Oleh: Ustz. Busra Idris, S.Pd (Guru MTs Jeumala Amal)
……..
Aku masih saja berdiri di balik pintu dengan pandangan yang tak tentu arah. Aku ingin menyapa ibu. ingin rasanya mengatakan bahwa aku juga belum makan tapi aku tidak lapar. Aku harus segera menyelsesaikan proyekku ini agar ibuku bangga. Lumayan bisa membantu nya melunasi SPP ku nanti meski tak pernah ku dapati rasa bangga dari nya.
Dua bulan berlalu, proyekku selesai. Pak Tarmizi menghubungi ku dan meminta ku untuk bertemu dengan nya di kantor nya. Dia berterima kasih pada ku karena telah membantunya menyelesaikan proyeknya tepat waktu. Dengan penuh rasa bangga dia menepuk bahu ku dan mengeluarkan secarik amplop berwarna coklat, jerih ku di bayar di tempat. Tak ku sangka honor yang ku dapat melebihi harapan ku. Tidak hanya untuk bayar SPP, aku juga bisa memberikan nya untuk ibu buat nambah uang belanjaan nya.
Aku segera meluncur ke rumah dengan hati meriah. Ku parkirkan sepeda motor bututku di teras depan. Bergegas masuk ke dalam rumah sambil membuka resleting tas ku dan mengeluarkan amplop kuning pemberian pak Tarmizi tadi pagi. Namun senyum merekah ku tiba-tiba sirna. Ku lihat ibu termenung sambil menangis. Katanya, Ikram marah. Dia protes kepada Ibu uang jajan nya tidak cukup. Dia juga ingin membeli sepatu dan baju baru tapi ibu bilang belum memiliki uang yang cukup. Lalu Ikram pergi entah kemana dan tidak bisa di hubungi.
“Mungkin ini memang rezeki nya Ikram” kata ku. Ku suguhkan amplop coklat kepada ibu yang berisi uang untuk di berikan kepda Ikram. Ibu menyambut nya dengan senang. Katanya semoga saja Ikram tidak marah lagi dan segera pulang. Ibu bergegas mengirimkan nya pesan bahwa kini Ibu punya uang untuk beli baju Ikram.
Tak berselang lama ikram pulang tanpa motor. Dia di antar teman nya ke rumah. Kulihat dengan seksama baju nya robek dan tangan nya di balut perban. Aku pergi ke dapur untuk memanggil ibu dan mengabarkan bahwa Ikrm sudah pulang. Ibu sangat senang sebelum mengetahui bahwa Ikram baru saja mengalami kecelakaan dan motornya di tahan di kantor polisi karena kasus belum selesai.
Ibu menangis sambil memeluk nya dan meminta maaf karena tidak bisa memberikan apa yang dia mau. Aku yang sedari tadi berdiri di belakang seolah tak terlihat. Ingin rasa nya ku memarahi Ikram, tapi ku tahan karena jika ku lakukan ibu pasti marah lalu tensi darah nya naik. Bisa-bisa Ibu masuk rumah Sakit seperti tahun lalu. Biarlah begini, ku anggap saja ini tontonan gratis. Aku seperti sedang menonton Drama. Memang benar kata Nike Ardilla “ Dunia ini Panggung Sandiwara”.
Semua uang yang ku berikan pada Ibu ludes untuk menebus motor ikram di kantor polisi. Belum lagi gaji Ibu habis untuk membayar biaya Rumah Sakit korban yang di tabrak Ikram. “ sungguh indah hidupmu Ikram, kamu punya Ibu dan segala nya di muka bumi. Aku yang bekerja keras dan selalu ingin membanggakan nya tak pernah sekalipun di puji apalagi di tangisi. Mungkin bila Aku pergi baru lah ibu akan menangis.
Pada suatu malam, aku duduk dengan ibu yang memulai membicarakan niat ku untuk pergi. Aku tak ingin menampakkan rasa sedih dan kecewa ku. Aku mengatakan bahwa aku hanya ingin mencari pengalaman dan pekerjaan tetap. Ku dengar Ibu menghela nafas panjang dan terlihat wajahnya berat melepaskan ku. Tak terbendung air mata ku, bukan karena sedih tapi aku terharu. Baru kali ini aku melihat Ibu khawatir pada ku.
Tak berselang lama aku pun pergi. Membawa bekal seadanya. Ibu juga memesan padaku agar selalu berhati-hati. Dia ingin agar aku menghubungi nya setiap hari agar ibu tahu keadaan ku. Ibu membekali ku uang jajan dan makanan yang telah di siapkan nya dari semalam. Aku pergi dengan hati yang tidak karuan. Bagaimana nanti ibu hidup dan menjalani hari-hari bersama Ikram yang setiap hari nya selalu Tantrum.
Aku sudah sebulan di parantauan bekerja sebagai buruh kasar di sebuah proyek pembangunan. Kerja ku hanya mencatat jumlah truk yang masuk, membeli makan dan minum para pekerja. Rasanya ilmu yang kudapat di universitas sia-sia di sini. Aku adalah insiyur di bidang kelistrikan. Ku takut semua yang telah ku pelajari akan hilang dari otak ku.
Diam- diam aku terus memantau lowongan pekerjaan di koran harian setempat. Mata ku terbelalak saat ku baca “ di butuhkan sarjana lulusan listrik untuk di tempatkan di sekolah kejuruan sebagai guru bidang study”. Jadi guru? Ah apa salah nya kalau aku mendaftarkan diri saja. Siapa tau rezeki.
Dan benar saja aku lulus dan di terima di sebuah sekolah Negri sebagai guru Teknik Listrik. Senang nya hati ku. Tak ingin berlama- lama untu pulang dan memeberitahukan Ibu berita gembira ini. Dering telpon genggam ku berbunyi kulihat nama Ibu tertera di sana. Ibu menyuruhkan pulang sebentar karena ada hal penting yang ingin di sampaikan. Dalam hati ku berkata ternyata aku dan Ibu ku sehati. Aku ngirang tanpa sebab.
Sesampai nya di rumah, ku dapati sepeda motor baru di sana juga sepasang sandal wanita. Aku bertanya-tanya. Ini siapa?
Aku bergegas masuk dan mencari Ibu tapi yang ku dapati adalah seorang wanita muda cantik berpakain ala- ala anak muda sekarang tersenyum kepada ku. Belum sempat ku berkata apa- apa, Ibu muncul dari dapur dan menyapa ku. “ sudah pulang Ahyar?, kebetulan sekali di sini ada Yenni”. Ibu menyuruh Yenni bersalaman dengan ku dan dia mengenalkan diri nya pada ku. Tapi siapa dia?
Aku masih berdiri di sini menyambut tangan wanita muda di depan ku yang ingin bersalaman. Aku memberikan tangan ku dengan ragu-ragu. Dengan tatapan penuh tanya .“ Yenni” sapanya dengan ramah. “ Ahyar”, jawab ku. Merasa tidak nyaman dan berlalu ke dapur menemui Ibu dan meninggalkan Yenni sendiri di sana.
“Siapa dia Bu?” tanya ku. Ibu berbalik ke arah ku dan duduk di meja makan menyuruhku untuk duduk bersama nya. Ibu memulai pembicaraan dengan serius dan hati-hati. Mungkin takut terdengar Yenni yang sedang duduk di ruang tamu.
Katanya Yenni adalah gadis yang sudah di pacari Ikram selama 6 bulan, tapi Yenni tidak ingin lama-lama berpacaran lagi. Dia meminta Ikram untuk segera menikahi nya, tapi Ibu belum memliki uang. Sedangkan Ikram belum bekerja dan menghasilkan uang. Selama ini dia selalu meminta apapun kebutuhan nya pada Ibu. Ibu juga tidak memiliki tabungan sedikitpun karena selalu di minta Ikram untuk berfoya-foya.
Setelah Yenni pulang. Aku berkata kepada Ibu dengan sedikit tegas bahwa Ibu tidak perlu memusingkan masalah ini. Biarkan Ikram berpikir dewasa. Aku ingin berbicara pada Ikram tapi dia tidak di rumah. Ku hubungi juga tidak di angkat. Aku menegaskan pada Ibu bahwa Ikram masih belum dewasa dan belum pantas untuk menikah, tapi kalau dia memaksa silahkan saja cari biaya sendiri tanpa menyusahkan Ibu.
Namun bukannya memihak ku, Ibu malah memarahiku dan mengatakan bahwa aku tidak menyayangi adikku yang semata wayang itu. “Ikram akan Stress bila tidak di nikahi dengan perempuan itu” tambahnya. Menurut Ibu dia adalah perempuan yang baik. Dia selalu datang kerumah dan membawakan oleh-oleh untuk Ikram dan Ibu. Bahkan selama ini baju-baju Ikram selalu di cucikan Yenni. Dia begitu baik di mata Ibu dan beliau ingin sekali menikahkan mereka tapi Ibu belum punya cukup biaya.
Maksud Ibu menyuruhku pulang hanya untuk meminta bantuan dana padaku agar Ikram bisa menikah. Aku menggeleng-geleng kan kepalaku. Tak habis pikir. Dana dari mana yang Ibu maksud? Selama ini Aku menahan lapar di perantauan. Aku tidak pernah memberitahukan Ibu untuk mengirimkan ku uang agar tidak menyusahkan nya. Mungkin karena sebab inilah Ibu menganggap bahwa Aku sudah sukses dan memiliki banyak uang.
Rasanya darah ku mendidih. Apalagi setelah mengetahui bahwa wanita tersebut sudah pernah menikah dan memiliki seorang anak. Ku lihat tak ada sedikit pun keraguan di mata Ibu untuk menikahkan Ikram dengan nya. Bukan tidak boleh menikah dengan janda, tapi apa dia mampu menafkahi istri nya nanti di tambah lagi seorang anak yang bukan darah daging nya?. Katanya wanita itu sudah bekerja sebagai pelayan di sebuah cafetaria. Pantas lah gaya nya bak artis sinetron papan atas.
Niat ku pulang untuk memberikan kejutan tapi malah aku yang mendapatkan kejutan. Ibu apakah anak Ibu Cuma Ikram? Aku ini anak siapa? Kenapa Ibu begitu tidak peduli dengan perasaanku?rasanya ingin ku ungkapkan semua kesal di dadaku kepada Ibu tapi ku tahan lagi.
Keesokan hari nya kulihat Ibu sedang menjahit sesuatu menggunakan tangan, mungkin sarung bantal atau mungkin gorden. Aku duduk di samping Ibu dan mengabarkan bahwa aku lulus PNS di sebuah sekolah di tempatku bekerja dulu. Aku mungkin akan tinggal di sana dan sesekali akan kembali kemari menjenguk Ibu. Ibu terdiam sejenak lalu berkata, “ mungkin nanti Yenni akan tinggal di rumah kita karena mereka belum punya rumah. Ibu memutuskan untuk mengambil pinjaman Bank untuk Mahar dan biaya pernikahan mereka. Jadi Ahyar tidak perlu kuatir lagi”. Jelasnya panjang lebar. Bahkan tanpa ucapan selamat kepada ku.
Aku hanya menganggguk tanda mengerti. Lalu kemudian kata-kata kecewa terus bermunculan dari mulutku. Aku berterus terang kepada Ibu tentang perasaanku yang hidup begitu menyedihkan. Punya Ibu tapi seperti tak memilikinya. Tidak pernah dianggap apalagi di banggakan. Ucapan selamat saja tak pernah ku dapatkan. Bahkan keputusanku bekerja jauh dari Ibu agar Ibu merasa rindu padaku tapi nyatanya tidak juga. Mungkin bila Aku pergi selamanya baru lah Ibu merasa kehilangan. Puas ku ungkap semua isi hatiku. Tak terasa menetes juga air mataku.
Ibu tertegun dan menghentikan kerjaan nya. Lalu dengan penuh rasa penyesalan sambil meneteskan air mata Ibu berkata “ maafkan Ibu yang tidak sempurna ini”. Ibu kembali menjelajahi masa lalu di saat Ayah dan Ibu masih bersama. Ikram sangat dekat dengan Ayah. Dia adalah anak yang ceria dan juga pintar. Tapi setelah Ayah dan Ibu bercerai apalagi setelah Ayah menikahi perempan lain. Ikram jadi bersikap aneh. Jiwa nya terganggu. Dokter menyarankan untuk terus bersama dengan nya dan mengikuti kemauan nya bila tidak, bisa-bisa dia harus di rawat di rumah sakit jiwa.
Sejak saat itu Ibu selalu mengikuti kemauan nya dan tidak jarang ibu melupakan ku. tapi ibu tak menyadari nya. Sebenarnya Ibu menyayangi kami berdua tapi bingung harus bagaimana. Apalagi Ibu adalah orang yang sangat penyendiri, beliau jarang sekali nongkrong dengan teman-teman apalagi tetangga untuk membagikan kisah nya pada mereka. Semuanya di telan sendiri.
Kami berdua terus saja menangis bahkan tanpa berkata- kata lagi. Aku juga meminta maaf bila harus berkata-kata seperti ini pada nya. Aku memutuskan untuk pergi dan akan mengirimkan uang setiap bulan kepada Ibu, karena Ibu sudah tidak lagi memiliki gaji bulanan setelah ini. Seperti biasa sebelum Aku berangkat, Ibu menyiapkan bekal makanan untuk ku bawa ke sana.
Aku akan terus menyayangi Ibu walaupun kadang engkau melupakanku. Bagi ku Ibu adalah anugerah yang terindah yang di kirimkan Tuhan kepada ku. Aku meyakini bahwa Ibu menyayangi ku mungkin dengan cara yang berbeda. Aku yakin Ibu yang paling tahu kebutuhan kami.
Ya Allah ampunilah kami dan juga kedua orang tua kami dan sayangilah keduanya seperti mereka menyayangi kami di waktu kecil. Aamin.