnya, lantas kenapa kalian dicoret-coret?”. Kata Sang Merah penasaran.
Abu-abu yang dari tadi diam, pun mulai menarik napas panjang, tersenyum dan berkata. “Sahabatku, inilah kerjaan manusia yang tidak “Paham Rupiah”. Suara Si Abu-abu lembut.
“Hah? aku belum mengerti”. Buru Sang Merah.
“Tentu saja kamu tidak mengerti. Kau tahu, wangi yang kamu punya saat ini, kami juga pernah memilikinya”. Abu-abu mulai tegas.
“Biar kau tahu, Sahabatku! Kami rela berakhir lusuh seperti ini, karena berarti manusia bangga menggunakan kami sebagai alat bayar yang sah di negeri ini. Tapi tidak dengan coretan ini”. Abu-abu sudah mulai berapi-api.
“Ya benar. Coretan dan gambar-gambar tidak senonoh di tubuh kami inilah yang menjadi bukti kurangnya Cinta, Bangga, dan Paham mereka dengan kita rupiah ini”. Si Coklat melanjutkan ketegasan Abu-abu.
Si Coklat tersenyum dengan bijak. Lalu katanya, “Sang Merah yang menawan! ditengah kekaguman sesungguh kita sedang menciptakan tembok pembeda yang tebal. Semakin kita ingin dikagumi maka sesungguhnya kita sedang membangun tembok yang semakin tebal”.
Tak lama kemudian, jatuh selembar berwarna biru. Wangi dan corak di tubuhnya menandakan dia sama dengan Sang Merah. Ternyata Si Biru ini sudah pernah berjumpa dengan Coklat dan Abu-abu di tempat lain. Yang menjadi pertanyaan, sebelum pertemuan ini, Biru sudah penuh luka robek. Si Biru bercerita bahwa ia sudah ditukar dan seolah-olah hidup kembali dengan tubuh yang baru. Si Biru juga berkenalan dengan Merah yang congkak.
Sang Merah menatap ke arah mereka. Dalam hati sekarang ia sadar, bahwa mereka itu sama. Dia tidak boleh sombong.
“Aku berterima kasih kepada kalian. Cerita hidup kalian sudah menyadarkanku. Kalian memang benar-benar istimewa. Kalianlah penggerak ekonomi Indonesia”.
*Dongeng ini sudah digunakan untuk Lomba Story Telling CBP Rupiah Championship 2024.