PILIH KASIHMU TAK MELURUHKAN KASIH KU (1)

Oleh: Ustz. Busra Idris, S.Pd (Guru MTs Jeumala Amal)

“Bu, buku tulisku habis. Kali ini pelajaran Matematika, Bu. Belikan yang agak tebal ya, Bu”. Pintaku pada Ibu. Beliau mengiyakan dengan seadanya sambil terus saja sibuk menyiapkan sarapan untuk kami semua..

 Tidak ada pagi yang menenangkan selain pagi Minggu. Tapi tidak dengan ibuku. Ada saja yang selalu di kerjakan tanpa kenal lelah dan waktu. Kadang dia dijemput tetangga kampung sebelah juga untuk memberikan pertolongan pada Ibu yang akan melahirkan. Itu memang sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai abdi negara.

Ibuku adalah seorang Bidan di sebuah rumah sakit umum di tempat kami tinggal. Ayah dan Ibu sama-sama bekerja di sana sebagai petugas kesehatan. Konon kata orang, Ayah dan Ibuku jatuh cinta karena seringnya bertemu dalam tugas, cinlok alias cinta lokasi. Hingga akhirnya mereka menikah dan dikarunia dua orang putra, aku dan adikku Ikram. Belakangan, aku baru mengetahui bahwa pernikahan keduanya sempat ditentang oleh orang tua dari kedua belah pihak. Tapi mereka tetap kukuh melanjutkan pernikahan.

Tidak ada yang abadi di dunia ini. Setelah kami lahir hubungan ayah dan ibu semakin renggang. Perdebatan sering terjadi bahkan perang dingin pun tak dapat dielakkan. Ibu tetap melaksanakan segala kewajibannya sebagai ibu rumah tangga tanpa kata. Cinta yang dulu begitu kukuh kini sirna entah kemana. Bila kami berdua tidak dilahirkan ke dunia maka tidak ada yang tahu mereka pernah se-bucin itu dulu.

Aku dan adikku memiliki watak yang sangat bertolak belakang. Kata orang aku adalah pribadi yang kalem, apa adanya, sederhana dan tidak banyak cengkonek. Sedangkan adikku tipe yang ceria tapi penuntut. Menyukai kemewahan dan selalu ingin terlihat sempurna. Beda sekali bukan? Padahal kami di lahirkan dari rahim yang sama dengan ayah dan ibu yang sama pula.

Bila di ingat-ingat masa kecilku tidak terlalu menyenangan. Tapi kalau di ingat lagi tidak terlalu menyedihkan juga. Bingung kan? Menurut ku hidup kita semua sama saja. Tergantung bagaimana kita memaknai nya. Karena setiap kata punya padanan nya. ada sedih ada senang, ada bahagia ada derita, ada miskin ada kaya, dan ada aku tentu ada  kamu ciee… Iya,  karena Allah Maha Adil, Maha Menepati Janji, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.

Wajahku ini bagaikan sad boy, kadang membuat orang kasihan pingin nyumbang alakadar, tapi tidak dengan Ibuku. Pagi itu ku dapati beberapa buku tulis yang masih terbungkus plastik bening tergeletak di meja belajarku. Buku tulis dengan halaman yang sedikit tebal namun tanpa garis. Aku tidak bermaksud pamer. Kedua orang tuaku itu termasuk orang yang berada dibandingkan dengan teman-temanku yang lain kala itu.

Namun demikian, bukan berarti aku dengan mudahnya mendapatkan apa yang ku inginkan. Aku tidak pernah dimanjakan dengan barang-barang mewah oleh kedua orang tuaku. Contohnya saja hari ini, Ibuku membelikanku buku tulis yang tidak ada garis sampingnya. Lembarannya buram dan mudah kusut. Ini menandakan bahwa buku-buku ini adalah buku yang murah bahkan sangat murah.

Oh tentu saja, beda ceritanya dengan adikku, Ikram. Dia dengan mudahnya meminta sesuatu dan selalu dipenuhi ibu. Bila tidak dia akan merajuk dan meronta-ronta. Pernah suatu kali aku meminta sebuah sepeda pada Ibu. Bukan tanpa alasan. Rasanya sangat melelahkan  pulang sekolah dengan berjalan kaki sejauh 3 kilometer ke rumah. Biasanya pagi hari aku dan adikku akan berangkat ke sekolah bersama ayah, tapi aku tidak bisa pulang bersama ayahku. Karena biasanya Ayah  pulang ketika hari sudah menjelang sore bahkan bila ada shift bisa sampai malam hari.

 Beberapa kali aku sempat dibonceng temanku, tapi kemudian katanya dia lelah mengayuh sepeda karena bobot kami berdua yang lumayan berat. Dia menyarankanku agar membeli sepedaku sendiri. Kala itu aku belum bisa bersepeda karena memang belum pernah memiliknya maka aku tidak bisa bergantian mengayuh sepeda miliknya.

Aku sering memelas pada ibu agar dibelikan sepeda dengan memaparkan serangkaian kisah dan kejadian yang ku alami ketika pergi ke sekolah yang ku rangkai sedemikian rupa sesuai kejadian  dan fakta di lapangan. Namun ibuku seakan tak mengubrisnya. Beliau asik saja dengan pekerjaannya sehari-hari di rumah. Kalau dipikir-pikir ibuku itu tidak ada istirahatnya. Dari bangun pagi sampai tidur lagi selalu saja sibuk. Kadang-kadang aku kasihan pada ibuku.

Secara tak terduga, di suatu sore aku mendapati sebuah sepeda di teras rumahku. Betapa senang hati ini. Aku berjalan hampir berlari dari gerbang pagar rumah menuju teras. Senang bukan kepalang. Kini ku punya sepeda untuk bersekolah. Aku akan segera menemui Arief temanku untuk mengabarkan kabar gembira ini.

Namun setelah melihat dari dekat ternyata ini hanyalah sepeda bekas. Catnya saja sudah luntur dan terkelupas. Di beberapa bagian terlihat besi yang sudah berkarat. Rasanya malu sekali Aku pergi ke sekolah  dengan sepeda ini. Apa boleh buat, aku tidak sanggup pulang dan pergi sekolah dengan  berjalan kaki lagi. Biarlah ku tahan rasa maluku ini. 

Beberapa tahun kemudian, adik ku Ikram juga di belikan sepeda. Bedanya sepeda miliknya itu sepeda baru yang masih terbungkus plastik  dengan merek yang sangat terkenal kala itu. Dia dengan bangga nya bersepeda di dalam rumah dan memamerkan nya padaku. “lihat sepeda ku, keren kan? Ga seperti punyamu, butut”. Dia terus saja bersepeda sambil tertawa girang penuh nyiyiran.  Aku hanya diam tanpa membalas perkataannya. Cemburu? Bagaimana mungkin aku cemburu padanya. Dia satu-satunya adik yang ku punya. Tanpa di minta pun akan kuberikan semua yang ku punya bahkan nyawaku. Aku sering membawakannya permen sepulang sekolah dari sisa uang jajanku. aku akan sangat senang bila dia juga senang. Aku hanya sedikit kecewa pada Ibu.

Aku membatin sejenak, mengapa sikap Ibu sangat berbeda padaku. Namun segera ku tepis. Sempat terbersit mungkinkah aku ini anak pungut. Padahal aku yakin aku adalah anak dari kedua orang tuaku, karena wajahku begitu mirip dengan keduanya. Rasanya tidak mungkin bila diriku ini anak pungut. Aku  mewarisi kulit putih dan mata besar ibuku dan hidung mancung serta postur tinggi seperti ayahku. Tapi mengapa perlakuan mereka sangat berbeda.

Aku memang tidak pernah mengeluhkan apalagi mencerca pemberian ibu. Bahkan aku tidak pernah berkomentar apapun. Baik makanan, pakaian maupun kamar tidurku yang seperti Gudang yang kadang-kadang di gunakan untuk penyimpanan barang-barang ayah dan ibu ku. Mungkin karena itulah ibu ku selalu memberikan barang yang asal-asalan kepada ku. Toh aku tidak pernah menolak nya apalagi mengeluhkan nya. Semua ku terima dan ku pakai dengan senang hati. Sedang kan adikku , dia akan menangis, merajuk, mengamuk dan bahkan memecahkan barang-barang yang ada di sekitar nya bila barang yang di belikan ibu tidak sesuai dengan keinginan nya.

Aku berpikir mungkin saja  ini karena adikku yang masih kecil, tapi ternyata ini berlanjut sampai kami sama-sama berada di bangku kuliah. Permintaannya semakin menjadi-jadi. Ibuku sampai kewalahan dibuatnya. Tapi anehnya ibu tidak pernah marah di depan adikku. Ibu hanya akan mengeluh di depanku saja. Ibu tidak bisa berkeluh kesah kepada ayah lagi karena dia sudah dimiliki wanita lain. Ironi memang, dua orang yang begitu saling mencintai bisa juga berpisah.

Ayah masih sering menghubungiku dan mengirimkanku uang jajan serta kebutuhan lainnya, tapi tetap saja rasanya berbeda. Aku seperti kehilangan panutan. Ayahku dimiliki orang lain dan ibuku yang hanya dimiliki adikku. Walau begitu tak pernah ada rasa benci di hatiku kepada keduanya. Aku masih sering mendengar curhatan ibuku tentang Ayah serta masih sering mengantar adikku ke kampusnya.

Kampusku memang tidak terlalu jauh dari rumah, begitu juga dengan adikku. Pasalnya kami berkuliah di kampus yang berbeda. Biasanya aku akan mengantar Ikram terlebih dahulu. Lalu  lanjut pergi ke kampusku sendirian.

Ikram selalu terlambat bangun pagi. Dia bahkan tidak mau sarapan di rumah. Dia selalu meminta uang jajan lebih agar bisa sarapan di luar. Aku selalu memburunya untuk lebih cepat bersiap-siap, karena bila tidak aku akan terlambat sampai di kampusku. Bila sudah begini dia akan merajuk dan menolak pergi kuliah bersamaku.

Tiba-tiba sepulang kuliah. Ku dapati motor baru terparkir di teras kami. Beda jauh dengan sepeda motor milikku yang hanya sebuah sepeda  motor butut warisan ayahku yang sudah tidak di pakainya lagi. Sepeda motor adikku adalah keluaran terbaru tahun itu. Entah dari mana Ibu mendapatkan uang untuk membeli ini. Aku dejavu pada masa kecilku saat Ibu membelikannya sepeda baru terbungkus plastik sedangkan Aku harus puas dengan sepeda bekas saja.

Aku bertanya pada Ibu perihal motor baru adikku. Di luar dugaan ibuku malah memarahiku. Katanya ini salahku karena selalu memarahi Ikram di pagi hari, terlebih lagi membuatnya marah dan tersinggung dengan menyuruhnya buru-buru. Aku hanya bisa diam tanpa membantah sedikit pun perkataan Ibu. Aku langsung masuk kamar. Bukan untuk menangis apalagi meratapi nasib atau marah pada Ibuku. Aku hanya sedang mengerjakan sebuah proyek yang diberikan dosen kepadaku. Lumayan bisa untuk tambahan uang jajan.

Tapi masih saja Aku masih bingung dengan Ibuku. Apa yang salah denganku. Prestasiku selalu baik dari bangku sekolah dasar hingga universitas. Sedangkan adikku jangan ditanya. Kerjanya keluyuran main dengan teman-temannya sampai lupa waktu. Kadang hanya jalan-jalan saja tanpa tahu arah dan tujuan. Kalau kata nenekku  sih ukur jalan.

Dia sering sekali pulang terlambat hingga Tengah malam. Ibuku sangat khawatir menunggunya pulang sambil bergumam sendiri. Kadang aku juga jadi sasarannya. Tapi begitu dia Kembali ke rumah tak pernah sekali pun ku lihat dia dimarahi Ibu. Malah dia ditawari makan atau minuman kesukaannya. Ibu akan berbicara dengan sangat lembut kepadanya. “Ikram udah makan? Mau dimasakin apa?” Sambil mengelus rambutnya.

Aku hanya bisa berdiri di sudut pintu kamarku yang setengah terbuka sambil mengelus rambutku sendiri dan tersenyum konyol.

Bersambung…….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *