Oleh: Thariq Sumadi, S.Pd. (Guru MTs Jeumala Amal)
Tiada manusia lain dimuka bumi ini yang paling benci akan keheningan melainkan Khalil. Bagaimana tidak, semua orang lama ataupun baru mengenal Khalil menyetujui hal itu. Bahkan hari dimana Khalil lahir, suara tangisannya paling melengking diantara saudara kandungnya yang lain. Contoh lainnya, saat dia masih mengenyam pendidikan menengah pertama, Khalil akan selalu menjadi Badut Kelas yang sering menyenangkan hati seisi kelas tapi dicap akhlakless oleh gurunya. Sudah jelas, karena wataknya seperti itu, nama Khalil adalah buah bibir di kantor guru. Ada saja kelakuan tengil dilakukannya karena dia benci keheningan kelas.
Dari sekian banyak kisah hidupnya, ada beberapa yang tidak terlupakan. Terutama bagaimana Khalil dipanggil Wakleb.Nama Khalil untuk guru sedangkan Wakleb bagian teman-temannya, bahkan adik kelas yang baru saja menjadi warga sekolah tidak tahu nama asli Wakleb. Acap kali, Khalil mengajak orangtuanya kembali sekolah karena selalu saja berurusan dengan peraturan sekolah. Dan yang selalu menyanggupi undangan tersebut adalah Sang Bunda.
***
“Silakan duduk, Bu!”. Ucap Ibu Ramlah. Beliau adalah guru BK.
“Baik. Terimakasih, Bu!”. Jawab Bunda, tersenyum kemudian duduk. “Kali ini apalagi yang dilakukan putra saya, Bu?”. Buru Bunda, terkesan bosan karena sudah terlalu sering pada situasi ini. Bu Ramlah duduk berhadapan dengan Bunda. Dengan sedikit senyum penuh makna, beliau mulai menjelaskan. Bunda mendengar dengan santai, ada kesan seolah sudah tau arah pembicaraan.
“Pak Zulmi, boleh panggilkan Khalil di kelas”. Kata Bu Ramlah pada seorang yang baru saja masuk ke kantor BK untuk mengantarkan minuman.
“Sekarang, Bu?”. Tanya Pak Zul.
“Benar. Panggil dia sekarang”. Jawab Bu Ramlah lembut.
Tak berapa lama, di koridor nampak Wakleb berjalan beriringan dengan Pak Zul. Sumringah terpapar jelas di wajah keduanya.
“Leb, harusnya ini terakhir kali kamu menyekolahkan orang tua. Capek jadi mereka, uda kerja tapi harus ke sekolah”. Ketus Pak Zul tanpa melihat kearah Wakleb.
“Hehe. Engga Pak. Saya pun bentar lagi baru tau kali ini kenapa”. Lanjut Wakleb santai. “Kalo nanti anak bapak seperti saya bagaimana?”. Lanjut Wakleb memancing Pak Zul. Pak Zul melihat kearahnya, kemudian mulai mengoceh penuh semangat. Wakleb kegirangan dalam hati karena jarak dari kelas ke kantor itu tak lagi nampak jauh karena hening.
Ada sepersekian detik yang selalu disadari Wakleb kala orang yang ingin mengucapkan sesuatu. Wakleb selalu menikmati momen tersebut. Ia selalu saja mencoba menebak jawaban dari orang ini akan kemana. Wakleb pernah dapat Insight yang katanya, jika mata manusia tak pernah bisa berdusta. Bahkan ketika orang sedang berbicara kita dapat mengetahui lawan bicara kita tersebut sedang mengingat, berpikir, dan mengarang dengan memperhatikan kedua bola matanya. Sampailah keduanya di depan ruang BK. Wakleb nyengir ke arah Pak Zul yang membuatnya garuk-garuk kepala. Wakleb bilang berterimakasih kemudian menghilang di balik pintu dan tentu saja Pak Zul segera beranjak dari situ.
Setengah jam berlalu, Bunda dan Wakleb keluar. Ada situasi akward dimana Wakleb nampak lega dan sesuatu yang ditahan di ujung bibir Bunda. Wakleb meraih tangan Bunda, menundukkan kepalanya seraya mencium tangan yang membesarkannya itu. Bunda mengulangi sekali lagi apa yang harus diingat Wakleb kemudian meninggalkan anak bungsunya itu untuk melanjutkan pelajarannya. Sesampainya di kelas, dia tersenyum lebar, seperti tidak terjadi apa-apa selama sejam kebelakang. Seisi kelas sudah sangat terbiasa, kecuali satu orang, Mona. Mona lah yang melaporkan Wakleb ke BK kali ini. Ia mengaku dirongrong dengan kata yang tidak sepantasnya diucapkan Wakleb untuknya. Mengadulah Mona ke wali kelas dengan harapan ada yang membelanya. Ternyata, kejadian di depan matanya meluluhkan ekpekstasinya semalam suntuk.
flashback*
Siang, dua hari lalu tepatnya hari rabu. Wakleb yang biasanya pulang sekolah menggunakan angkutan umum, tetiba mendapati kakaknya sudah berdiri di ujung Lorong sekolahnya. Sontak wajah Wakleb tampak gusar, dia tidak senang. Sudah sejak jauh hari, Wakleb selalu melarang siapapun orang rumah untuk menjemputnya alasannya karena ia tidak suka. Wakleb mencoba mencari jalan lain, tapi duluan nampak oleh kakaknya.
“Lil. Sini, Ayah nunggu”. Lekikan suara Kak Ami nampak jelas masuk telinga orang di sekitar, tanpa terkecuali Wakleb, adiknya. Wakleb bergegas menghilang.
“Lil, kalo engga nurut, ayah turun tuh dari mobil”. Tambah Kak Ami karena sadar dengan gelagat Wakleb. Kata tersebut sontak membuat kawan yang lain penasaran.
Beberapa dari mereka memang sudah penasaran akan orang tua Wakleb. Di kelas, Wakleb sering memanggil nama kawannya dengan nama orang tua atau bahkan menamai dengan hal aneh lainnya. Tuhan berlaku adil untuk makhluknya. Dan hari itu adalah hari sial yang dimana hari sial itu tidak ada di kalender. Wakleb kena batunya dan harus menghadapinya. Ia sudah punya intuisi untuk apa yang akan terjadi sebentar lagi. Dia tersenyum kearah Kak Ami, kemudian mengikuti dari belakang menuju mobil. Dan voila, benar saja seperti dugannya. Ayahnya diluar mobil, merokok sambil sesekali mengecek cat mobil. Petaka untuk Wakleb. Ingin rasanya Wakleb berdrama supaya tidak perlu menyalami tangan ayahnya, namun tidak sempat kepikiran. Dan terjadilah, Wakleb menyalami ayahnya kemudian masuk mobil diikuti Kak Ami. Sekilas nampak banyak kawan yang sering menjadi bulan-bulanannya Wakled tertawa dan merencanakan sesuatu sesaat setelah Wakleb berlalu.
Benar saja. Kamis pagi menjadi hari yang paling tidak mengenakkan untuk Wakleb. Amat yang paling fasih bahasa Acehnya dan biasanya kalem-kalem saja di kelas menjadi sangat beringas. Sejak Wakleb tiba di kelas, Amat mendehem-dehem, senyum sinis, dan “cukeh” kawan yang lain untuk mengikuti gesture yang dibuatnya. Telunjuk Amat ditempel dibagian antara hidung dan mulutnya seolah-seolah membuat kumis. Wakleb sadar betul maksud mereka. Wakleb tak bergeming dia terus saja mencoba mengalihkan perhatian kawan semejanya untuk membahas hal lain. Namun, kawan semeja Wakleb pun tak berperi, dia mulai ikutan terbawa suasana. Dan ya. Wakleb seorang diri.
“Emang boleh punya kumis seperti Keukarah”. Celetuk suara sumbang dari arah belakang. Diikuti tawa dan makin banyak ejekan yang hampir serupa mengarah ke hal kumis. Usut punya usut ayah Wakleb memang memiliki kumis yang gahar. Wakleb tak pernah mempersoalkan hal itu. Namun tahun itu, Aceh sedang demam dengan sebuah film genre komedi yang judulnya Eumpang Breueh. Banyak tokoh terkenal dalam film tersebut dan tak kalah mentereng ialah Taleb yang perawakannya kurus, tinggi, dan punya kumis super nyeleneh sampai menutupi bibirnya. Sifatnya sangat suka dengan keributan.
“Khalil terlalu bagus nama untuk si kawan ini”. Suara tersebut keluar dari mulut Rais sembari mendekat ke Wakleb duduk.
“Terus, kita kasi nama apa beliau ini?”. Susul Helmi.
“Taleb lah. Misee-nya besar. Gabisa diam. Sudah persis sekali seperti yang ada di film bang Joni”. Pungkas Rian. Dan seisi kelas tertawa.
Wakleb yang pertama kali dalam hidupnya merasakan hal seperti itu naik pitam. Dia mulai meracau nama-nama ayah kawan kelas yang lain yang dapat ia ingat. Tidak semua dari mereka dapat giliran, namun untuk yang cewek hanya nama ayah Mona lah Wakleb masih ingat. Ketika sampai giliran Mona, tetiba kelas menertawakan hal tersebut yang dimana ketika kawan yang lain seolah tidak ada yang peduli. Dada Mona sesak. Dia tidak bisa terima dan berlari ke arah kantor. Jam istirahat, Wakleb dapat surat cinta kembali dari guru BK yang diantarkan oleh siswa kelas lain.
Sejak saat itu, Khalil mulai dilupakan digantikan oleh Wakleb untuk penyebutan nama seorang anak manusia yang suka sekali mencari perhatian dan benci keheningan. Nyanban.